Sejarah Mazhab dan Sejarah Hukum Islam
Saturday, 27 December 2014
Sudut Hukum | Secara bahasa mazhab dapat berarti pendapat
(view, opinion, ra’yi),
kepercayaan, ideologi (belief,
ideology, al-mu’taqad),
doktrin, ajaran, paham, aliran (doctrine, teaching, school – al-ta’lim wa al-thariqah).1
Sebagaimana disebutkan di atas, wujud hukumIslam bermula dari pendapat perseorangan terhadap pemahaman nash atau pendapat
perseorangan tentang penemuan hukum terhadap suatu kejadian (waqi’ah) yang ada. Tentu, pendapat tadi dapat
mewujudkan sosok hukum dengan menggunakan metode yangn digunakan secara
spesifik.2
Bermula dari pendapat perorangan yang
dilengkapi dengan metode itu kemudian
diikuti oleh orang lain atau murid, yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan itu kemudian menjadi
pendapat beberapa orang dan begitu
seterusnya diikuti oleh orang lain. Dari pendapat dengan metodenya perseorangan
itu, kemudian menjadi sebuah metode dalam pendapat yang dianggap baku dan
disebutlah dengan sebuah mazhab.
Jika diperhatikan, hukum Islam merupakan
pendapat perseorangan kemudian
diikuti oleh murid-muridnya, lalu dianggap sebagai pendapat yang paling kuat di daerah atau kota tertentu.
Ketika itulah maka disebut dengan mazhab sebuah kota atau daerah, yang seolah
menjadi sebuah consensus (ijma’) dari masyarakat kota atau daerah tersebut.
Maka ada mazhab Hijazi, yaitu pendapat tentang hukum Islam, yang bermula dari
pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan melebar diikuti
oleh orang-orang menjadi sebuah consensus. Mazhab Hijazi kemudian terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu mazhab Madinah dan mazhab Makkah. Di sisi lain, muncul juga
mazhab Iraqi, yaitu pendapat tentang hukum Islam, yang bermula dari pendapat
perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan melebar diikuti oleh
orang-orang di sebuah daerah di wilayah Iraq.
Kemudian, mazhab Iraqi mengelompok menjadi
dua, yakni mazhab Kuffah
dan mazhab Basrah. Ada mazhab lain yang popular yaitu mazhab Syam. Oleh
karenanya dalam sejarahnya ada tiga mazhab besar atas dasar kedaerahan ini
yakni mazhab Iraqi, mazhab Hijazi dan mazhab Syami. Perlu ada catatan, bahwa
sebenarnya ada pula mazhab di Mesir yang mempunyai karakter tersendiri. Namun
di daerah-daerah yang sudah ada nama mazhab kedaerahan itu tetap masih terjadi
perbedaan pendapat di antara para ulama. Pengelompokan mazhab atas kedaerahan
ini berakhir dengan munculnya imam
Syafi’i.
Dalam perkembangan berikutnya, mazhab yang
semula sangat terdominasi oleh pendapat kedaerahan, lalu
kembali lagi ke pendapat perseorangan.
Di masing-masing daerah muncul perkembangan pendapat yang berbeda. Dari
pendapat-pendapat yang berbeda ini kemudian mengerucut kepada pendapat
perseorangan. Pendapat perseorangan yang dilengkapi dengan metodologi (manhaj) yang dipakai ini kemudian menguat. Mazhab
yang semula didasarkan atas nama daerah, seperti uraian singkat di atas, kemudian
berubah menjadi mazhab yang dinisbahkan kepada nama-nama perseorangan. Di
antara sekian banyak mazhab, yang paling popular ada empat mazhab di kalangan
ahlussunnah waljama’ah atau biasa disebut dengan mazhab sunni.3
Peristiwa politik yang berorientasi kepada
semangat umat Islam dan banyak
berpengaruh bagi perkembangan fiqih adalah jatuhnya dinasti Bani Umayah dan tampilnya dinasti Abbasiyah di
panggung kekuasaan. Pada masa daulah
Abasiyah, bukan sekedar penting bagi negara tetapi justru merupakan urusan pertama dan utama bagi negara.
Dengan kondisi ini para ahli agama, termasuk hukum Islam mempunyai tempat di
lingkaran pemerintahan terutama pada wilayah qudlat karena
harus di dasarkan pada perintah agama. Dengan dinasti baru inilah tiba saatnya
perkembangan dan kesuburan hukum Islam.4
Abad ini merupakan abad fiqih, abad ahli
yurisprudensi, dan abad fuqaha’.
Qadli merupakan tokoh terhormat dan penting. Pada masa ini studi tentang
yurisprudensi berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai pusat
daerah negeri yang paling terpencil. Upaya dan usaha pengembangan ilmu
pengetahuan hukum tersebut didukung oleh moril dan metriil, sehingga masyarakat
maju dengan pesat.5
Beberapa mazhab fiqih tersebut dapat
dikategorikan kepada tiga kelompok
besar, yaitu kelompok Ahlussunnah, Syi’ah dan Khawarij. Mazhabmazhab hukum
Ahlusunnah banyak sekali, di antaranya adalah mazhab Sufyan Al-Tsauri di Kufah,
mazhab Al-Auza’i di Syam, mazhab Al-Syafi’I dan Laits bin Sa’ad di Mesir,
mazhab Ishaq bin Rahawiyah di Nisabur, mazhab Ibnu Abi Layla, mazhab Ibnu
Jarir, mazhab Abu Tsaur, mazhab Ahmad bin Hanbal, dan mazhab Daud al-Asfihani
atau al-Dzahiri di Baghdad.6
Namun demikian dari sekian banyak mazhab
hukum Islam hanya empat
yang sampai sekarang diakui kalangan Sunni sebagai mazhab yang mu’tabar. Dari keempat mazhab ini kemudian hukum
Islam berkembang ke seluruh dunia. Masing-masing negara dapat dilihat mazhab
apa yang dominan. Di
Saudi Arabia yang dominan adalah mazhab Hanbali, di India, Pakistan dan Turki yang dominan adalah mazhab Hanafi, di
Afrika Utara yang paling dominan
adalah mazhab maliki, sedangkan di Indonesia dan Malaysia yang paling dominan adalah mazhab Syafi’i.7
Perlu diketahui bahwa mazhab telah
mendominasi perkembangan hukum
Islam selama berabad-abad. Bahkan tidak jarang pemikiran hukum Islam di dalam
masing-masing mazhab itu difahami secara doktrinal dan dogmatik. Artinya,
pendapat imam mazhab dan beberapa ulama besar yang mengikatkan dirinya pada
mazhab tertentu menjadi sebuah doktrin. Yang terjadi kemudian adalah mazhab
dalam hukum Islam seolah-olah menjadi agama baru yang memainkan peranan penting
dalam keberagamaan umat Islam. Setelah para pendiri mazhab meninggal, para pengikut
mazhab yang ekstrim tidak bisa menahan diri untuk saling bertikai. Konflik ini mencapai
puncaknya pada abad 11 M di Baghdad dan sekitarnya. Tetapi dalam hal ini, harus
dicermati bahwa sesungguhnya di antara para pendiri mazhab terdapat kemesraan hubungan
guru murid. Sungguh mereka bahkan mempunyai jaringan intelektual bersama yang
cukup kuat.8 Dengan demikian perbedaan di antara mereka
sama sekali tidak menimbulkan perpecahan apalagi fanatisme ajaran yang
menjadikan mereka saling berselisih secara tajam dan membabi buta.9
Perbedaan pendapat dan mazhab tersebut ada
pengaruh faktor budaya kedaerahan
atau yang biasa disebut dengan ‘urf atau
al-adah (adat kebiasaan), meskipun pengaruhnya tidak semata-mata pada
esensi hukumnya, namun lebih
pada pengaruh terhadap mujtahid / faqih yang kemudian berdampak pada hasil pemikiran atau ijtihadnya. Oleh
karena itu, di Indoensia juga muncul pendapat untuk menciptakan “mazhab ala
Indonesia”. Atau setidaknya agar berusaha menemukan hukum Islam yang sesuai
dengan sosio kultural bangsa Indonesia, yang dalam banyak hal terdapat
perbedaan dengan sosio kultural masyarakat di negara-negara Arab. Dengan
ini maka mazhab dapat berkembang bukan hanya karena menyangkut pada pemikiran
para ulama pendiri mazhab akan tetapi bisa menurut daerah. Di sinilah Islamic area studies perlu ditumbuhkembangkan sehingga sangat
mungkin apa yang terjadi pada masa lalu dengan adanya mazhab kedaerahan akan
terulang pada saat sekarang ini. (*Moch. Iqbal Notoatmojo)
______________________
1 Ahmad Warson Munawir, Kamur al-Munawir, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1994, hlm. 453
2 Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm.21 3 Ibid., hlm. 22
4 Ignas Goldzier, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, Pent. Heri Setiawan, Jakarta: INIS, 1991, hlm.
41-43
5 A. salim, Tarikh
Tasyri’, Solo: Ramadhani, 1988, hlm. 128-129
6 Ignas Goldziher, Op. Cit., hlm. 16
7 Qodri Azizy, Eklektisisme, Op.
Cit., hlm.
8 Abduraahman Mas’ud, Asal-usul Pemikiran Sunni; Sebuah Catatan Awal, Semarang: Makalah Seminar, hlm. 7
9 Bukti Sejarah menunjukkan Malik belajar
dari Hanafi, Malik mengajar Syafi’i, sedangkan imam
Syafi’i tidak diragukan lagi melakukan transfer ilmu kepada muridnya, Ibnu Hanbal
dalam halaqahnya di Irak. Ibid.,