Definisi Gadai
Wednesday, 22 August 2018
Dalam bermuamalah, tentunya seseorang tidak selamanya mampu melaksanakan secara tunai dan lancar sesuai dengan syari'at yang ditentukan. Ada kalanya kita dalam bermuamalah terkendala masalah dana, maka hutang piutanglah terkadang tidak dapat dihindarkan, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya di zaman modern ini.
Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya agar menjaga kepentingan keadilan jangan sampai ada yang dirugikan. Oleh sebab itu, dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai pinjaman utangnya, sehingga debitur tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan dapat dijual oleh kreditor. Dalam hukum Islam jaminan benda atau barang berharga dalam hutang-piutang disebut dengan gadai.[1]
Transaksi gadai dalam fikih Islam disebut ar-Rahn. ar-Rahn menurut bahasa al-tsubut wa al-dawam ( الثُّبُوْتُ والدّوَامُ ) yaitu tetap dan kekal.[2] Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.[3] Sebagian ulama memberi arti Ar-rahn dengan al-habs yang artinya tertahan.[4] Ar-rahn terdapat dalam QS. al-Muddatstsir ayat 38:
Tiap-tiap diri tertahan dengan sesuatu yang diusahakannya.[5]
Kata ( رهينة ) rahinah terambil dari kata ( رهن ) rahana dengan aneka makna antara lain gadai yakni sesuatu yang dijadikan jaminan guna memperoleh utang. Lazimnya, sesuatu itu ditahan oleh pemberi utang, dan dari sini kata tersebut diartikan dengan sesuatu yang ditahan. Secara terminologi fiqh, rahn adalah menahan suatu barang dengan suatu hak yang memungkinkan dapat dipenuhi dari barang tersebut, artinya barang tersebut dijadikan penguat atau jaminan terpenuhinya hak tersebut.[6] Jadi Secara umum, rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimannya.
Ayat di atas menegaskan bahwa setiap pribadi tergadai disisi Allah Saw. Ia harus menebus dirinya dengan amal-amal perbuatan baik. Setiap pribadi seakanakan berhutang kepada Allah Saw. Dan ia harus membayar kembali utangnya kepada Allah Saw untuk membebaskan dirinya.[7] Setiap pribadi diminta pertanggungan jawab diakhirat kelak, dimana setiap manusia akan menghadapi hisab atas perjalanan hidupnya, baik dalam hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri maupun orang lain. Sementara itu pengertian gadai menurut istilah adalah akad utang dimana terdapat suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang, barang itu boleh dijual apabila utang tak dapat dibayar, hanya saja penjualan itu hendaknya dilaksanakan dengan keadilan.[8]
Adapun para Imam Madzhab mengartikan kata gadai (rahn) sebagai berikut:
- Ulama‟ Syafi‟iyah
Syafi‟iyah sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq memberikan definisi gadai (rahn) sebagai berikut
Menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara‟ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dari benda itu.[9]
- Ulama‟ Hanabilah
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Qudamah menjelaskan bahwasannya gadai adalah :
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.[10]
- Ulama‟ Malikiyah
Madzab Malikiyah mendefinisikan gadai sebagaimana dikutip oleh Wahbah az Zuhaili adalah:
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).[11]
- Ulama‟ Hanafiah
Sementara itu Hanafiah mendefinisikan gadai sebagai:
Sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta dalam pandangan syara‟ sebagai jaminan untuk utang, dengan kemungkinan untuk menganmbil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan) tersebut.[12]
Menurut Sayyid Sabiq, ar-rahn adalah menjadikan barang berharga menurut pandangan syara‟ sebagai jaminan hutang.[13]
Sementara pendapat Muhammad Rawwas Qal‟ahji berpendapat bahwa ar-rahn adalah menguatkan utang dengan jaminan utang.[14] Sedangkan menurut Masjfuq Zuhdi ar-rahn adalah perjanjian atau akad pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.[15] Nasrun Haroen menegaskan ar-rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu, baik keseluruhannya ataupun sebagiannya.[16]
Dan menurut Muhammad Syafi‟i Antonio bahwa gadai adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya.[17]
Sementara gadai menurut KUH Perdata sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1150 adalah:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkannya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.[18]
Dari pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa Gadai menurut bahasa penahanan, sedangkan menurut syar‟i adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa apabila terjadi kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar dari hasil penjualan barang yang dijadikan jaminan itu.
Rujukan
[1] Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz 6, (Damsik: Dar al-Fikr, 2000), hlm. 4207.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Bairut: Dar al-Fikr, 1971), hlm. 187.
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 105.
[4] Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 79
[5] Departemen Negara RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1980), hlm. 992.
[6] Abdul Ghofur, Ali Murtadho dkk, Menuju Lembaga Keuangan Yang Islami dan Dinamis (Semarang : Rafi Sarana Perkasa, 2012), hlm. 115
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, cet. IV, 2006), hlm. 606
[8] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 309
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh . . ., hlm. 153
[10] Al-Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughny, Jilid 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 397
[11] Wahbah az Zuhaili, Fiqih . . ., hlm. 4208
[12] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, cet. 1, 2010), hlm. 286
[13] Sayyid Sabiq, Fiqh . . ., hlm. 153
[14] Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 463
[15] Masjfuq Zuhdi, Masail Fiqiyah, (Jakarta: CV Haji Masagung, cet. 1, 1988), hlm. 163
[16] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 252
[17] Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 128
[18] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, cet. 39, 2008), hlm. 297.