Bentuk-bentuk hukumn Ta’zir
Thursday, 8 May 2014
SUDUT HUKUM | Ta’zir bisa dilakukan dengan
perkataan seperti kacaman, teguran dan nasihat, serta ta’zir bisa dilakukan
dengan perbuatan sesuai dengan tuntutan seperti; ta’zir dapat dilakukan dengan
jilid (dera), ta’zir berupa penyitaan harta, pengucilan.
1. Ta’zir jilid (dera)
Alat yang digunakan jilid
adalah cambuk yang sedang, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek. Orang
yang sedang sakit kalau tidak tahan dipukul maka cukup dipukul dengan dahan
yang bercabang. Jumlah jilid maksimal menurut Imam Hanafi tidak boleh melebihi hukuman
jilid had, misalnya peminum khamr hanya dijilid 40 kali maka jika dijatuhi ta’zir
jilidnya 39 kali.
Begitu juga dengan mahzab
Syafi’i dan Hambali. Sedangkan batas terendah dari hukuman ta’zir yang
berupa jilid para ulama berbeda pendapat dalam menentukannya, hal ini
dikembalikan pada ulil amri yang menentukan berapa kali jilidan yang dikenakan. Dan
minimal memberikan dampak preventatif dan represif bagi umat.
Alasan lain adalah semakin
keras cambukan itu semakin menjerakan. Apabila seseorang yang
dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalangi harus dibuka.
Akan tetapi, apabila orang yang terhukum adalah seorang perempuan maka
bajunya tidak boleh dibuka karena jika demikian maka terbukalah auratnya.
Hukuman jilid tidak boleh
menimbulkan cacat dan membahyakan organ-organ tubuh orang yang terhukum
atau membahyakan jiwa karena tujuan
dari ta’zir adalah meberikan pelajaran dan pendidikan.
2. Penyitaan harta
Ta’zir diperbolehkan berupa
penyitaan harta, hukuman ta’zir dengan mengambil harta bukan berarti
mngambil harta pelaku untuk diri hakim atau untuk kas umum (negara), melainkan
hanya menahannya untuk sementara waktu. Hal tersebut dilakukan apabila pelaku
tidak bisa bertaubat, hakim dapat mentasarufkan harta tersebut untuk
kepentingan yang mengandung maslahat.
Ibnu Taiyimah membagi ta’zir
yang berupa penyitaan harta ini menjadi 3 bagian yaitu menghancurkannya,
mengubahnya dan memilikinya.
3. Pengucilan
Adapun yang dimaksud dengan
pengucilan adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan
sebaliknya melarang masyarakat untuk berhubungan dengan pelaku. Hukuman ta’zir
berupa pengucilan ini diberlakukan apabila membawa kemaslahatan sesuai kondisi
dan situasi masyarakat tertentu. Dalam sistem masyarakat yang terbuka hukuman
ini sulit untuk dilaksanakan karena masing-masing anggota masyarakat tidak acuh
terhadap anggota.[*]