Bentuk Mahar
Wednesday, 2 July 2014
SUDUT HUKUM | Sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya bahwa Mahar merupakan satu hak yang ditentukan oleh
syariah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan
juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali kesucian. Maka mahar merupakan
keharusan tidak boleh diabaikan oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan
simbol untuk menghormatinya serta membahagiakannya.
Mahar menunjukkan
kebenaran dan kesungguhan cinta kasih lakilaki yang meminangnya. Ia merupakan bukti
kebenaran ucapan laki-laki atas keinginannya untuk menjadi suami bagi orang yang
dicintainya. Mahar bukanlah harga atas diri seorang wanita. Wanita tidak menjual
dirinya dengan mahar. Tetapi, ia membuktikan kebenaran
kesungguhan cinta, dan kasih sayang laki-laki yang bermaksud kepadanya dengan mahar.
sebagai ungkapan penghormatan seorang
laki-laki kepada wanita yang menjadi istrinya. Memberikan mahar merupakan
ungkapan tanggungjawab terhadap kepada Allah sebagai Asy-Syari’ (Pembuat
Aturan) dan kepada wanita yang dinikahinya sebagai kawan seiring dalam meniti
kehidupan berumahtangga.
Pada umumnya mahar itu dalam
bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari’at Islam memungkinkan mahar itu dalam
bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur
ulama’. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam
Al-Qur’an dan demikian pula dalam Sunnah Nabi. Contoh mahar dalam
bentuk jasa dalam Al-Quran ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan
seorang perempuan.
Hal ini dikisahkan Allah dalam surat Al-Qashash ayat 27 yang
berbunyi:
Artinya: “Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu ". (Q.S. Al-Qashash: 27)
Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu
menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus hamba dengan maharnya
memerdekakan Sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi ummu
al-mukminin. Ulama’
Hanafiyah berbeda pendapat dengan jumhur ulama’ dalam hal ini. Menurut ulama’
ini bila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan mahar memberikan
pelayanan kepadanya atau mengajarinya Al-Qur’an, maka mahar itu batal
dan oleh karenanya kewajiban suami adalah mahar
mitsil.
Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang
berharga, maka Nabi menghendaki mahar itu dalam
bentuk yang lebih sederhana. Hal ini tergambar dalam sabdanya dari `Uqbah bin
Amir yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan dikisahkan oleh Hakim. Ucapan Nabi:
خير الصداق أيسره
artinya: sebaik-baiknya mahar itu adalah yang paling mudah
Hal ini ditakan pula dengan hadis Nabi
dari Sahal ibn Sa’ad yang dikeluarkan oleh Al-Hakim yang mengatakan: Bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengawinkan seoarang laki-laki
denagan perempuan dengan maharnya sebentuk cincin dari besi.
Baik Al-Qur’an maupun hadis Nabi tidak
memberikan petunjuk yang pasti dan spesifik bila yang dijadikan mahar itu
adalah uang. Namun ayat Al-Qur’an ditemukan isyarat yang dapat dipahami nilai mahar itu cukup
tinggi, seperti dalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat: 20 sebagaimana sudah DIpaparka di atas.
Kata qinthar dengan ayat tersebut bernilai tinggi. Ada
yang mengatakan 1200 uqiyah emas dan
ada pula yang mengatakan 70.000 mitsqal. Namun ditemukan pula ayat Al-Qur’an yang
dapat dipahami daripada nilai mahar itu tidak seberapa. Umpamanya, pada surat
Al-Thalaq ayat : 7
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S. Al-Thalaq: 7)
Demikian pula hadis Nabi ada yang
menyebutkan nilai mahar yang tinggi seperti hadis Nabi dari Abu Salamah bin Abd Al-Rahman
menurut riwayat Muslim. Abu Salamah berkata: saya bertanya kepada
Aisyah istri Nabi tentang berapa mahar yang diberikan Nabi kepada istrinya.
Aisyah berkata:
“mahar Nabi untuk istrinya sebanyak 12 uqiyah dan satu nasy, tahukah kamu berapa satu nasy itu” saya
jawab tidak”. Aisyah berkata: “nasy itu adalah setengah uqiyah. Jadinya sebanyak 500 dirham. Inilah
banyak mahar Nabi untuk istrinya.
Dengan tidak adanya petunjuk yang pasti
tentang mahar ulama’ memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada
batas
maksimal bagi sebuah mahar. Namun
dalam batas minimalnya terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Ulama’ Hanafiyah menetapakan
batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan bila kurang dari
itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan mahar mitsil, dengan pertimbangan bahwa itu batas minimal barang curian yang
mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama’ Malikiyah
berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 dirham perak atau seperempat
dinar emas. Dalil bagi mereka juga adalah bandingan dari batas minimal harta
yang dicuri yang mewajibkan had. Sedangkan ulama’ Syafi’iyah dan
Hanabilah tidak memberikan batas minimal dengan arti apa pun yang bernilai
dapat dijadikan mahar.