Filsafat Barat
Saturday, 22 November 2014
SUDUT HUKUM | Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa
dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan
daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi
orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran
yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat
dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme,
dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis
jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi.
Korespondensi yakni
sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan
empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra
kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah
pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat
diuji dengan logika barat). Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi
menjadi tiga bagian besar yakni:
- bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being),
- bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas),
- bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yangseharusnya dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:
1. Wittgenstein mempunyai aliran analitik
(filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris,
tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk
filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam
yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat
diterapkan pada filsafat.
Yang menjadi obyek penelitian filsafat
analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan
pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik
menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang
menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa
sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.
2. Imanuel Kant mempunyai aliran atau
filsafat ″kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran
manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan
akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan merupakan hasil kerja sama
antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur
pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga tulisan:
- Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia.
- Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan.
- Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan yang khusus.
3. Rene Descartes. Berpendapat bahwa
kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran
dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh
kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat
disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran
hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan,
dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan
dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan
kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”.