[hadis] Sekilas Tentang kesahihan sanad hadits
Saturday, 6 December 2014
gambar: sangpenakluk2590.blogspot.com/ |
Sanad adalah suatu riwayat atau berita
antara suatu generasi dengan generasi lainnya. Sanad dalam hadits ini
mengandung dua bagian penting yakni:
a. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam
periwayatan hadits yang bersangkutan.
b.
Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh
masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang
bersangkutan misalnya, sami’tu,
akhbarani,’an dan ‘anna.
Dalam menentukan kualitas hadits diperlukan
persyaratan yang mana terdapat
dalam pengertian hadits shahih. Ibnu Shalah memberikan definisi hadits shahih sebagai berikut:
Adapun hadits shahih adalah hadits yang
bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang adil
dan dhabith sampai akhir sanad (dalam hadits itu) tidak
terdapat kejanggalan dan cacat.
Adapun kelima unsur yang terkandung dalam
definisi tersebut di atas akan
diuraikan sebagai berikut :
1. Sanadnya bersambung
Sanad bersambung adalah seluruh rangkaian
periwayat yang disandari oleh
al-mukharij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang
menerima hadits yang bersangkutan dari
Nabi dan bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung (dalam arti
musnad) atau tidak bersambung
suatu sanad, biasanya ulama’ hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.
Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
b.
Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
c.
Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad yakni apakah kata-kata yang digunakan berupa haddatsana,
hadddatsani akhbarana,’an,’anna, atau
kata-kata lainnya.
2.
Perawinya Adil
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat
sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur. Secara umum ulama telah mengemukakan cara
penetapan ke-adilan periwayat
hadits didasarkan pada:
a.
Popularitas keutamaan periwayat dikalangna ulama hadits, periwayat yang terkenal
keutamaan pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan al- Tsaury, mereka ini
tidak diragukan ke-adil-annya.
b.
Penilaian dari para kritikus periwayat hadits, penilaian ini berisi pengungkapan
kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri para periwayat tertentu.
c.
Penetepan kaedah al-jarh wa al-ta’dil, cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat
hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
3.
Perawinya Bersifat Dhabith
Pengertian istilah dhabith
menurut Ibnu Hajar al-Asqalany dan al- Sakhawy, yang dinyatakan sebagai orang yang
dhabith
ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah
didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya
itu kapan saja dia menghendakinya.
Dhabith
dalam ilmu hadits dapat diibaratkan dengan
beberapa hal yakni:
a. Tidak pelupa.
b. Hafal terhadap apa yang didektekan guru
kepada muridnya bila ia memberikan hadits tersebut dengan hafalan, dan terjaga
kitabnya dari kelemahan bila ia meriwayatkan kitabnya.
c.
Menguasai apa yang diriwayatkan dan memahami maksudnya serta mengetahui makna yang dapat mengalihkan
maksud bila ia meriwayatkan suatu
hadits menurut maknanya saja.
Adapun cara penetapan ke-dhabith-an seorang periwayat menurut berbagai
pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan
kesaksian ulama.
b. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga
berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya.
c.
Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka
dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat
yang dhabith. Tetapi apabila kesalahan itu sering
terjadi, maka periwayat yeng bersangkutan tidak lagi disebut sebagi periwayat
yang dhabith.
4.
Terhindar Dari Kejanggalan (syudzudz)
Yang dimaksud dengan syadz
atau syudzudz menurut pegangan imam Syafii dan diikuti oleh para ulama’ adalah
suatu hadits yang bertentangan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
Ada perbedaan pendapat yang sangat menonjol
mengenai masalah pengertian
kejanggalan (syadz) suatu hadits. Diantara pengertian itu adalah sebagai berikut:
a. Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan
riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah
juga. Pendapat ini dikemukakan oleh imam
Syafi’i.
b.
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang yang tsiqah lainnya
tidak meriwayatkan hadits itu. Pendapat ini dikemukakan oleh al- Hakim al-Naisabury.
c.
Hadits yang sanadnya hanya satu orang saja, baik periwayatnya
bersifat tsiqah maupun
tidak bersifat tsiqah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ya’la al-Khalili.
5.
Terhindar dari cacat (‘illat)
Yang dimaksud illat
dalam hadits ialah penyakit yang
samar-samar, yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya
meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadap hadits mursal
(yang gugur seorang sahabat yang
meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (yang gugur salah seorang riwayat) dan
sebaliknya.
Para ulama’ hadits memberi tolok ukur untuk
mengetahui ‘illat
hadits, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Menurut Abd al-Rahman, beliau
menyatakan, bahwa untuk mengetahui ‘illat hadits diperlukan intuisi
(ilham).
b. Al-Hakim al-Naisabury berpendapat, acuan
utama penelitian ‘illat hadits ialah hafalan, pemahaman dan
pengetahuan yang luas tentang hadits.
c. Sebagian ulama menyatakan, orang yang
mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki
hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya, mendalam
pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabith-an periwayat dan ahli di bidang sanad dan
matan hadits.
Penjelasan tentang kaedah keshahihan sanad
hadits yang telah diuraikan
diatas sebagai tolok ukur yang sangat penting dalam rangka melakukan kegiatan penelitian kualitas
sanad hadits. Sehingga dapat diketahui shahih
dan tidaknya suatu hadits.(*Sa'adah Zidni)