-->

Pendapat Ulama Tentang Shalat id

Sudut Hukum | Mengenai shalat ‘Id kalangan ulama mempunyai pendapat yang beragam. Di antaranya menurut pendapat ulama Syafi’iyah yang menyatakan bahwa shalat ‘Id hukumnya sunat ‘ain muakkad. Menurut ulama Malikiyah bahwa shalat ‘Id itu hukumnya sunat ‘ain muakkad menyamai hukumnya shalat witir. Dan ulama ini menghukumi shalat id itu sunat sesuai dengan hadits riwayat Muslim :

Artinya : “Dari Malik bin Anas dari Ibnu Sahil dari bapaknya, sesungguhnya dia mendengar Thalhah bin Ubaidillah berkata : seorang laki-laki mendatangi Rasul SAW. dari penduduk Najd, rambutnya pendek, kita mendengar suaranya tetapi tidak faham apa yang dia katakan, sehingga kami mendekati Rasulullah, maka dia bertanya tentang Islam, Rasul SAW menjawab : shalat lima waktu dalam sehari semalam. Maka orang itu bertanya : apakah ada yang lainnya ? Rasul SAW menjawab tidak. Kecuali jika anda hendak shalat sunat.” (H. R. Muslim)

Sementara ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shalat ‘Id adalah wajib bagi yang terkena kewajiban salat Jum’at. Sedangkan menurut ulama Hanabilah menyatakan bahwa shalat ‘Id hukumnya fardlu kifayah bagi yang terkena kewajiban shalat Jum’at.

Pendapat Ulama Fiqih Tentang Shalat id
Adapun pendapat kalangan ulama tentang shalat ‘Id secara berjama’ah bervariasi antara lain : Menurut Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa shalat ‘Id secara berjama’ah adalah sunat kecuali bagi orang yang haji.

Ulama Malikiyah menyatakan bahwa shalat ‘Id secara berjama’ah adalah syarat syah, karena shalat ‘Id sunat apabila dikerjakan secara berjama’ah. Menurut Ulama Hanafiyah berjama’ah menjadi syarat syah shalat ‘Id seperti shalat Jum’at.

Tentang tempat shalat ‘Id telah diterangkan oleh Sayyid Sabiq di dalam Fiqih Sunnah bahwa shalat ‘Id boleh dikerjakan di masjid, tetapi melakukan di lapangan atau di luar masjid adalah lebih utama (kecuali di kota Makkah, maka mengerjakannya di Masjidil Haram lebih utama dari tempat manapun juga). Demikian itu ialah selama tidak ada halangan seperti hujan dan sebagainya, sebab Rasulullah SAW biasa melakukan shalat dua hari raya itu di mushalla (sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah), dan tidak pernah melakukannya di masjid kecuali hanya sekali yaitu ketika turun hujan.

Menurut Imam Syafi’i melakukan shalat di masjid adalah lebih utama, karena lebih terjaga kemuliaannya dan kesuciannya dari pada yang lain. Jika masjid sempit maka sunat melakukan shalat ‘Id di lapangan. Apabila masjid luas maka shalat ‘Id di lapangan tidak apa-apa. Apabila masjid penuh dan shalat ‘Id di dalam masjid tidak di lapangan hukumnya makruh. Sesuai hadits :

“Diceritakan dari Ibnu Said al-Khudri dia berkata bahwa Rasulullah SAW. Keluar di hari Fitri dan Adha ke mushalla.” (H.R. Bukhari)

Kalangan ulama tidak ada perbedaan tentang penetapan hukum khutbah yaitu sunat, demikian pula bagi yang mendengarkannya. Syarat serta rukun khutbah sama dengan khutbah Jum’at.

Khutbah ‘Id dilaksanakan sesudah shalat ‘Id, namun apabila khutbah ‘Id dilaksanakan sebelum shalat ‘Id menurut ulama’ Syafi’iyah dan ulama Hanabilah adalah tidak syah tetapi tidak perlu diulang. Menurut ulama Hanafiyah khutbah syah tetapi makruh apabila dilaksanakan sebelum shalat ‘Id. Sedangkan menurut ulama Malikiyah khutbah syah dan mengulangi khutbah adalah sangat disunatkan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel