Macam-Macam Mahar
Wednesday, 2 July 2014
SUDUT HUKUM | Pelaksanaan akad nikah pada masa
Rasulullah SAW ada kalanya mahar itu disebutkan pada saat nikah, dan
diserahkan sekaligus pada waktu itu, atau bahkan sudah diterima sebelum akad nikah. Tetapi juga
pernah pada waktu dilaksanakan akad nikah, mahar belum diserahkan dan bahkan tidak
disebutkan berapa kadar banyaknya mahar yang harus dibayarkan oleh calon suami.
Maka akhirnya para ulama’ menyimpulkan bahwa penyerahan mahar itu bisa
secara tunai (kontan) dan bisa juga ditunda (dihutang) dalam penyerahannya.
Namun yang lebih utama adalah penyerahan mahar secara tunai, walaupun tidak langsung
lunas tetapi hanya sebagian apabila tidak mampu seluruhnya.
Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama’
sepakat bahwa mahar itu dibedakan menjadi dua,yaitu sebagi
berikut :
a. Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya
secara jelas dalam akad nikah. Seperti kebanyakan yang berlaku dalam
perkawinan masyarakat kita yaitu Indonesia. Mahar
musamma terbagi menjadi dua:
a) Mu`ajjal
Mahar Mu’ajjal adalah mahar yang segera diberikan kepada istri atau mahar yang di berikan secara kontan.
b) Muajjal
Mahar muajjal adalah mahar atau maskawin yang ditangguhkan pemberiannya kepada istri atau mahar yang pemberiannya secara terhutang.
a) Mu`ajjal
Mahar Mu’ajjal adalah mahar yang segera diberikan kepada istri atau mahar yang di berikan secara kontan.
b) Muajjal
Mahar muajjal adalah mahar atau maskawin yang ditangguhkan pemberiannya kepada istri atau mahar yang pemberiannya secara terhutang.
Para ulama’ telah sepakat bahwa mahar musamma harus dibayarkan seluruhnya oleh suami apabila terjadi salah satu
diantara hal-hal yang berikut ini, yaitu:
1. Telah bercampur (bersenggama).
Allah SWT berfirman:
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”. (Q.S. An-Nisa’:20)
Ayat ini mengajarkan bahwa apabila
seorang suami telah menggauli istrinya dia tidak lagi diperbolehkan mengambil kembali
sedikitpun mahar yang telah diberikan. Yang dimaksud dengan
“mengganti istri dengan istri yang lain” pada ayat tersebut adalah menceraikan
istri yang lama dan mengganti dengan istri yang baru. Meskipun menceraikan
istri yang lama bukan tujuan untuk menikah, meminta kembali pemberian-pemberian
itu tidak diperbolehkan.
2. Apabila salah seorang suami atau istri
meninggal dunia qabla dukhul.
Misalnya apabila suami meninggal sebelum bersetubuh dengan istrinya maka si istri berhak menuntut maskawin seluruhnya dari tinggalan kekayaan suaminya, disamping menerima waris yang berlaku baginya yaitu seperempat kalau suami tidak punya anak atau seperdelapan apabila suami mempunyai anak. Demikian pula ahli waris si perempuan berhak menuntut maskawin dari suaminya apabila si perempuan meninggal dunia sebelum dicampuri suaminya. Demikian ijma’ para ulama dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Misalnya apabila suami meninggal sebelum bersetubuh dengan istrinya maka si istri berhak menuntut maskawin seluruhnya dari tinggalan kekayaan suaminya, disamping menerima waris yang berlaku baginya yaitu seperempat kalau suami tidak punya anak atau seperdelapan apabila suami mempunyai anak. Demikian pula ahli waris si perempuan berhak menuntut maskawin dari suaminya apabila si perempuan meninggal dunia sebelum dicampuri suaminya. Demikian ijma’ para ulama dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
3. Disini ada perbedaan pendapat para
ulama.
Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila seorang suami sudah pernah berduaan dengan istrinya di tempat yang sepi maka istri sudah berhak menuntut maskawinnya, beralasan dengan hadis Abu Ubaidah dari Zaid bin Abi Aufa, ia berkata: “Khulafaur Rasyidin telah menetapkan bahwa apabila pintu telah ditutup dan kelambu sudah dipasang maka maskawin wajib dibayarkan”.
Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila seorang suami sudah pernah berduaan dengan istrinya di tempat yang sepi maka istri sudah berhak menuntut maskawinnya, beralasan dengan hadis Abu Ubaidah dari Zaid bin Abi Aufa, ia berkata: “Khulafaur Rasyidin telah menetapkan bahwa apabila pintu telah ditutup dan kelambu sudah dipasang maka maskawin wajib dibayarkan”.
Menurut Imam Syafi’i, Malik dan Daud
pemimpin mazhab Zhahiriyah berpendapat bahwa maskawin itu tidak dapat diminta seluruhnya
kecuali apabila suami istri itu telah berhubungan kelamin. Berkhalwat atau
menyepi berduan di tempat sepi hanya mewajibkan separuh maskawin. Beralasan dengan firman Allah:
Artinya: “Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu…..”. (Q.S Al- Baqarah: 237)
b. Mahar Mitsil
Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada
saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang
diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga
terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial,
kecantikan dan sebagainya.
Bila terjadi demikian, mahar itu tidak
disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan,
maka mahar itu mengikuti
maharnya
saudara perempuan pengganti wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/ bude).
Apabila tidak ada, maka mahar mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia. Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
- Apabila pada waktu dilakukan akad nikah tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar dan sebelumnya belum ditentukan mahar itu, seperti dalam nikah tafwidh (nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya) dengan berlangsung akad nikah ini wanita yang bersangkutan berhak menerima mahar mitsil baik suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
- Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama’ diperbolehkan. Firman Allah SWT:
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya”.(Q.S. Al-Baqarah: 236)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seoarang
suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah
mahar kepada
istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.
3. Sepasang suami istri telah sepakat
nikah tanpa mahar (nikah tafwidh), namun menurut hukum Islam suami harus
membayar mahar , sebab mahar adalah
hak Allah. Dalam hal ini istri berhak menerima mahar mitsil, karena ada keharusan dalam syara’ bahwa suami membayar mahar kepada
istri karena pernikahan. Orang yang melakukan pernikahan tidak berhak menghilangkan ketentuan itu. [](ANIQOTUS
SA’ADAH)