Urutan Orang Yang Berhak Atas Hadlanah ( Mengurus Anak)
Saturday, 2 August 2014
SUDUT HUKUM | Dalam konsep
fiqih, ada dua periode bagi anak yang dalam hal ini ada kaitanya dengan hadlanah.
Yaitu masa sebelum mumayiz dan masa sesudah mumayiz. Periode
sebelum mumayiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau
delapan tahun. Pada masa itu umumnya seorang anak belum mumayyiz artinya
belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya bagi
dirinya. Pada periode ini setelah melengkapi syarat-syarat sebagai pengasuh,
ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya
melaksanakan kewajiban hadlanah.
Kesimpulan
ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad yang
menceritakan yang menceritakan bahwa seorang ibu mengadu kepada Rasulullah SAW
tentang anak kecilnya (yang belum mumayiz), dimana mantan suaminya
bermaksud untuk merebut anak mereka setelah menceraikanya. Lalu Rasulullah SAW
bersabda :
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid as Sulami, telah menceritakan kepada kami al Walid dari Abu ‘Amr al Auza’i, telah menceritakan kepadaku „Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin ‘Amr bahwa seorang wanita berkata; “wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku”. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepadanya; “engkau (ibu) lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”.
Keputusan
Rasulullah SAW itu bisa ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur
tersebut seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa
memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian
pula
anak dalam masa itu sedang sangat membutuhkan untuk hidup dekat ibunya. Sejalan dengan itu pula
keputusan Abu bakar tentang kasus Umar bin
Khattab
dengan bekas istrinya.
Umar
bin Khattab dengan bekas istrinya mendapat seorang anak yang diberi nama Ashima, kemudian ia
bercerai dari istrinya. Pada suatau hari Umar bin Kattab pergi ke Quba,19 ia
mendapati anaknya itu sedang bermain. Ketika Umar hendak memegang anaknya itu
dengan maksud untuk membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu.
Kasus ini disanpaikan kepada Khalifah Abu Bakar dan ia memutuskan
menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (riwayat ibnu Abi Syaibah).
Periode
kedua adalah periode mumayiz. Masaa mumayiz adalah dari umur baligh
berakal menjelang umur dewasa. Pada masa ini seorang anak secara sederhana
telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi
dirinya. Oleh karena itu, ia sudah dianggap mampu menjatuhkan pilihanya sendiri
untuk memilih hidup bersama ayah atau ibunya.
Landasanhukum dari hal tersebut adalah hadis riwayat Imam at- Tirmidzi dalam Sunan
an-Nasai yang menceritakan seorang wanita mengadukan tingkah laku bekas
suaminya yang hendak merebut anak mereka berdua yang telah mampu menolong
mengangkat air dari sumur.
Artinya : “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A‟la ia berkata; telah menceritakan kepada kami Khalid ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ziyad dari Hilal bin Usamah dari Abu Maimunah ia berkata, “Saat aku bersama Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Sesungguhnya suamiku ingin pergi membawa anakku, dan anak tersebut telah memberiku manfaat, ia membawakan aku air dari sumur Abu Inabah.” Kemudian suaminya datang dan berkata, “Siapakah yang berselisih denganku mengenai anakku?” Kemudian beliau bersabda: “Wahai anak kecil, ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu. Gandenglah tangan salah seorang dari mereka yang engkau kehendaki”. Kemudian anak tersebut menggandeng tangan ibunya, maka ia pun pergi bersamanya”.
Adanya
pengakuan Rasulullah atas pilihan anak itu barangkali karena dalam kasus
tersebut memang anak itu lebih pantas dan lebih baik untuk ikut bersama ibunya.
Dalam kasus lain dimana Rasulullah SAW melihat pilihan anak itu merugikan
dirinya, beliau menolak pilihan anak tersebut dan memutuskan berlaina dengan
anak tersebut.
Dalam
hadis riwayat Abu Daud, terdapat cerita tentang kasus Rafi‟ bin Sinan dimana
waktu telah masuk Islam, istrinya tidak mau mengikutinya dan tetap sebagai musyrikah.
Mereka mempunyai seorang anak. Dalam memutuskan siapa yang lebih berhak
terhadap anak itu Rasulullah menghadirkan semua pihak, yaitu ayah, ibu dan
anaknya. Ketika itu sang anak lebih memilih ibunya yang nonmuslim. Rasullulah
SAW tidak setuju dengan pilihan anak tersebut, lalu Rasulullah berdoa semoga
Allah memberi petunjuk terhadap anak tersebut. Akhirnya anak itu berubah sikap
dan memilih ayahnya yang telah masuk Islam.
Artinya : Dari Rafi‟ bin Sinan r.a. Ia masuk Islam tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk Islam. Maka nabi SAW mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukkan si anak di antara keduanya. Ternyata si anak itu condong kepada ibunya, maka beliau berdoa “ya Allah, berilah ia petunjuk” dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya. (HR. Abu Daud dan an-Nasa‟i. hadis ini dinilai shahih oleh al-Hakim).
Dari
kasus tersebut diatas, mengapa Rasulullah tidak “merestui” putusan anak itu untuk memilih ibunya
yang nonmuslim, karena pilihan seperti
itu jelas bertentangan dengan kepentingan anak itu sendiri, yang sudah jelas belum terlihat oleh anak yang
masih dalam periode mumayiz, seperti
dalam
kasus tersebut.
Bedasarkan
hadis ini, sebagian ulama tidak lagi menyerahkan secara mutlak kepada pilihan sang anak. Jika
dalam suatu kondisi di mana pilihan anak itu tidak memberikan mashlahat kepadanya,
hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang lebih mashlahat bagi
mereka.
Laki-laki
dan perempuan memang mempunyai hak untuk mengasuh anaknya selama meraka tidak
mempunyai halangan yang mencegahnya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa
urutan yang pertama yang lebih berhak mengasuh adalah ibu, karena biasanya
lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta membimbing anaknya,
sedangkan lakilaki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga, melindungi
anaknya secara fisik. Seorang ibu lebih mampu mendidik karena
ibu
mempunyai kesabaran yang lebih dibanding ayah untuk melakukan tugas ini.
Jika
ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukan, maka yang berhak
selanjutynya adalah ibu dari ibunya (neneknya) dan seterusnya keatas. Apabila
tidak ada beralih ke nenek dari ayah (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas. Apabila
garis vertikal tersebut tidak ada, maka berpindah kepada keluarga yang
berhubungan horisontal, yaitu saudara perempuan kandung, kemudian saudara
perempuan seayah, kemenakan (anak perempuan saudara perempuan kandung, kemudian
anak perempuan saudara perempuan seibu).
Urutan
berikutnya, apabila kemenakan tersebut tidak ada, hak asuh berpindah kepada
bibi kandung (saudara perempuan kandung ibu), kemudian bibi seibu, kemudian
bibi seayah. Apabila bibi itu tidak ada, maka berpindah kepada kemenakan (anak
perempuan saudara perempuan se-ayah). Apabila kerabat-kerabat tersebut diatas
tidak ada semua, maka hak asuh jatuh ketangan kemenakan (anak perempuan saudara
laki-laki kandung), kemudian kemenakan seibu, kemudian kemenakan seayah.
Apabila kemenakan-kemenakan tersebut tidak ada, berpindah ke bibi (saudara perempuan
ayah) kandung, kemudian bibi seibu, kemudian bibi se-ayah. Apabila bibi
tersebut tidak ada, berpindah kebibi ibu (saudara perempuan ibunya ibu),
kemudian bibi ayah (saudara perempuan ibunya ayah), kemudian bibi ayah (saudara
perempuan ayahnya ayah).
Apabila
kerabat-kerabat tersebut tidak ada, atau ada tetapi tidak memenuhi syarat, maka
hak asuh pindah kekerabat ashabah laki-laki dengan urutan seperti hukum
waris. Yaitu ayah, kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya ke atas garis laki-laki.
Kemudian saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, kemenakan
laki-laki kandung, kemenakan laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah
(saudara laki-laki kakek) kandung, kemudian paman seayah.
Apabila
ashabah laki-laki tersebut tidak ada atau ada tetapi tidak memenuhi
syarat, maka hak asuh pindah ke kerabat laki-laki bukan ashabah yaitu
kakek (bapak dari ibu), saudara laki-laki seibu, kemudian paman seibu (anak laki-laki
saudara laki-laki seibu), kemudian paman seibu (saudara lakilaki ayah seibu),
kemudian paman (saudara laki-laki kandung ibu), paman seayah, kemudian paman
seibu. Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, maka hakim menunjuk siapa
yang akan mengasuh anak tersebut.