-->

Pengertian Hukum Islam, Syariah, Fikih, dan Ushul Fikih

Sudut Hukum | Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter, dan ruang lingkupnya sendiri. Begitu juga halnya dengan sistem hukum dalam Islam. Islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan sebutan hukum Islam. Ada beberapa istilah yang terkait dengan kajian hukum Islam, yaitu syariah, fikih, ushul fikih, dan hukum Islam sendiri.

Pengertian Hukum Islam, Syariah, Fikih, dan Ushul Fikih
Istilah syariah, fikih, dan hukum Islam sangat populer di kalangan para pengkaji hukum Islam di Indonesia. Namun demikian, ketiga istilah ini sering dipahami secara tidak tepat, sehingga ketiganya terkadang saling tertukar. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan masing-masing dari ketiga istilah tersebut dan hubungan antarketiganya, terutama hubungan antara syariah dan fikih. Satu lagi istilah yang juga terkait dengan kajian hukum Islam adalah ushul fikih.

Pada prinsipnya hukum Islam bersumber dari wahyu Ilahi, yakni al- Quran, yang kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Nabi Muhammad saw. melalui Sunnah dan hadisnya. Wahyu ini menentukan norma-norma dan konsep-konsep dasar hukum Islam yang sekaligus merombak aturan atau norma yang sudah mentradisi di tengah-tengah masyarakat manusia. Namun demikian, hukum Islam juga mengakomodasi berbagai aturan dan tradisi yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam wahyu Ilahi tersebut.

Hukum Islam

Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan: 1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; 2) undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu; dan 4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) atau vonis (Tim Penyusun Kamus, 2001: 410). Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa (Muhammad Daud Ali, 1996: 38). Kata hukum sebenarnya berasal dari bahasa Arab al-hukm yang merupakan isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang berarti memimpin, memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingg kata alhukm berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan (Munawwir, 1997: 286). Dalam ujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undangundang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.

Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya (Mahmud Syaltout, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. lalu disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ tersebut muncul istilah hukum Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum Islam ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT. Dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur tingkah laku manusia di tengahtengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.

Dalam khazanah literatur Islam (Arab), termasuk dalam al-Quran dan Sunnah, tidak dikenal istilah hukum Islam dalam satu rangkaian kata. Kedua kata ini secara terpisah dapat ditemukan penggunaannya dalam literatur Arab, termasuk juga dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam literatur Islam ditemukan dua istilah yang digunakan untuk menyebut hukum Islam, yaitu al-syari’ah al-Islamiyah (Indonesia: syariah Islam) dan al-fiqh al- Islami  (Indonesia: fikih Islam). Istilah hukum Islam yang menjadi populer dan digunakan sebagai istilah resmi di Indonesia berasal dari istilah Barat.

Hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah Barat yang berbahasa Inggris, yaitu Islamic law. Kata Islamic law sering digunakan para penulis Barat (terutama para orientalis) dalam karya-karya mereka pada pertengahan abad ke-20 Masehi hingga sekarang. Sebagai contoh dari bukubuku mereka yang terkenal adalah Islamic Law in Modern World (1959) karya J.N.D. Anderson, An Introduction to Islamic Law (1965) karya Joseph Schacht, A History of Islamic Law (1964) karya N.J. Coulson, Crime and Punishment in Islamic Law: Theory and Practice from the Sixteenth to the Twenty-first Centuri (2005) karya Rudolph Peters, An Introduction to Islamic Law (2009) kayra Wael B. Hallaq, dan Introduction in Islamic Law (2010) karya Ahmed Akgunduz.

Para pakar hukum Islam yang menulis dengan bahasa Inggris juga menggunakan istilah itu dalam tulisan-tulisan mereka. Kata Islamic law sering digunakan untuk menunjuk istilah Arab fikih Islam. Ahmad Hasan menggunakan istilah Islamic law untuk fikih dalam karya-karyanya seperti dalam buku The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970) dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994). Istilah inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum Islam. Istilah ini kemudian banyak digunakan untuk istilah-istilah resmi seperti dalam perundang-undangan, penamaan mata kuliah, jurusan, dan lain sebagainya. Adapun untuk padanan syariah, dalam literatur Barat, ditemukan kata shari’ah. Untuk padanan syariah terkadang juga digunakan Islamic law, di samping juga digunakan istilah lain seperti the revealed law atau devine law (Ahmad Hasan, 1994: 396).

Istilah lain terkait dengan hukum Islam yang juga digunakan dalam literatur Barat adalah Islamic Jurisprudence. Istilah ini digunakan untuk padanan ushul fikih. Ada beberapa buku yang ditulis dalam bahasa Inggris terkait dengan istilah ini, di antaranya adalah dua buku tulisan Ahmad Hasan seperti di atas, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950) karya Joseph Schacht, The Principles of Muhammadan Jurisprudence (1958) karya Abdur Rahim, dan juga dua karya Ahmad Hasan seperti di atas, yakni The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970) dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994), serta karya Norman Calder, Islamic Jurisprudence in the Classical Era yang diedit oleh Colin Imber (2010).

Dari penjelasan di atas terlihat adanya ketidakpastian atau kekaburan makna dari Islamic law (hukum Islam) antara syariah dan fikih. Jadi, kata hukum Islam yang sering ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum mencakup syariah dan fikih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fikih. Oleh karena itu, sering juga ditemukan dalam literatur tersebut kata syariah Islam dan fikih Islam untuk menghindari kekaburan penggunaan istilah hukum Islam untuk padanan dari kedua istilah tersebut.

Syariah

Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab al-syari’ah yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan (al-Fairuzabadiy, 1995: 659). Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7). Syariah diartikan jalan air karena siapa saja yang mengikuti syariah akan mengalir dan bersih jiwanya.

Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia (Amir Syarifuddin, 1997, I:1). Ada juga yang mengartikan syariah dengan apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya (Manna’ al-Qaththan, 2001: 13).

Al-Quran menggunakan dua istilah: syir’ah (Q.S. al-Maidah [5]: 48) dan syari’ah (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 18) untuk menyebut agama (din) dalam arti jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia atau jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia. Istilah syarai’ (jamak dari syari’ah) digunakan pada masa Nabi Muhammad saw. untuk menyebut masalahmasalah pokok agama Islam seperti shalat, zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan haji (Ahmad Hasan, 1984: 7). Syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya (Manna’ al-Qaththan, 2001: 13). Al-Quran dan Sunnah tidak menggunakan istilah al-syari’ah dan al-Islamiyyah dalam waktu yang bersamaan, namun dalam buku-buku berbahasa Arab kedua istilah yang bersamaan itu sering ditemukan, baik dalam buku-buku lama maupun buku-buku yang baru.

Adapun istilah al-syari’ah al-Islamiyyah didefinisikan sebagai apa yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya baik berupa akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun aturan-aturan hidup manusia dalam berbagai aspek kehidupannya untuk mengatur hubungan umat manusia dengan Tuhan mereka dan mengatur hubungan mereka dengan sesama mereka serta untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Sering kali kata syariah disambungkan dengan Allah sehingga menjadi syariah Allah (syari’atullah) yang berarti jalan kebenaran yang lurus yang menjaga manusia dari penyimpangan dan penyelewengan, dan menjauhkan manusia dari jalan yang mengarah pada keburukan dan ajakan-ajakan hawa nafsu (Manna’ al-Qaththan, 2001: 14). Kata syariah secara khusus digunakan untuk menyebut apa yang disyariatkan oleh Allah yang disampaikan oleh para Rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Karena itulah, Allah disebut al-Syari’ yang pertama dan hukum-hukum Allah disebut hukum syara’.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa istilah syariah pada mulanya identik dengan istilah din atau agama. Dalam hal ini syariah didefinisikan sebagai semua peraturan agama yang ditetapkan oleh al-Quran maupun Sunnah Rasul. Karena itu, syariah mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul al din), yakni ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, akhirat, dan yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan ilmu tauhid yang lain. Syariah mencakup pula etika, yaitu cara seseorang mendidik dirinya sendiri dan keluarganya, dasar-dasar hubungan kemasyarakatan, dan cita-cita tertinggi yang harus diusahakan untuk dicapai atau didekati serta jalan untuk mencapai cita-cita atau tujuan hidup itu. Di samping itu, syariah juga mencakup hukum-hukum Allah bagi tiap-tiap perbuatan manusia, yakni halal, haram, makruh, sunnah, dan mubah. Kajian tentang yang terakhir ini sekarang disebut fikih (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131).

Jadi, secara singkat bisa dimengerti, semula syariah mempunyai arti luas yang mencakup akidah (teologi Islam), prinsip-prinsip moral (etika dan karakter Islam, akhlak), dan peraturan-peraturan hukum (fikih Islam). Pada abad kedua hijriah (abad ke-9 Masehi), ketika formulasi teologi Islam dikristalkan untuk pertama kali dan kata syariah mulai dipakai dalam pengertian yang sistematis, syariah dibatasi pemakaiannya untuk menyebut hukum (peraturan-peraturan hukum) saja, sedang teologi dikeluarkan dari cakupannya. Jadi, syariah menjadi konsep integratif tertinggi dalam Islam bagi mutakallimin (para teolog Muslim) dan fuqaha’ (para ahli hukum Islam) yang kemudian. Pengkhususan syariah pada hukum ‘amaliyyah saja atau dibedakannya dari din (agama), karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedang syariah berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda dengan umat-umat sebelumnya (Amir Syarifuddin, 1993: 14). Dengan demikian, syariah lebih khusus dari agama, atau dengan kata lain agama mempunyai cakupan yang lebih luas dari syariah, bahkan bisa dikatakan bahwa syariah merupakan bagian kecil dari agama.

Adapun secara terminologis syariah didefinisikan dengan berbagai variasi. Wahbah al-Zuhaili (1985, I: 18) mendefinisikan syariah sebagai setiap hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya baik melalui al- Quran maupun Sunnah, baik yang terkait dengan masalah akidah yang secara khusus menjadi kajian ilmu kalam, maupun masalah amaliah yang menjadi kajian ilmu fikih. Muhammad Yusuf Musa (1988: 131) mengartikan syariah sebagai semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan al-Quran maupun dengan Sunnah Rasul. Yusuf Musa juga mengemukakan satu definisi syariah yang dikutip dari pendapat Muhammad Ali al-Tahanwy. Menurut al-Tahanwy syariah adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hambahamba- Nya yang dibawa Nabi, baik yang berkaitan dengan cara perbuatan yang dinamakan dengan hukum-hukum cabang dan amaliyah yang dikodifikasikan dalam ilmu fikih, ataupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang dinamakan dengan hukum-hukum pokok dan i’tiqadiyah yang dikodifikasikan dalam ilmu kalam (M. Yusuf Musa, 1988: 131).

Dari beberapa definisi syariah di atas dapat dipahami bahwa syariah pada mulanya identik dengan agama (din) dan objeknya mencakup ajaranajaran pokok agama (ushuluddin/aqidah), hukum-hukum amaliyah, dan etika (akhlak). Pada perkembangan selanjutnya (pada abad II H. atau abad IX M.) objek kajian syariah kemudian dikhususkan pada masalah-masalah hukum yang bersifat amaliyah, sedangkan masalah-masalah yang terkait dengan pokok-pokok agama menjadi objek kajian khusus bagi akidah (ilmu ushuluddin). Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syariah berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda dengan umat-umat sebelumnya. Dengan demikian, syariah lebih khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliyah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya. Syariah yang datang kemudian mengoreksi dan membatalkan syariah yang lebih dahulu, sedangkan dasar agama, yaitu aqidah (tauhid), tidak berbeda di antara para Rasul. Atas dasar inilah Mahmud Syaltout mendefinisikan syariah sebagai aturan-aturan yang disyariatkan oleh Allah atau disyariatkan pokokpokoknya agar manusia itu sendiri menggunakannya dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan alam semesta, serta dengan kehidupan” (Mahmud Syaltout, 1966: 12). Syaltout menambahkan bahwa syariah merupakan cabang dari aqidah yang merupakan pokoknya. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Aqidah merupakan fondasi yang dapat membentengi syariah, sementara syariah merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam beraqidah (Mahmud Syaltout, 1966: 13).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya syariah bermakna umum (identik dengan agama) yang mencakup hukum-hukum aqidah dan amaliyah, tetapi kemudian syariah hanya dikhususkan dalam bidang hukum-hukum amaliyah. Bidang kajian syariah hanya terfokus pada hukum-hukum amaliyah manusia dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia, dan alam semesta. Adapun sumber syariah adalah al-Quran yang merupakan wahyu Allah dan dilengkapi dengan Sunnah Nabi Muhammad saw.

Fikih

Secara etimologis kata ‘fikih’ berasal dari kata berbahasa Arab: alfiqh, yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu (al-Fairuzabadiy, 1995: 1126). Dalam hal ini kata ‘fiqh’ identik dengan kata fahm atau ‘ilm yang mempunyai makna sama (al-Zuhaili, 1985, I: 15). Kata fikih pada mulanya digunakan orang-orang Arab untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang sedang bunting. Dari ungkapan ini fikih kemudian diartikan ‘pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu hal’. Dalam buku al-Ta’rifat, sebuah buku semisal kamus karya al- Jarjani, dijelaskan, kata ‘fiqh’ menurut bahasa adalah ungkapan dari pemahaman maksud pembicara dari perkataannya (al-Jarjani, 1988: 168).

Kata fiqh semula digunakan untuk menyebut setiap ilmu tentang sesuatu, namun kemudian dikhususkan untuk ilmu tentang syariah. Al-Quran menggunakan kata ‘fiqh’ atau yang berakar kepada kata ‘faqiha’ dalam 20 ayat. Kata ‘fiqh’ dalam pengertian ‘memahami secara umum’ lebih dari satu tempat dalam al-Quran. Ungkapan ‘liyatafaqqahu fiddin’ (Q.S. al-Taubah [9]: 122) yang artinya ‘agar mereka melakukan pemahaman dalam agama’ menunjukkan bahwa di masa Rasulullah istilah fikih tidak hanya digunakan dalam pengertian hukum saja, tetapi juga memiliki arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam Islam, yaitu teologis, politis, ekonomis, dan hukum (Ahmad Hasan, 1984: 1). Perlu dicatat bahwa di masa-masa awal Islam, istilah ‘ilm’ dan ‘fiqh’ seringkali digunakan bagi pemahaman secara umum. Diceritakan bahwa Rasulullah telah mendoakan Ibnu ‘Abbas dengan mengatakan ‘Allahumma faqqihhu fiddin’ yang artinya ya Allah berikan dia pemahaman dalam agama. Dalam doa tersebut Rasulullah tidak memaksudkan pemahaman dalam hukum semata, tetapi pemahaman tentang Islam secara umum (Ahmad Hasan, 1984: 2).

Seperti halnya syariah, fikih semula tidak dipisahkan dengan ilmu kalam hingga masa al-Ma’mun (meninggal 218 H.) dari Bani Abbasiah. Hingga abad II H. fikih mencakup masalah-masalah teologis maupun masalah-masalah hukum. Sebuah buku yang berjudul al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah (meninggal 150 H.) dan yang menyanggah kepercayaan para pengikut aliran Qadariah, membahas prinsip-prinsip dasar Islam atau masalah-masalah teologis. Karenanya, judul buku ini menunjukkan bahwa kajian ilmu kalam juga dicakup oleh istilah fikih pada masa-masa awal Islam (Ahmad Hasan, 1984: 3).

Adapun secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil terperinci (Khallaf, 1978: 11; Abu Zahrah, 1958: 6; al-Zuhaili, 1985, I: 16; al- Jarjani, 1988: 168; dan Manna’ al-Qaththan, 2001: 183). Dari definisi ini dapat diambil beberapa pengertian sebagai berikut:
  1. Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’. Kata hukum di sini menjelaskan bahwa hal-hal yang tidak terkait dengan hukum seperti zat tidak termasuk ke dalam pengertian fikih. Penggunaan kata syara’ (syar’i) dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu menyangkut ketentuan syara’, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata syara’ ini juga menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat aqli seperti ketentuan satu ditambah satu sama dengan dua, atau yang bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah cakupan ilmu fikih.
  2. Fikih hanya membicarakan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis). Kata amaliyah menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut tindak-tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Karena itu, hal-hal yang bersifat bukan amaliyah seperti keimanan (aqidah) tidak termasuk wilayah fikih.
  3. Pemahaman tentang hukum-hukum syara’ tersebut didasarkan pada dalil-dalil terperinci, yakni al-Quran dan Sunnah. Kata terperinci (tafshili) menjelaskan dalil-dalil yang digunakan seorang mujtahid (ahli fikih) dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fikih.
  4. Fikih digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Kata digali dan ditemukan mengandung arti bahwa fikih merupakan hasil penggalian dan penemuan tentang hukum. Fikih juga merupakan penggalian dan penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh dalil-dalil (nash) secara pasti.

Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan orang mukallaf. Atau dengan kata lain, sasaran ilmu fikih adalah manusia serta dinamika dan perkembangannya yang semuanya merupakan gambaran nyata dari perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang ingin dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang baik. Studi komprehensif yang dilakukan oleh para pakar ilmu fikih seperti al-Qadli Husein, Imam al-Subki, Imam Ibn ‘Abd al-Salam, dan Imam al-Suyuthi merumuskan bahwa kerangka dasar dari fikih adalah zakerhijd atau kepastian, kemudahan, dan kesepakatan bersama yang sudah mantap. Dan pola umum dari fikih adalah kemaslahatan (i’tibar al-mashalih) (Ali Yafie, 1994: 108).

Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian fikih berbeda dengan syariah baik dari segi etimologis maupun terminologis. Syariah merupakan seperangkat aturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Rasulullah saw. untuk mengatur tingkah laku manusia baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya (beribadah) maupun dalam rangka berhubungan dengan sesamanya (bermuamalah). Sedangkan fikih merupakan pemahaman dan penjelasan atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh syariah. Adapun sumber fikih adalah pemahaman atau pemikiran para ulama (mujtahid) terhadap syariah (al-Quran dan Sunnah). [*]

Sambungan: Ushul Fikih (klik)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel