-->

Urutan Orang Yang Berhak Atas Hadlanah ( Mengurus Anak)

SUDUT HUKUM | Dalam konsep fiqih, ada dua periode bagi anak yang dalam hal ini ada kaitanya dengan hadlanah. Yaitu masa sebelum mumayiz dan masa sesudah mumayiz. Periode sebelum mumayiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa itu umumnya seorang anak belum mumayyiz artinya belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya bagi dirinya. Pada periode ini setelah melengkapi syarat-syarat sebagai pengasuh, ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melaksanakan kewajiban hadlanah.


SUDUT HUKUM

Kesimpulan ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad yang menceritakan yang menceritakan bahwa seorang ibu mengadu kepada Rasulullah SAW tentang anak kecilnya (yang belum mumayiz), dimana mantan suaminya bermaksud untuk merebut anak mereka setelah menceraikanya. Lalu Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid as Sulami, telah menceritakan kepada kami al Walid dari Abu ‘Amr al Auza’i, telah menceritakan kepadaku „Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin ‘Amr bahwa seorang wanita berkata; “wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku”. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepadanya; “engkau (ibu) lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”.


Keputusan Rasulullah SAW itu bisa ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur tersebut seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang sangat membutuhkan untuk hidup dekat ibunya. Sejalan dengan itu pula keputusan Abu bakar tentang kasus Umar bin Khattab dengan bekas istrinya.


Umar bin Khattab dengan bekas istrinya mendapat seorang anak yang diberi nama Ashima, kemudian ia bercerai dari istrinya. Pada suatau hari Umar bin Kattab pergi ke Quba,19 ia mendapati anaknya itu sedang bermain. Ketika Umar hendak memegang anaknya itu dengan maksud untuk membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu. Kasus ini disanpaikan kepada Khalifah Abu Bakar dan ia memutuskan menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (riwayat ibnu Abi Syaibah).


Periode kedua adalah periode mumayiz. Masaa mumayiz adalah dari umur baligh berakal menjelang umur dewasa. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu, ia sudah dianggap mampu menjatuhkan pilihanya sendiri untuk memilih hidup bersama ayah atau ibunya.


Landasanhukum dari hal tersebut adalah hadis riwayat Imam at- Tirmidzi dalam Sunan an-Nasai yang menceritakan seorang wanita mengadukan tingkah laku bekas suaminya yang hendak merebut anak mereka berdua yang telah mampu menolong mengangkat air dari sumur.

Artinya : “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A‟la ia berkata; telah menceritakan kepada kami Khalid ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ziyad dari Hilal bin Usamah dari Abu Maimunah ia berkata, “Saat aku bersama Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Sesungguhnya suamiku ingin pergi membawa anakku, dan anak tersebut telah memberiku manfaat, ia membawakan aku air dari sumur Abu Inabah.” Kemudian suaminya datang dan berkata, “Siapakah yang berselisih denganku mengenai anakku?” Kemudian beliau bersabda: “Wahai anak kecil, ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu. Gandenglah tangan salah seorang dari mereka yang engkau kehendaki”. Kemudian anak tersebut menggandeng tangan ibunya, maka ia pun pergi bersamanya”.


Adanya pengakuan Rasulullah atas pilihan anak itu barangkali karena dalam kasus tersebut memang anak itu lebih pantas dan lebih baik untuk ikut bersama ibunya. Dalam kasus lain dimana Rasulullah SAW melihat pilihan anak itu merugikan dirinya, beliau menolak pilihan anak tersebut dan memutuskan berlaina dengan anak tersebut.


Dalam hadis riwayat Abu Daud, terdapat cerita tentang kasus Rafi‟ bin Sinan dimana waktu telah masuk Islam, istrinya tidak mau mengikutinya dan tetap sebagai musyrikah. Mereka mempunyai seorang anak. Dalam memutuskan siapa yang lebih berhak terhadap anak itu Rasulullah menghadirkan semua pihak, yaitu ayah, ibu dan anaknya. Ketika itu sang anak lebih memilih ibunya yang nonmuslim. Rasullulah SAW tidak setuju dengan pilihan anak tersebut, lalu Rasulullah berdoa semoga Allah memberi petunjuk terhadap anak tersebut. Akhirnya anak itu berubah sikap dan memilih ayahnya yang telah masuk Islam.
Artinya : Dari Rafi‟ bin Sinan r.a. Ia masuk Islam tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk Islam. Maka nabi SAW mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukkan si anak di antara keduanya. Ternyata si anak itu condong kepada ibunya, maka beliau berdoa “ya Allah, berilah ia petunjuk” dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya. (HR. Abu Daud dan an-Nasa‟i. hadis ini dinilai shahih oleh al-Hakim).


Dari kasus tersebut diatas, mengapa Rasulullah tidak “merestui” putusan anak itu untuk memilih ibunya yang nonmuslim, karena pilihan seperti itu jelas bertentangan dengan kepentingan anak itu sendiri, yang sudah jelas belum terlihat oleh anak yang masih dalam periode mumayiz, seperti dalam kasus tersebut.


Bedasarkan hadis ini, sebagian ulama tidak lagi menyerahkan secara mutlak kepada pilihan sang anak. Jika dalam suatu kondisi di mana pilihan anak itu tidak memberikan mashlahat kepadanya, hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang lebih mashlahat bagi mereka.


Laki-laki dan perempuan memang mempunyai hak untuk mengasuh anaknya selama meraka tidak mempunyai halangan yang mencegahnya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa urutan yang pertama yang lebih berhak mengasuh adalah ibu, karena biasanya lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta membimbing anaknya, sedangkan lakilaki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga, melindungi anaknya secara fisik. Seorang ibu lebih mampu mendidik karena
ibu mempunyai kesabaran yang lebih dibanding ayah untuk melakukan tugas ini.


Jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukan, maka yang berhak selanjutynya adalah ibu dari ibunya (neneknya) dan seterusnya keatas. Apabila tidak ada beralih ke nenek dari ayah (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas. Apabila garis vertikal tersebut tidak ada, maka berpindah kepada keluarga yang berhubungan horisontal, yaitu saudara perempuan kandung, kemudian saudara perempuan seayah, kemenakan (anak perempuan saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan saudara perempuan seibu).


Urutan berikutnya, apabila kemenakan tersebut tidak ada, hak asuh berpindah kepada bibi kandung (saudara perempuan kandung ibu), kemudian bibi seibu, kemudian bibi seayah. Apabila bibi itu tidak ada, maka berpindah kepada kemenakan (anak perempuan saudara perempuan se-ayah). Apabila kerabat-kerabat tersebut diatas tidak ada semua, maka hak asuh jatuh ketangan kemenakan (anak perempuan saudara laki-laki kandung), kemudian kemenakan seibu, kemudian kemenakan seayah. Apabila kemenakan-kemenakan tersebut tidak ada, berpindah ke bibi (saudara perempuan ayah) kandung, kemudian bibi seibu, kemudian bibi se-ayah. Apabila bibi tersebut tidak ada, berpindah kebibi ibu (saudara perempuan ibunya ibu), kemudian bibi ayah (saudara perempuan ibunya ayah), kemudian bibi ayah (saudara perempuan ayahnya ayah).


Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, atau ada tetapi tidak memenuhi syarat, maka hak asuh pindah kekerabat ashabah laki-laki dengan urutan seperti hukum waris. Yaitu ayah, kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya ke atas garis laki-laki. Kemudian saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, kemenakan laki-laki kandung, kemenakan laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah (saudara laki-laki kakek) kandung, kemudian paman seayah.



Apabila ashabah laki-laki tersebut tidak ada atau ada tetapi tidak memenuhi syarat, maka hak asuh pindah ke kerabat laki-laki bukan ashabah yaitu kakek (bapak dari ibu), saudara laki-laki seibu, kemudian paman seibu (anak laki-laki saudara laki-laki seibu), kemudian paman seibu (saudara lakilaki ayah seibu), kemudian paman (saudara laki-laki kandung ibu), paman seayah, kemudian paman seibu. Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, maka hakim menunjuk siapa yang akan mengasuh anak tersebut.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel