Alasan-alasan dan Syarat-syarat Poligami
Friday, 8 August 2014
Sudut Hukum | Alasan-alasan dan Syarat-syarat Poligami
a. Menurut Perundang-undangan
Pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh menikah dengan seorang wanita, begitu juga sebaliknya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa seorang laki-laki diperbolehkan mempunyai isteri lebih dari seorang (poligami). Dengan ketentuan poligami tersebut dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan mendapat izin dari pengadilan (pasal 3 ayat (2) UUP jo. pasal 56 ayat (1) KHI) dan suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UUP jo. Pasal 4 PP No.9/1975 jo. pasal 56 ayat (2) KHI ).
Adapun alasan-alasan poligami dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 ditegaskan dalam pasal 4 ayat (2) jo. pasal 41 PP. No. 9/1975 jo. pasal 57 KHIyang berbunyi “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
- Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- Isteri tidak dapat melahirkan keturunan;”
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas, adalah mengacu kepada tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan, yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam rumusan kompilasi yang sakinah, mawaddah, warahmah, wabarokah. Jika ketiga hal tersebut di atas menimpa satu keluarga atau pasangan suami isteri, sudah barang tentu kehampaan dan kekosongan dalam kehidupan berumah tangga akan menerpanya. Misalnya saja isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, tentu akan menjadi kepincangan yang mengganggu laju bahtera rumah tangga yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan seksual bukanlah satu-satunya tujuan dari perkawinan, namun ia akan mendatangkan pengaruh besar manakala tidak terpenuhi. Demikian pula apabila isteri mendapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Akan halnya alasan yang ketiga, tidak semua pasangan suami isteri, yang isterinya tidak dapat melahirkan keturunan memilih alternatif untuk berpoligami, terkadang mereka menempuh cara mengangkat anak asuh.
Tidak hanya alasan-alasan yang tersebut di atas saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan poligami, tetapi terdapat beberapa syarat yang harus terpenuhi. Hal ini tertuang dalam pasal 5 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, jo. pasal 41 point b-d PP No. 9/ 1975 jo. pasal 58 KHI yakni :
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
- Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isterinya
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b. Menurut Hukum Islam
Adalah wajar bagi suatu pandangan apabila agama yang bersifat universal dan berlaku setiap waktu dan kondisi untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadiannya hanya merupakan “kemungkinan”. Adanya
kemungkinan mandulnya seorang isteri atau terjangkitnya penyakit parah, sehingga tidak dapat melayani biologis suami, hal ini merupakan suatu kemungkinan yang wajar.
Apakah ada jalan keluar bagi seorang suami yang dapat diusulkan untuk menghadapi kemungkinan ini agar bisa secara kontinu menyalurkan kebutuhan biologis atau memperoleh anak? Poligami adalah solusi terahir dan jalan yang paling ideal, tetapi sekali lagi harus diingat bahwa hal ini bukan anjuran, apalagi suatu kewajiban.
Berkaitan dengan alasan poligami, Rasyid Ridha dalam bukunya Masyfuk Zuhdi mengemukakan bahwa poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan darurat, misalnya isteri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia. Yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah karena adanya keturunan yang shaleh yang selalu berdoa untuknya. Maka, isteri yang benar-benar dalam keadaan mandul berdasarkan keterangan laboratoris dan suami tidak mandul, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir maupun batin, yang meliputi pangan, pakaian, tempat tinggal, giliran pada masing-masing isteri, dan lainnya yang bersifat kebendaan. Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami.
Berkenaan dengan kewajiban suami untuk berbuat adil terhadap isteri-isterinya, Nabi Muhammad SAW bersabda :
Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Nabi bersabda : Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan dating pada hari kiamat dengan bahunya miring .
Allah SWT juga membolehkan suami berpoligami sampai empat orang isteri dengan syarat harus berlaku adil kepada isteriisterinya, yaitu adil dalam melayani isteri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran, dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bias bersifat adil maka cukup satu isteri saja (monogami).
Hal ini berdasarkan firman Allah surat an-Nisa ayat: 129
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-nisa(4): 129)
Keadilan yang dimaksud oleh ayat ini, adalah keadilan dibidang imateriil (cinta). Itu sebabnya, hati yang berpoligami dilarang memperturutkan cintanya dengan cara berlebihan kepada yang dicintainya. Alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk berpoligami, ada segi positif dan negatifnya, oleh karena itulah keadialan dijadikan syarat utama dalam agama.