Zakat Produktif
Tuesday, 14 August 2018
Zakat produktif adalah harta zakat yang disalurkan kepada orang-orang yang berhak dan dapat diberdayagunakan. Karena hakikat zakat bukanlah berapa rupiah yang diterima oleh para penerima zakat (mustaḥiq), namun bagaimana zakat tersebut bisa meningkatkan kesejahteraan umat. Zakat produktif merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat (Armiadi, 2008: 67). Sedangkan (Hafidhuddin 2002: 27) menyebutkan bahwa zakat produktif adalah zakat yang diberikan kepada mustaḥiq sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi, yaitu untuk menumbuh kembangkan tingkat ekonomi dan potensi produktifitas mustaḥiq. Tidak jauh berbeda dengan Anwar (2010) bahwa zakat produktif merupakan pengelolaan dan penyaluran zakat secara produktif yang mempunyai efek jangka panjang bagi para penerima zakat.
Jadi zakat produktif adalah harta yang berkembang (produktif atau berpotensi produktif), yang dimaksud dengan harta yang berkembang di sini adalah harta tersebut dapat bertambah dan berkembang bila dijadikan modal usaha atau mempunyai potensi untuk berkembang, misalnya hasil pertanian, perdagangan, ternak, emas, perak, dan uang. Pengertian berkembang menurut istilah yang lebih luas adalah sifat harta tersebut dapat memberikan keuntungan atau pendapatan lain. Zakat ini dimaksudkan agar mustaḥiq dapat berusaha dan bekerja lebih maksimal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya, diharapkan mustaḥiq dapat meningkatkan pendapatannya sehingga mereka tidak lagi menjadi mustaḥiq bahkan mungkin selanjutnya dapat menjadi muzakki.
Selain itu, penyaluran zakat secara produktif juga dapat menghilangkan sifat bermalas-malasan dengan hanya mengharapkan bantuan dari orang lain. Penyaluran zakat secara produktif menuntut mustaḥiq untuk lebih profesional dalam mengelola hartanya. Model distribusi zakat produktif untuk modal usaha akan lebih bermakna, karena akan menciptakan sebuah mata pencaharian yang akan mengangkat kondisi ekonomi para mustaḥiq, sehingga diharapkan lambat laun mereka akan dapat keluar dari jerat kemiskinan, lebih dari itu mereka dapat mengembangkan usaha sehingga dapat menjadi seorang muzakki.
Dasar hukum zakat produktif adalah berdalil kepada hadīth yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu ketika Rasulullah memberikan uang zakat kepada ‘Umar bin al-Khaṭṭāb yang bertindak sebagai amil zakat seraya bersabda (Zeinuddin; 1986: 516-517):
Dari Umar bin Khatab ra berkata: Rasulullah saw. memberikan pemberian kepadaku, lalu saya berkata kepada beliau: Berikanlah kepada orang yang lebih memerlukannya dari pada saya”. Beliau bersabda “Ambillah itu (kembangkanlah), apabila ada sesuatu yang datang kepadamu dari harta ini sedangkan kamu tidak melekat (untuk mengambilnya) dan tidak meminta maka ambillah ia. Sesuatu yang tidak (seperti itu) maka janganlah kamu ikutkan dirimu padanya (HR. Muslim).
Hadīth di atas memberikan pengertian bahwa harta zakat dapat dikembangkan dan diusahakan, hal ini sebagai suatu indikasi bahwa harta zakat dapat digunakan untuk hal-hal selain kebutuhan konsumtif, semisal usaha yang menghasilkan keuntungan (produktif). Rasulullah saw. bersabda:
Zakat diambil dari orang kaya di antara mereka kemudian diserahkan kepada orang miskin di antara mereka. (HR. Muslim)
Hadis lain yang berkenaan dengan zakat yang didistribusikan dengan usaha produktif adalah hadis yang dikutip oleh Qardhawi (2007: 564), yaitu yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, yang berbunyi:
Bahwasanya Rasulullah saw. tidak pernah menolak jika diminta sesuatu atas nama Islam, maka Anas berkata “suatu ketika datanglah seorang laki-laki dan meminta sesuatu kepada beliau, maka beliau memerintahkan untuk memberikan kepadanya domba (kambing) yang jumlahnya sangat banyak yang terletak dua gunung dari harta shadaqah, lalu laki-laki itu kembali kepada kaumnya seraya berkata “wahai kaumku masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad telah memberikan suatu pemberian yang dia tidak takut jadi kekurangan” (HR. Aḥmad dengan sanad ṣaḥīḥ)
Pemberian kambing kepada muallafah qulūbuhum di atas adalah sebagai bukti bahwa harta zakat dapat disalurkan dalam bentuk modal usaha. Nabi saw. juga pernah mengisyaratkan dalam sabdanya:
Dari Ḥarithah bin Wahb ra. Berkata, ia merdengar Rasulullah saw. Bersabda: “Berzakatlah kalian, niscaya akan datang suatu masa, di mana seorang muzakki (pembayar zakat), membawa zakat hartanya, tetapi tidak menemukan lagi orang yang berhak menerimanya. (HR. Muslim)
Pola pendistribusian zakat produktif haruslah diatur sedemikian rupa sehingga jangan sampai sasaran dari program ini tidak tercapai. Beberapa langkah yang menjadi acuan dalam pendistribusian zakat produktif (Armiadi, 2008: 69) diantaranya adalah:
- Forecasting yaitu meramalkan, memproyeksikan dan mengadakan taksiran sebelum pemberian zakat.
- Planning yaitu merumuskan dan merencanakan suatu tindakan tentang apa saja yang akan dilaksanakan untuk tercapainya program, seperti penentuan orang-orang yang akan mendapat zakat produktif, menentukan tujuan yang ingin dicapai, dan lain-lain.
- Organizing dan Leading yaitu mengumpulkan berbagai elemen yang akan membawa kesuksesan program termasuk di dalamnya membuat peraturan yang baku yang harus ditaati.
- Controlling yaitu pengawasan terhadap jalannya program sehingga jika ada sesuatu yang tidak beres atau menyimpang dari prosedur akan segera terdeteksi.
Selain langkah-langkah tersebut di atas bahwa dalam penyaluran zakat produktif haruslah diperhatikan orang-orang yang akan menerimanya, apakah dia benar-benar termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat dari golongan fakir miskin, demikian juga mereka adalah orang-orang yang berkeinginan kuat untuk bekerja dan berusaha.
Masjfuk Zuhdi menyebutkan bahwa seleksi bagi para penerima zakat produktif haruslah dilakukan secara ketat, sebab banyak orang fakir miskin yang masih jasmani dan rohaninya tetapi mereka malas bekerja. Mereka lebih suka jadi gelandangan daripada menjadi buruh atau karyawan. Mereka itu tidak boleh diberi zakat, tetapi cukup diberi sedekah ala kadarnya, karena mereka merusak citra Islam. Karena itu fakir miskin itu harus diseleksi lebih dahulu, kemudian diberi pelatihan keterampilan yang sesuai dengan bakatnya, kemudian baru diberi modal kerja yang memadai.
Sri Adi Bramasetia, Sekretaris Jenderal Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia (Forum Zakat atau FOZ) menyatakan bahwa calon penerima zakat harus diajarkan tentang manajemen keuangan yang baik, sehingga mereka bisa menghitung berapa persentase modal yang akan dikelola, berapa labanya dan berapa persen yang akan mereka konsumsi. Jika semua proses itu tidak terpenuhi, maka dana zakat tidak akan produktif melainkan konsumtif.
Menurut Didin Hafidhuddin Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ), jika memberikan zakat yang bersifat produktif, harus pula melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan, seperti memberi pembinaan rohani dan intelektual keagamaan agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keIslamannya (Hafidhuddin; 2002:45). Orang miskin harus dibebaskan lebih dahulu dari kemiskinan jiwanya sehingga tidak mudah untuk meminta-minta, sasaran utama adalah membuat jiwa si miskin menjadi kaya dan siap berusaha. Setelah itu baru digulirkan dana zakat tersebut. Namun mereka tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan dikelompokkan sehingga bisa membantu antar anggota kelompoknya dan bahkan membantu kelompok yang lain. Karena itu, dana zakat diberikan kepada mustaḥiq yang memiliki sisi pemberdayaan.