[peradilan] Hakim dan putusan
Monday, 8 December 2014
Hakim dan putusan
Hakim dan putusan bak dua sisi keping uang yang tak bisa dipisahkan. Kemampuan dan kualitas hakim dalam memutus
perkara tecermin dariputusannya. Tak heran jika banyak pihak menyebut putusan
sebagai mahkota hakim. Sangat besar harapan agar
hakim mampu menghasilkan putusan yang imparsial, argumentatif dan rasional,
konstitusi memberikan jaminan imunitas yudisial yang penuh.
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kerja profesional hakim yang tertuang dalam putusan tidak bisa dikoreksi oleh otoritas non-yudisial. “Hakim yang melakukan malpraktik, salah prosedur, keliru menerapkan hukum substansial, tidak bisa dituntut secara hukum,” paparnya dalam diskusi Lingkar Studi Hukum yang diadakan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA, Selasa (30/4/2013).
Imunitas yudisial merupakan suatu bentuk kekebalan hukum yang melindungi para hakim dari gugatan hukum atas tindakan yang mereka lakukan dalam menjalankan tugas. Imunitas yudisial sejalan dengan kebebasan pengadilan (the independence of judiciary), karena entitas pengadilan yang bebas dari pengaruh luar menuntut adanya imunitas yudisial( judicial immunity) dari hakim yang
mengadili perkara.
Sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Indonesia terikat dengan ketentuan
universal yang berlaku dalam
dunia internasional, termasuk parameter
mengenai prinsip-prinsip dasar
independensi pengadilan.
Namun masalahnya, menurut Yahya Harahap, apakah hakim dengan
otoritas kekuasaannya yang luas dan hak imunitas yang dimiliki justru
mengenyampingkan nilai-nilai etik profesi. Di balik jubah kebesaran hakim ada
problema ketidak-telitian hakim dalam mengadili perkara yang bermuara pada
tindakan tidak profesional (unprofessional conduct).
Jika dibiarkan, dalam jangka panjang putusan hakim akan kering dari rasa keadilan (gerechtigheit), kepastian
(rechtsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit).