Teori Pemidanaan
Friday, 27 March 2015
Pemerintah
dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan dengan suatu
paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
“Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapa pun juga, sedangkan pada pihak lain pemerintah Negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu”.
Teori-teori
pemidanaan pada dasarnya merupakan perumusan dasar-dasar pembenaran dan tujuan
pidana. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
dalam tiga kelompok teori, yaitu :
a.
Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Penganut
dari teori ini ialah Immanuel Kant dan Leo Polak. Teori ini mengatakan
bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan
yang membenarkan pidana dijatuhkan. Kant mengatakan bahwa konsekuensi tersebut
adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap kejahatan. Menurut rasio praktis,
maka tiap kejahatan harus disusul oleh suatu pidana. Oleh karena menjatuhkan
pidana itu sesuatu yang menurut rasio praktis,dengan sendirinya menyusul suatu
kejahatan yang terlebih dahulu dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut
adalah sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis. Menjatuhkan pidana itu suatu
syarat etika, sehingga teori Kant menggambarkan pidana sebagai suatu pembalasan
subjektif belaka. Leo Polak tidak dapat menerima teori Kant,
karena teori itu menggambarkan pidana sebagai suatu paksaan (dwang) belaka.
Bukankah bagi siapa yang bertujuan mempertahankan kehendaknya sudah sukup
melakukan paksaan saja. Etika dan sebagainya tidak perlu diperhatikannya. Akan
tetapi pidana itu harus bersifat suatu penderitaan yang dapat
dieprtanggungjawabkan kepada etika. Pidana itu bukan penderitaan, karena pidana
hendak memaksa. Sebaliknya, pidana itu bersifat memaksa supaya pidana itu dapat
dirasakan sebagai suatu penderitaan. Menurut Leo Polak, maka pemidanaan
harus memenuhi tiga syarat ialah :
a)
Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan
dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif;
b)
Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak boleh
memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi, pidana tidak
boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpanya pidana dijatuhkan dengan
maksud prevensi, maka kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang
beratnya lebih daripada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh
diberi kepada penjahat.
Menurut
ukuran-ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan
penjahat;
c)
Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya
pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak
dipidana secara tidak adil.
Wirjono
Prodjodikoro didalam bukunya yang berjudul Azas-azas Hukum
Pidana Di Indonesia mengatakan : “Pada masyarakat Jawa ada semboyan “hutang
pati nyaur pati”, yang maksudnya orang yang membunuh harus juga dibunuh. Dalam
Kitab Suci Al-Qur‟an Surat An Nisaa ayat 93, menyatakan :
“Dan
barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya
adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”
Berdasarkan
kutipan tersebut menunjukkan bahwa di dalamnya terkandung makna pembalasan yang
setimpal di dalam suatu pidana. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana
mempunyai dua arah, yaitu:
a)
Ditujukan kepada pelakunya (sudut subyektif dari pembalasan);
b)
Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat
(sudut obyektif dari pembalasan).
b.
Teori Relatif atau Teori tujuan
Menurut
teori relative, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat.
Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi)
dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan ialah
prevensi umum dan pevensi khusus.
Dalam
teori prevensi umum seperti dikemukakan oleh Von Feurbach, ialah jika
seseorang terlebih dahulu mengetahui bahwa ia akan mendapat suatu pidana
apabila ia melakukan suatu kejahatan, maka sudah tentu ia akan lebih
berhati-hati akan tetapi, penakutan tersebut bukan suatu jalan mutlak (absolut)
untuk menahan orang melakukan suatu kejahatan. Sering suatu ancaman pidana
belum cukup kuat untuk menahan mereka yang sudah merencanakan melakukan suatu
kejahatan, yaitu khususnya mereka yang sudah biasa tinggal dalam penjara,
meraka yang belum dewasa pikirannya, para psikopat dan lain-lainnya.
Selanjutnya
menurut teori prevensi khusus , maka tujuan pemidanaan ialah menahan niat buruk
pembuat, pemidanaan bertujuan menahan pelanggar mengulangi perbuatannya atau
menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.
Pembela teori prevensi khusus adalah Van Hamel. Van Hamel membuat suatu
gambaran tentang pemidanaan yang bersifat prevensi khusus itu sebagai berikut :
a)
Pemidanaan harus memuat suatu anasir menakutkan supaya si pelaku tidak
melakukan niat yang buruk;
b)
Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana, yang
nanti memerlukan suatu reclassering;
c)
Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang sama
sekali tidak dapat diperbaiki lagi;
d)
Tujuan satu-satunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib hukum.
Menurut
pandangan modern, prevensi khusus sebagai tujuan dari hukum pidana adalah
merupakan sasaran utama yang akan dicapai. Sebab tujuan pemidanaan disini
diarahkan ke pembinaan atau perawatan bagi si terpidana, yang berarti dengan
pidana itu ia harus dibina sedemikian rupa sehingga setelah selesai menjalani
pidananya ia menjadi orang yang lebih baik daripada sebelum ia mendapat pidana.
c.
Teori Gabungan
Dengan
adanya keberatan-keberatan terhadap teori-teori pembalasan dan teori tujuan,
maka timbullah golongan ketiga yang mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana
hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban
masyarakat, yang diterangkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah
satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang ada. Teori gabungan ini dibagi
dalam tiga golongan, yaitu :
1)
Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas itu tidak boleh
melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata
tertib masyarakat.
Pendukung
teori ini adalah Pompe, yang berpandangan bahwa pidana adalah pembalasan
pada pelaku, juga untuk mempertahankan tata tertib hukum, supaya kepentingan
umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat
pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib
(hukum) dalam masyarakat.
Sedangkan
Zevenbergen, berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu
pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum. Sebab pidana
itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum. Oleh sebab
itu, pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain untuk
mempertahankan tata tertib hukum;
2)
Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat,
tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai
dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.
Menurut
pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana itu ialah
kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus ada kesalahan pada pelaku,
dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan sukarela. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari
pidana, tetapi bukan tujuan pidana, sebab tujuan pidana adalah pertahanan dan
perlindungan tata tertib masyarakat;
3)
Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan sama.
Penganutnya
adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan, karena pada
umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus disusun
sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana yang adil, dengan ide pembalasannya
yang tidak mungkin diabaikan baik secara negatif maupun secara positif.