Kewenangan Provinsi Aceh menurut MoU Helsinki
Saturday, 10 January 2015
Kewenangan khusus apa saja yang diberikan kepada Provinsi Aceh dalam UU desentralisasi baru
menurut MoU Helsinki itu?
1). Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik
termasuk administrasi sipil dan peradilan, kecuali hubungan luar negeri,
pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan
kebebasan beragama (1.1.2.a). Prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 10 UU
Nomor 32 Tahun 2004, dimana daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepadanya, yaitu semua sektor publik berikut aktivitas administrasi
dan peradilannya, kecuali keenam urusan pemerintahan tadi yang merupakan
kewenangan mutlak pemerintah pusat.
2). Persetujuan-persetujuan internasional terkait Aceh berlaku
dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh (1.1.2.b). Prinsip ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 42 Ayat (1) huruf f dan g UU Nomor 32 Tahun 2004,
dimana DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan pendapat, pertimbangan, dan
persetujuan terhadap perjanjian dan kerja sama internasional.
3). Keputusan DPR terkait Aceh dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh (1.1.2.c).
Prinsip ini mirip dengan yang pernah diberikan kepada Papua seperti diatur
dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf d UU Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001,
dimana perjanjian kerja sama menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua
yang dibuat oleh pemerintah pusat dilakukan dengan saran, pertimbangan, dan
persetujuan MRP.
4). Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil pemerintah terkait
Aceh dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh
(1.1.2.d). Prinsip ini persis sama dengan ketentuan Pasal 61 Ayat (3) UU Otonomi
Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001, dimana penempatan penduduk dalam rangka
transmigrasi nasional yang diselenggarakan pemerintah dilakukan dengan
persetujuan Gubernur Papua.
5). Nama Aceh dan gelar pejabat senior ditentukan oleh legislatif Aceh (1.1.2.d). Sebagai daerah yang
bersifat khusus atau istimewa, penyebutan nama daerah dan gelar pejabat,
dijamin oleh Pasal 18 B Ayat (1) UUD 1945. Negara wajib mengakui dan
menghormatinya. Dengan begitu, jika nama NAD dikembalikan jadi Aceh atau
Gubernur diganti jadi Kepala Pemerintah atau nama lainnya, itu memang hak
rakyat Aceh. Lagi pula, dalam Pasal 1 UU Otonomi Khusus NAD Nomor 18 Tahun 2001
kepada Aceh telah diberi keleluasaan menyebut nama daerah maupun sebutan
pejabatnya sesuai tradisi masyarakat setempat, seperti Kabupaten = Sagoe dan Kepala
Desa = Keuchik.
6). Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne (1.1.5). Ketentuan ini sama dengan yang pernah diberikan kepada Papua sesuai Pasal 2 UU Otonomi Khusus
Papua Nomor 21 Tahun 2001, dimana Papua dapat memiliki lambang daerah, bendera daerah, dan lagu daerah. Tetapi, dalam Pasal 2 Ayat (2)-nya dinyatakan
bahwa lambang, bendera, dan lagu daerah tidak
diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
7). Pembentukan lembaga Wali Nanggroe dengan segala perangkat upacara dan gelarnya (1.1.7): Lembaga Wali Nanggroe yang merupakan simbol pelestarian adat ini sebenarnya
telah diatur dalam Pasal 10 UU Otonomi Khusus NAD Nomor 18 Tahun 2001. Hanya
saja, sampai saat ini lembaga itu belum terbentuk.
8). Pendirian partai politik lokal di Aceh (1.2.1.). Ketentuan partai
politik lokal mirip dengan yang pernah diberikan kepada Papua sesuai Pasal 28
UU Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001, dimana penduduk Papua dapat membentuk
partai politik.
9). Pemberian hak kepada rakyat Aceh untuk mencalonkan diri
dalam pilkada dan pemilu legislatif (1.2.2). Ketentuan ini sudah tertuang dalam
Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana parpol atau gabungan parpol
wajib memberi kesempatan seluas-luasnya bagi calon perseorangan (independen).
10). Pemilihan lokal yang bebas dan adil untuk memilih kepala pemerintah
Aceh dan pejabat terpilih lainnya, serta anggota legislatif Aceh (1.2.3).
Ketentuan ini sudah dilaksanakan di daerah-daerah sesuai UU Pemda Nomor 32
Tahun 2004 dan UU Pemilu Legislatif Nomor 12 Tahun 2003 dimana kepala daerah
dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dalam pemilihan tersebut, para pemantau dapat melakukan pemantauan. Selain itu,
dana kampanye dilaporkan secara transparan kepada publik.
11). Pembatasan kewenangan DPRD Aceh mengesahkan peraturan tanpa persetujuan Kepala Pemerintah
Aceh sampai tahun 2009 (1.2.4). Prinsip ini
sebetulnya bukan barang baru, malahan dalam UU Pemda Nomor 1 Tahun 1957 pada
era demokrasi liberal dulu kepala daerah dapat membatalkan keputusan DPRD.
Sekarang, Pasal 144 ayat (1) UU Pemda Nomor 32 Tahun 2004 pun menggariskan bahwa
peraturan yang telah disetujui DPRD disampaikan lagi kepada kepala daerah untuk
disahkan.
12). Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri (1.3.1). Klausul ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 170 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana daerah dapat
melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan utang luar negeri. Di dalam
Pasal 5 Ayat (2) UU Otonomi Khusus NAD Nomor 18 Tahun 2001 telah dicantumkan
pula bahwa Provinsi NAD dapat melakukan pinjaman dari luar negeri untuk
membiayai sebagian anggarannya.
13). Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah (1.3.2). Ketentuan ini dijamin di dalam
UU Pemda Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Perimbangan Keuangan Nomor 33 Tahun 2004.
Malahan, bukan saja pajak daerah tetapi retribusi daerah juga diberikan kepada
daerah otonom oleh pemerintah pusat.
14). Aceh memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh
(1.3.3). Prinsip ini paralel dengan ketentuan Pasal 18
ayat (1) UU Pemda Nomor 32 Tahun 2004 dimana daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan
mengelola sumber daya di wilayah laut.
15). Aceh berhak menguasai 70% hasil dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya
(1.3.4). Klausul ini tidak berbeda dengan ketentuan yang
telah digariskan pada Pasal 4 Ayat (3) dan (4) UU
Otonomi Khusus NAD Nomor 18 Tahun 2001 dimana Aceh untuk minyak bumi dan pertambangan gas alam memperoleh bagian 70%. Malahan, untuk sumber daya alam
sektor kehutanan, perikanan, dan pertambangan umum Aceh menerima 80%.
16). Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua
pelabuhan laut dan pelabuhan udara di wilayah Aceh (1.3.5). Daerah otonom dapat
saja membangun dan mengelola pelabuhan laut dan udara sepanjang memiliki kemampuan.
Bahkan, Bandar Udara Hang Nadim di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau dibangun
dan dikelola oleh Badan Otorita Batam. Namun, standar dalam pembangunan dan pengelolaannya harus tunduk pada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
17). Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan
Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh (1.4.4). Prinsip
ini persis sama dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 21 ayat (6) dan
Pasal 24 ayat (2) UU Otonomi Khusus NAD Nomor 18 Tahun 2001 dimana pengangkatan
Kepala Kepolisian Aceh oleh Kapolri dan penangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi
Aceh oleh Jaksa Agung dilakukan dengan persetujuan Gubernur Provinsi Aceh.
18). Guna menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak
Asasi Manusia (HAM) akan dibentuk sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia dan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh (2.2 dan 2.3). Pembentukan kedua
lembaga ini persis seperti yang terdapat di dalam Pasal 45 ayat (2) UU Otonomi
Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001. Bahkan, di Papua masih ada tambahan satu lagi
yaitu, dibentuknya perwakilan Komnas HAM.
(ini merupakan potongan
dari artikel yang ditulis oleh Djohermansyah Djohan yang berjudul Desentralisasi
Asimetris Ala Aceh, Download Artikel selengkapnya disini)