-->

Ushul Fikih

Sudut Hukum | Istilah ushul fikih sebenarnya merupakan gabungan (kata majemuk) dari kata ‘ushul’ dan kata ‘fikih’. Makna dari kata ‘fikih’ sudah diuraikan di atas baik secara etimologis maupun secara terminologis. Secara etimologis, fikih berarti paham, dan secara terminologis fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci dari al-Quran dan Sunnah. Sedang kata ‘ushul’ berasal dari bahasa Arab al-ushul yaitu isim jama’ (plural) dari kata dasar (mufrad) ‘alashl’ yang artinya pokok, sumber, asal, dasar, pangkal, dan lain sebagainya (Munawwir, 1997: 23). Dengan mengetahui makna kata ‘ushul’ dan ‘fikih’, dapatlah dipahami makna ushul fikih yang sebenarnya tidak jauh dari makna kedua kata yang menjadi unsur-unsurnya, yakni dasar atau pokok fikih.

Ushul Fikih
Dalam beberapa buku dapat ditemukan variasi definisi tentang ushul fikih, meskipun maksudnya sama. Dalam buku al-Ta’rifat, al-Jarjani mendefinisikan ushul fikih sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah untuk memahami fikih (al-Jarjani, 1988: 28). Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ushul fikih sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasanpembahasan untuk menghasilkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci (Khallaf, 1978: 12).

Sementara itu, Wahbah al-Zuhaili menyebutkan dua pengertian tentang ushul fikih, satu pengertian dari golongan Syafi’iyah dan satu pengertian dari golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Golongan Syafi’iyah mengartikan ushul fikih dengan pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara global (ijmali), cara-cara menggunakannya, serta kondisi penggunanya. Sedang golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah mengartikan ushul fikih dengan kaidah-kaidah yang mengantarkan pada pembahasan tentang istinbath hukum dari dalil-dalilnya yang terperinci atau ilmu tentang kaidah-kaidah ini (al-Zuhaili, 1985, I: 23-24). 

Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa ushul fikih merupakan suatu ilmu yang mendasari ilmu fikih. Dengan ushul fikih inilah dapat dipahami proses terbentuknya hukum fikih (hukum-hukum mengenai perbuatan manusia). Secara sederhana, perbedaan fikih dengan ushul fikih adalah, kalau fikih itu ilmu tentang hukum syara’, sedang ushul fikih ilmu tentang cara-cara mengeluarkan atau menemukan hukum-hukum syara’ tersebut.

Untuk mengetahui perbedaan antara fikih dan ushul fikih dapat disimak ilustrasi contoh berikut. Dalam kitab-kitab fikih dapat ditemukan bahwa shalat hukumnya wajib. Wajibnya shalat ini merupakan hukum syara’. Al-Quran dan Sunnah tidak pernah mengungkapkan secara tegas bahwa shalat itu wajib. Wajibnya shalat ini dalam al-Quran hanya ditunjukkan dengan ayat yang berbunyi: ‘aqimu al-shalah’ (dirikanlah shalat) (misalnya Q.S. al-Baqarah [2]: 43). Ayat al-Quran yang mengandung perintah untuk mengerjakan shalat ini disebut dalil syara’. Untuk menemukan hukum syara’, dalil-dalil syara’ itu harus berpedoman pada aturan-aturan atau kaidah yang sudah ada, umpamanya setiap perintah itu menunjukkan wajib.

Jadi, dari bentuk perintah dalam dalil syara’ seperti ‘dirikanlah shalat’ dapat diketahui hukum syara’ bahwa shalat itu wajib dilakukan. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut disebut ushul fikih.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari ilmu ushul fikih adalah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah-kaidah ushul ini dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan para ulama (mujtahid) dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu (Amir Syarifuddin, 1997, I: 41). Pokok bahasan ushul fikih sangat berbeda dengan fikih. Pokok bahasan ushul fikih berkisar pada tiga hal, yaitu:
  1. dalil-dalil atau sumber hukum Islam; 
  2. hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil-dalil itu; dan 
  3. kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengandung hukum tersebut (Amir Syarifuddin, 1997, I: 41; al-Zuhaili, 1985, I: 27).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel