Peran Wali Nanggroe
Sunday, 5 August 2018
Konsep wali nanggroe pertama
sekali muncul saat lahirnya gerakan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Daud
Beureu-eh. Dinamakan wali karena memiliki arti pemimpin,
pelindung, kurator, amanah, dan sosok yang berbudi pekerti mulia serta bertanggung
jawab. Hal tersebut sejalan dengan arti wali itu sendiri dalam literatur Islam
yang identik dengan tuntutan ajaran Islam dimana pemimpin mesti fatanah dan
amanah.
Wali negara yang disandang oleh
Daud Beuereu-eh adalah gelar sebagai pemimpin negara tertinggi yang
ingin menjadikan Aceh sebagai Negara Islam. Ketika menjabat sebagai wali
negara, ia dibantu oleh beberapa orang menteri dalam menjalankan roda
pemerintahannya. Tapi tak jarang pula sang wali turun tangan sendiri untuk
menyelesaikan masalah. Ia sering berkeunjung keberbagai daerah baik didalam maupun diluar
Aceh untuk berpidato. Pidato tersebut dilakukan didepan orang banyak
guna mencari dukungan serta simpatisan yang berkenan ikut serta untuk
mendirikan negara Islam.
Walaupun pada akhirnya perjuangan
Daud Beureu-eh dianggap sebagai gerakan pengacau keamanan. Namun
dibalik kekacauan yang ia timbulkan, terdapat pula hal positif yang
berhasil diraih. Berikut beberapa hal yang berhasil diperoleh dari perjuangan Daud
Beureu-eh:
- Perluasan Mesjid Raya Baiturrahman dan penambahan kubah dari 3 menjadi 5 serta pembangunan menara mesjid.
- Pengembalian status provinsi Daerah Istimewa Aceh tingkat I bagi daerah Aceh.
- Pengesahan predikat Daerah Istimewa Aceh dalam bidang keagamaan, pendidikan dan peradatan kebudayaan bagi provinsi Aceh.
- Pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam sebagai pusatilmu pengetahuan dan jantung hati rakyat.
Selanjutnya wali nanggroe menurut
Hasan Tiro istilah wali yang ia pakai diibaratkan seperti seorang anak
kecil yang kehilangan orang tuanya, sementara ia belum dewasa, sehingga diperlukan
orangtua untuk menjaga dan melindunginya. Inilah yang terjadi menjelang
berakhirnya kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam.
Tgk Hasan di Tiro beliau
menyadari Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman dipercayakan oleh majelis negara
sebagai kepala pemerintahan dengan sebutan al-Mukarram, Al-Malik, dan
Al-Mudabbir tahun 1877, yang bukan berasal dari darah biru sultan Aceh tetapi
dari ulama Tiro, untuk itu Hasan di Tiro enggan menyebut Sultan tapi menyebutnya
sebagai wali nanggroe.
Atas
dasar inilah ia menyebut dirinya sebagai wali ke
8 meneruskan perjuangan para pendahulunya membebaskan diri dari belenggu
penjajahan termasuk kepemimpinan elit politik di Jakarta ia anggap sebagai
bentuk penjajahan oleh bangsa Jawa terhadap Aceh.
Hasan Tiro dalam menjalankan roda
pemerintahan bentukannya dibantu oleh pengikutnya yang mengisi
posisi sebagai menteri. Jabatan wali nanggroe yang ia sandang mengaskan
kepemimpinannya terhadap rakyat Aceh berdasarkan idenya sendiri. Ketika menduduki
posisi wali nanggroe Hasan Tiro juga bertanggung jawab sebagai menteri
pertahanan serta menteri luar negeri. Ia juga berkeliling Aceh maupun luar Aceh
untuk mencari dukungan dan pengikut yang berasal dari berbagai kalangan.
Ia juga mencari dukungan politik
dari dunia Internasional dengan berbagai cara yang memungkin untuk
dilakukan. Namun karena keadaan gerakan ini tercium oleh aparat Hasan di Tiro
bersembunyi keluar negeri. Perjuangan GAM diteruskan oleh pengikutnya
sedangkan Hasan Tiro bergerak dibelakang layar.
Hasan Tiro memposisikan diri
sebagai pemimpin tertinggi yang membuat kebijakan terhadap gerakan
politik yang ia cetuskan. Wali nanggroe Tgk Hasan di Tiro selain menduduki jabatan
sebagai kepala pemerintahan juga menjabat sebagai menteri pertahanan juga sebagai menteri luar
negeri.