Sejarah dan Latar belakang CEDAW
Saturday, 2 August 2014
SUDUT HUKUM | Menciptakan keadilan dalam
masyarakat yang pluralistik atas dasar ras, kelas
sosial, gender, agama dan kekuasaan selalu memunculkan fenomena
sosial, yakni pembedaan dan perlakuan diskriminatif karena berbagai
macam alasan seperti halnya gender, srata sosial dan kekuasaan dalam
persoalan hukum dan peradilan.
Pencapaian
kesetaraan dan keadilan di depan hukum masih jauh dari harapan
karena diyakini terbentur oleh berbagai nilai budaya, meskipun harus diakui
upaya mereformasi undang-undang dan menciptakan produk hukum baru
dengan mengadopsi kepentingan masyarakat mulai di wujudkan.
Realitas sosial
membuktikan antara perempuan dengan laki-laki mempunyai
kebutuhan dan pengalaman yang berbeda dalam keseharian di masyarakat.
Sudah semestinya bila substansi hukum lebih aspiratif dengan pengalaman
dan kepentingan perempuan yang selama ini kurang diperhitungkan.
Perubahan
fundamental yang perlu dilakukan selain perubahan hukum yang
sering ditentang oleh mereka yang mengklaim diri sebagai otoritas patriarkhi,
proses penciptaan hukum sering kali hanya milik penguasa dan elite
tertentu. Subtansi hukum yang belum spesifik gender akan membawa dampak
di tingkat implementasi dalam konteks kinerja, di jajaran tata peradilan
pidana, maupun badan lainya sebagai pelaksana hukum.
Hukum Internasional
memang pada akhirnya mulai menyadari pentingnya
sebuah struktur untuk mencegah diskriminasi. CEDAW (Convention
on The Elimination Of All Forms Of Diskrimination Against Women) merupakan langkah maju untuk
bukan saja secara pasif memaparkan pasal-pasalnya.
Namun juga secara aktif melakukan perbaikan bahsa (corrective language )
bahasa hukum yang secara tegas memihak kepada hak asasi perempuan.
Perbaikan bahasa tersebut penting untuk menunjukan dan memantapkan
peranan pergerakan perempuan dalam setiap langkah implementasi
CEDAW.
CEDAW telah
berjasa untuk membawa perempuan dalam arena perbincangan
hak. Ketika pemerintah telah meratifikasi CEDAW, maka artinya
pemerintah telah melakukan kontrak sosial dengan perempuan. CEDAW
menjadi alat untuk selalu menagih pemerintah berada dalam jalur HAM.
CEDAW merukan
perjanjian internasiaonal yang paling komprehensip tentang
hak asasi perempuan yang menetapkan kewajiban yang yang mengikat
kepada negara peserta untuk secara hukum mengakhiri diskriminasi terhadap
perempuan, menyatakan persamaan hak sipil, politik ekonomi, sosial
budaya antara laki-laki dan perempuan serta menetapkan bahwa diskriminasi
terhadap perempuan harus dihapuskan melalui langkah langkah umum,
program, serta kebikakan kebijakan.
Pada tanggal 18
Desember 1979, majelis umum PBB menyetujui sebuah rancangan
konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan. Majelis umum PBB mengundang negara-negara anggota
PBB untuk meratifikasinya. Konvensi ini kemudian dinyatakan berlaku pada tahun
1981 setelah 20 negara menyetujui.
Disetujuinya
Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan yang selanjutnya disebut Konvensi Perempuan, merupakan
puncak dari upaya Internasional dalam dekde perempuan yang ditujukan
untuk melindungi dan mempromosikan perempuan diseluruh dunia. Ini
merupakan hasil dari inisiatif yang diambil oleh komisi kedudukan perempuan
(United States Commission on the Status of women), sebuah badan
yang dibentuk pada tahun 1974 oleh PBB untuk mempertiumbangkan dan
menyusun kebijakan-kebijakan yang akan dapat meningkattkan posisi perempuan.
Pada tahun 1949
sampai dengan tahun 1959, Komisi Kedudukan Perempuan mempersiapkan
berbagai kesepakatan internasional termasuk di dalamnya
Konvensi tentang hak-hak politik perempuan dan Konvensi tentang
Kewarganegaraan Perempuan yang menikah. Pada tahun 1963, Majelis Umum PBB
mencatat bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih terus berlanjut, dan
meminta agar dapat dibuat suatu rancangan Deklarasi.
Penghapusan
Diuskriminasi terhadap Perempuan. Pada tahun 1965, Komisi tersebut memulai
menyiapkan upaya yang kemudian pada tahun 1966 keluar sebuah rancangan
Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Hasilnya
pada tahun 1967 rancangan ini disetujui menjadi sebuah Deklarasi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan bedasarkan Resolusi XXII.
Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi pengakuan secara
universal dan menjadi standar-standar persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 1968,
Dewan Ekonomi dan Sosial mengambil inisiatif untuk menyusun
sistem pelaporan terhadap pelaksanaan deklarasi tersebut oleh
anggota-anggota PBB. Mengingat deklarasi ini bukan kesepakatan (treaty),
meskipun ada penekanan secara moral dan politik terhadap para anggota PBB untuk
menggunakanya, anggota PBB tidak mempunyai kewajiban yang mengikat untuk
bersandar padanya. Pada tahun 1970 Majelis Umum PBB kemudian mendesak adanya
ratifikasi atau aksesi pada instrumen internasional yang relevan yang berkaitan
dengan kedudukan perempuan.
Melanjutkan
upaya tersebut pada tahun 1972, Komisi Kedudukan Perempuan
mempersiapkan sebuah kesepakatan yang akan mengikat pelaksanaan
apa yang termuat dalam deklarasi. Seiring dengan hal tersebut, Dewan Ekonomi
dan Sosial kemudian menunjuk suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15 orang
untuk memulai menyusun suatu konvensi pada tahun 1973. Persiapan ini mendapat
sambutan dan dorongan yang besar oleh Konfrensi Dunia yang di selenggarakan di
Mexiko pada tahun 1975.
Konfrensi ini
sedianya untuk menyusun kerangka kerja dinia tentang perempuan.
Konfrensi ini mendesak adanya sebuah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan. Konvensi ini kemudian di adopsi oleh Majelis
Umum pada tahun 1979.
Dalam resolusinya Majelis Umum PBB menyampaikan harapan bahwa konvensi dapat di
berlakukan dalam waktu dekat dan meminta agar Sekretaris Jenderal PBB mempresentasikan
teks konvensi pada Konfrensi Dunia pertengahan dekade perempuan di Copenhagen
tahun 1980. Ada 64 negara yang menandatangani Konvensi dan 2 negara
meratifikasi pada saat acara khusus tersebut dilakukan. Pada tanggal 3
September 1981, 30 hari setelah 20 negara anggota PBB meratifikasi konvensi
tersebut, Konvensi ini di nyatakan berlaku. Situasi ini menjadi puncak yang
berdampak pada adanya sebuah standar hukum internasional yang komprehensif
untuk perempuan.