Hukum Memakai Rambut Palsu atau Menyambung Rambut
Thursday, 16 August 2018
Seorang
perempuan diperbolehkan untuk mempercantik diri dan memakai
wangi-wangian di dalam rumah untuk (menyenangkan) suaminya dengan
berbagai macam kosmetik dan perhiasan yang ia inginkan, dari pakaian, perhiasan,
semir rambut, hingga celak. Namun, ia harus tetap memperhatikan sejumlah
kaidah sebagai berikut:
- Tidak membahayakan diri dan orang lain, ia tidak boleh menggunakan bahan-bahan kecantikan yang bisa menyakiti dirinya juga membahayakan kesehatannya.
- Tidak berlebih-lebihan, masalah perhiasan tidak boleh sampai membebani anggaran keuangan rumah tangga, ataupun menyia-nyiakan waktu dan menelantarkan kemaslahatan yang lebih penting.
- Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka untuk selain suami dan mahramnya.
- Tidak menggunakan perhiasan yang diharamkan.
Pada
dasarnya Islam tidak melarang seseorang untuk berhias dan mempercantik
diri. Hal ini tertuang di QS. Al-A’raf [26]: 7:
Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaanmereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)”.
Namun
Islam memberikan batasan-batasan agar jangan sampai kecantikan
tersebut malah memperdaya manusia sehingga terjerumus ke dalam jurang
kebinasaan. Salah
satu yang selalu diperhatikan oleh manusia adalah tentang keindahan
rambut, banyak yang ingin tampil sempurna dengan rambut mereka dan
untuk itu salah satunya dengan menggunakan wig (rambut palsu) atau dengan
cara menyambung rambut.
Termasuk
perhiasan perempuan yang dilarang ialah menyambung rambut dengan
rambut lain, baik rambut itu asli atau imitasi seperti wig. Imam Bukhari meriwayatkan
dari Aisyah, Asma, ibnu Mas’ud, ibu Umar dan Abu Hurairah ra bahwa:
Rasulullah SAW. melaknat perempuan yang menyambung rambut atau yang minta disambungkan rambutnya”.
Bagi
laki-laki melakukan hal ini tentu lebih haram lagi, baik dia itu bekerja
sebagai tukang menyambung rambut atau tukang rias. Ataupun dia minta
disambungkan rambutnya.[1]
Hadits
di atas senada dengan hadits di bahwa ini:
Asma ra menerangkan bahwa ada perempuan bertanya kepada Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya putriku tertimpa sakit panas sampai-sampai rambutnya rontok dan aku akan segera menikahkannya, maka apakah boleh aku menyambung rambutnya? Nabi menjawab “Allah melaknat orang yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).[2]
Wig
dalam kehidupan sehari-hari di zaman modern ini sudah menjadi salah
satu alat kecantikan tidak hanya bagi kaum Hawa, namun Adam juga sudah
banyak yang memanfaatkan wig. Wig banyak sekali digunakan tidak saja dalam
rangka mempercantik diri, tapi juga sebagai salah satu penanda hidup yang
modern. Banyak aktor dan artis menggunakan wig untuk tampil dalam acting
mereka, bahkan di Jawa sendiri wig digunakan dalam acara pernikahan. Wig
adalah rambut manusia atau rambut palsu yang sudah dimodel dan disesuaikan
dengan ukuran kepala. Orang yang ingin menggunakannya bisa memilih
model dan warna yang disenangi sesuai selera. Wig bisa menutup seluruh
kepala dan menggantikan posisi rambut asli. Menggunakan wig apabila
tanpa kebutuhan atau hanya ingin mempercantik diri dan berhias hukumnya
haram, tidak boleh, karena dilarang dalam hadits.
Masalah
di atas disinggung Rasulullah dengan sangat keras dalam memberantasnya,
bahkan terhadap perempuan yang gugur rambutnya karena sakit,
atau perempuan yang hendak menjadi pengantin untuk bermalam pertama dengan
suaminya, tetap tidak boleh rambutnya itu disambung.
Rasulullah
menamakan hal ini sebagai az-zur (pemalsuan), berarti memberikan
suatu isyarat akan hikmah diharamkannya hal tersebut. Sebab hal ini
tidak ubahnya dengan suatu penipuan, pemalsuan dan mengelabui. Sedangkan
ajaran Islam sangat-sangat benci terhadap perbuatan manipu dalam seluruh
bidang kehidupan, baik dalam masalah material maupun moral.
Dalam
riwayat lain dituturkan, “ia (Mu'awiyah) mengeluarkan gulungan rambut
seraya berseru “Saya belum pernah melihat seorangpun yang melakukan ini
selain kaum Yahudi, sesungguhnya Nabi SAW. menganggapnya (menyambung
rambut) sebagai pemalsu”.[3]
Secara
faktual, hal yang disinggung Mu'awiyah sesungguhnya tidak ada. Namun
apapun, wanita Muslimah diperintahkan untuk menutup rambutnya sehingga
tidak ada keperluan alasan untuk memperpanjang atau menyambungnya
dengan apapun, meski dengan seizin suami dan untuk kepentingan
berhias demi menyenangkanya.
Rambut
palsu terlarang dan dikategorikan suatu model menyambung rambut
ke rambut seseorang, walaupun tidak sama persis, namun hal itu membuat rambut
perempuan nampak lebih panjang dan menjadi mirip menyambung rambut. Pengertian
dari penjelasan di atas sesuai dengan perkataan penulis Fiqih Sunnah
Lin Nisa’ h. 413.[4]
Sesungguhnya seorang perempuan tidaklah diperbolehkan untuk menyambung rambutnya dengan rambut yang lain semisal memakai wig baik dengan tujuan menyenangkan suami atau orang lain hukumnya adalah haram”.
Adanya
laknat untuk suatu amal itu menunjukkan bahwa amal tersebut hukumnya
adalah haram. Alasan diharamkannya hal ini adalah adanya unsur penipuan
disebabkan merubah ciptaan Allah. Hal ini juga dikarenakan haramnya memanfaatkan
rambut manusia karena terhormatnya manusia pada asalnya potongan
rambut manusia itu sebaiknya dipendam.
Jika
seorang wanita tidak mempunyai rambut di kepalanya sama sekali. Sebagai
contoh seorang yang botak, maka dia boleh menggunakan suatu rambut palsu
untuk menutupi cacatnya, ini karena adanya pertimbangan diizinkan untuk menghilangkan
kecacatan. Bagaimanapun proses mempercantik tidaklah sama halnya
menghilangkan cacat. Jika masalahnya berkenaan menghilangkan kecacatan,
maka tidak ada kejelekan di dalamnya. Seperti ketika hidung bengkok dan perlu
diluruskan, atau menghilangkan tanda/tahi lalat, tidak ada kejelekan dalam
tindakan yang demikian.[5]
Jika
rambut disambung dengan bukan rambut manusia namun tergolong rambut
yang suci dengan kain atau barang tersebut tidak masuk dalam karangan dalam
hal ini Sa’id bin Jabair pernah mengatakan “tidak mengapa kamu memakai
benang”.[6]
Adapun
rambut yang suci yang bukan dari manusia, maka bila perempuan
itu tidak mempunyai suami atau tuan maka haram hukumnya. Bila perempuan
itu bersuami atau bertuan, maka ada tiga macam pendapat. Pertama, tidak
dibolehkan karena z{ahirnya hadis-hadis di atas. Kedua,
diperbolehkan. Ketiga,
dan ini pendapat yang paling shahih bagi
mereka, bila perempuan itu menyambungkan
atas seizin suaminya atau tuannya, maka hal itu diperbolehkan.
Bila tidak diizinkan, maka haram hukumnya.
Adapun
menyambung rambut dengan sesuatu yang bukan rambut manusia
seperti sutera, wool, katun, atau yang serupa dengannya, maka diperbolehkan
oleh Sa’id bin Jubair, Ahmad dan al-Laits.[7]
Pendapat
yang paling kuat di antara dua pendapat ulama yang ada adalah diperbolehkan
bagi seorang perempuan untuk menyambung rambutnya dengan benang
sutera,bulu domba, ataupun potongan-potongan kain dan benda-benda lain yang
menyerupai rambut. Perbuatan ini tidaklah dinilai termasuk
menyambung
rambut, tidaklah pula sejenis dengan tujuan orang yang menyambung
rambut.[8]
Berkata
al-Qadhi ‘Iyadh:
Adapun mengikatkan benang-benang sutera yang berwarna dan lainnya yang tidak menyerupai rambut, maka tidak dilarang sebab ia bukan menyambung rambut dan tidak termasuk ke dalam pengertian menyambung rambut; akan tetapi untuk kecantikan dan hiasan.[9]
Pendapat
dari hal tersebut menyatakan, bila perempuan itu tidak mempunyai
suami atau tuan maka haram hukumnya. Bila perempuan itu tidak bersuami
atau bertuan, maka ada tiga macam pendapat, pertama,
tidak diperbolehkan
karena z{ahirnya, hadis-hadis di atas. Kedua,
diperbolehkan. Ketiga,
dan ini pendapat yang paling shahih bagi
mereka, bila perempuan itu menyambungkan
atas seizin suami atau tuannya, maka hal itu diperbolehkan bila
tidak diizinkan maka haram hukumnya. Menurut
pendapat para ulama yang bermaz\hab Syafi'i hukumnya adalah haram
jika perempuan tersebut tidak bersuami. Sedangkan menurut pendapat yang
lain di kalangan ulama-ulama mazhab Syafi'i, hukumnya adalah makruh.[10]
Jika
perempuan tersebut bersuami maka ada tiga pendapat di kalangan para
ulama bermaz\hab Syafi'i. Pendapat yang dinilai paling tepat adalah boleh jika
dengan izin suami. Namun jika tanpa izin suami hukumnya haram. Pendapat
kedua, mengharamkannya secara mutlak. Pendapat ketiga, tidak
haram dan tidak makruh secara mutlak (baik dengan izin atau tanpa izin suami).
Sedangkan
para ulama bermaz\hab Hanafi memperbolehkan seorang perempuan
untuk menyambung rambut asalkan bukan dengan rambut manusia agar
rambut nampak lebih banyak. Mereka beralasan dengan perkataan yang diriwayatkan
dari Aisyah.
Dari
Sa’ad Iskaf dari Ibnu Syuraih, aku berkata kepada Aisyah bahwasannya
Rasulullah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya.
Aisyah
lantas berkomentar:
…… Subhanallah, tidaklah mengapa bagi seorang perempuan yang jarang-jarang rambutnya untuk memanfaatkan bulu domba untuk digunakan sebagai penyambung rambutnya sehingga dia bisa berdandan dihadapan suaminya. Yang dilaknat Rasulullah SAW. hanya seorang perempuan yang rambutnya sudah dipenuhi uban dan usianya juga sudah lanjut lalu dia sambung rambut dengan lilitan (untuk menutupi ubannya, pent). (Riwayat ini disebutkan oleh Suyuthi dalam Jami’ al-Hadits No. 43260 dan beliau komentar sebagai riwayat Ibnu Jarir).[11]
Sedangkan
para ulama bermazhab Maliki mengharamkan menyambung rambut
tanpa membedakan apakah disambung dengan rambut ataukah disambung
dengan bukan rambut.
Di
sisi lain ulama bermazhab Hambali hanya mengharamkan jika rambut disambung
dengan rambut baik rambut manusia maupun rambut hewan, baik dengan
izin suami ataukah tanpa izin suami. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa
tidaklah mengapa jika seorang perempuan mengikat rambutnya jika tidak dengan
rambut jika ada kebutuhan.
Namun
di antara pendapat Imam Ahmad adalah melarang seorang perempuan
untuk menyambung rambutnya baik disambung dengan rambut, bulu kambing
ataupun tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai hiasan rambut.[12]
RUJUKAN
[1] Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram (Bandung : Jabal, 2007) h. 101.
[2] Abu Fajar al-Qatami dan Abd. Wahid al-Banjari, Terjemah Riyadus Shalihih (Yogyakarta : Gita Media Press, 2004) h. 555.
[3] Akram Ridha, Manajemen Diri Muslimah buku 1 ( Bandung : Nisa’ Syamil, 2005) h. 95.
[4] www.salafy.or.id diakses tanggal 25 Januari 2018
[5] Ibid.
[6] Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram (Bandung : Jabal, 2007) h. 102.
[7] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14 (Bandung : Al-ma’Arif, 1997) h. 128-129
[8] www.mail-archive.com diakses tanggal 25 Januari 2018.
[9] Sabiq, Fiqih Sunnah 14, h. 129.
[10] http://ustadzaris.com. Diakses tanggal 13 Januari 2018.
[11] Ibid
[12] Ibid. tanggal 13 Januari 2010.