Nasionalisme Dalam Islam
Wednesday, 15 August 2018
Paham kebangsaan (Nasionalisme) yang pertama kali memperkenalkan kepada umat Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas, seperti telah diketahui, setelah Revolusi 1789, Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Us\mani, merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan orang-orang Turki.
Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah al Ummat al Misriyah, sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini telah amat dikenal, yaitu al Ummah al Islamiyah al Ummah al Misriyah dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah ummah lain, atau bangsa-bangsa lain.[1]
Islam pada awalnya memiliki citra dan cerita yang positif karena penyebarannya dengan jalan damai dan berperan dalam peningkatan peradaban manusia. ”Bahkan secara politis Islam telah menjadi kekuatan dominan yang mampu menyangga dan mempersatukan penduduk nusantara yang bertebaran ini ke dalam sebuah identitas baru yang bernama Indonesia, sekalipun pada akhirnya secara legal formal ikatan keindonesiaan ini diatur dan diperkuat oleh administrasi dan ideologi negara”.[2]
Di dalam Islam tidak ada larangan untuk mencintai bangsa dan tanah air. Sehingga di dalam Alquran Nasionalisme digambarkan dalam bentuk persatuan untuk mempertahankan kokohnya suatu negara dari ancaman negara lain yang ingin menjajah dan menguasainya. Karena Nasionalisme merupakan salah satu pendorong yang sangat penting sekali untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dengan jalan cinta bangsa dan tanah air. Dan persatuan adalah merupakan faktor yang dapat menumbuhkan potensi kekuatan fisik dan mental yang tangguh serta Nasionalisme dapat membangkitkan kasih yang senasib dan seperjuangan, dan membangkitkan perlawanan kepada imperialisme.
Di dalam Alquran kata sya’ab disebut sekali dalam bentuk plural (yang pada mulanya mempunyai arti cabang dan rumpun) yaitu: syu’uban yang tercantum pada surat al H{ujurat ayat 13:
Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT. ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah SWT. Maha Mengetahui dan Maha mengenal”.[3]
Pada ayat tersebut jelas bahwa Alquran telah memperkenalkan konsep bangsa (Nasionalisme), dengan kata lain Islam mengakui adanya rasa kebangsaan atau kedaerahan. Rasa kebangsaan ini ditujukan dengan sikap lita’arafu (saling kenal mengenal dan harga menghargai).
Sebagaimana sikap Nasionalisme Nabi Muhammad Saw. dibuktikan pada saat beliau berada di kota Madinah keadaan Nabi Muhammad Saw. dan Umat Islam mengalami perubahan yang besar. di Madinah Nabi Muhammad Saw. menghadapi masyarakat mejemuk yang memiliki tingkat rivalitas yang relatif tinggi, dengan demikian maka Nabi Muhammad Saw. merasa perlu penataan dan pengendalian untuk mengatur hubungan antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama. Sehingga pada saat itu, Rasullullah Saw merasa perlu mengikat seluruh penduduk Madinah untuk mengadakan perjanjian yang disebut piagam Madinah. Piagam itu dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya nation state oleh Montgomery Watt dan Bernard Lewis.[4]
Madinah saat itu dihuni oleh kaum Ansar yaitu penduduk asli yang telah memeluk Islam, dan kaum Muhajir yang berasal dari Mekah dan menetap bersama Nabi atau setelah itu. Kaum Ansar sendiri terdiri dari suku Aus dan Khazraj. Kaum muslim bukanlah satu-satunya yang menghuni kota Madinah. Disamping muslim menghuni juga kaum Yahudi, Kristen, Majusi (penyembah api) dan sisa-sisa orang Arab yang masih menyembah berhala. Piagam Madinah merupakan landasan dasar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi penduduk Madinah yang majemuk. Adapun isi pokok piagam Madinah antara lain: pertama, semua pemeluk Islam meskipun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas. Kedua, hubungan antara sesama komunitas Islam dan antara komunitas Islam dengan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga dengan baik, saling membantu dalam menghadapi musuh, membantu mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.[5]
Sejarah mencatat, bahwa ketika berada dan berdakwah di Makkah, Muhammad mengalami berbagai hambatan dan tantangan dari kalangan kafir Quraisy Makkah. Melihat sulitnya mendakwahkan Islam dalam situasi seperti itu, Nabi Muhammad Saw. mulai mencari solusi alternatif wilayah baru yang kondusif bagi penyiaran Islam. Menurut at-Tabari, daerah yang pertama kali menjadi tujuan nabi Muhammad Saw. adalah Abysinia, suatu daerah yang makmur yang mengundang orang-orang Quraisy berdagang di sana. Tidak hanya sebatas itu, kehidupan keagamaan di sana juga bersikap toleran dan bahkan ada jaminan keamanan bagi masing-masing pemeluknya. Merasa khawatir atas keselamatan warganya dari serangan kafir Quraisy yang cukup banyak mendiami tempat tersebut, Muhammad memerintahkan mereka untuk pindah ke Yasrib,[6] yang kelak dinamai Madinah.
RUJUKAN
[1] DR. Muhammad Quraish Shihab, MA. Wawasan Al Qur’an (Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat), (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 13, h. 329
[2] Zainuddin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa (Yogyakarta: Galang Press, 2000), h. xxv
[3] Depag. RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo), h. 847
[4] Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kyai (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 241
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. Ajaran, sejarah dan Pemikiran (Jakarta:UI Press, 1993), h. 13-14
[6] Asghar Ali Engener, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 138.