Bangsa Mesir dan Sejarah Dinamika Sosio-Politik
Friday, 8 May 2015
Sudut Hukum | Mesir yang nama lengkapnya Republik Arab Mesir (Jumhuriyyah Mishr al Arabiyyah) adalah salah satu negeri yang terletak di
Benua Afrika. Tepatnya di pantai Timur Laut Benua Afrika. Negeri ini berbatasan
dengan laut tengah di sebelah utara. Laut Merah di sebelah Timur dan Sudan di
sebelah Selatan, serta Libya di sebelah Barat. Luas daerahnya sekitar 997.793
Km2.
Penduduknya berjumlah 54. 609.000 Jiwa (1990). Sekitar 90 % ( 1989) penduduknya
beragama Islam (Sunni) dan sedikit Syi’ah. Agama selain Islam yang terdapat di
Mesir adalah Katolik, Kristen Koptik, Kristen Roma dan Yahudi. Kelompok etnik
terpenting adalah Mesir, Badui dan Nubia.
Ibukotanya adalah Kairo dan bahasa resminya adalah bahasa Arab.
Secara historis bangsa Mesir mempunyai
genealogi bangsa yang mempunyai peradaban
tinggi. Sejak zaman kuno (4000 SM), Mesir telah menghasilkan kebudayaan yang
sangat monumental..Hal tersebut dapat difahami dengan adanya Pyramida, Sping dan tulisan Heroglyph
sebagai peninggalan sejarah yang menyimpan makna kebudayaan yang tinggi. Itulah
mengapa dalam historisitasnya, bangsa Mesir mempunyai pengaruh yang luar biasa
terhadap proses pewarnaan kebudayaan dan peradaban di dunia, terutama di
wilayah Arab. Termasuk di dalamnya ketika Mesir masuk dalam wilayah Islam.
Mesir segera menjadi wilayah yang cukup
signifikan terhadap perkembangan Islam. Itu bisa dilihat dari berbagai bidang, mulai dari bidang politik dan
perluasan. Hal ini ditandai dengan berdirinya Daulah Bani Umayah, Dinasti
Abbasiyah, Dinasti Tulun (869-905 M), Dianasti Ikhsyid (935-969 M), Dinasti
Bani Fatimiyah (909-1171 M),Dinasti Bani Ayyubiyah (1174-1250 M) dan Mameluk
(1250-1617 M). Pada bidang pendidikan, pengetahuan dan kebudayaan ditandai
dengan berdirinya Universitas al Azhar, Sedangkan dalam Bidang perdagangan dan
ekonomi, Mesir mempunyai jalan perdagangan yang sangat strategis dengan Teluk
Sues sebagai sentral jalur perdagangan yang menghubungkan antara negara-negara
di Afrika, Asia dan Eropa.
Periode Mesir modern dimulai dengan
berdirinya pemerintahan Muhammad Ali
Pasha ketika Napoleon mendarat di wilayah ini. Muhammad Ali Pasha digantikan oleh putranya, Said Pasha
(memerintah 1854-1863) dan kemudian digantikan
oleh sepupunya , Ismail Pasha (1863-1979). Inggris campur tangan terhadap
persoalan politik Mesir pada tahun 1882. Walaupun demikian secara de facto Mesir tetap tunduk pada pemerintahan Turki Usmani hingga tahun
1914.
Antara tahun 1914-1922 Negeri ini mengambil
bentuk pemerintahan monarki konstitusional.
Pada tanggal 23 Juli 1952 terjadi revolusi yang dipimpin oleh Muhammad Naguib,
Panglima perang raja Farouk yang menyebabakan raja Farouk turun tahta. Mesir
kemudian menjadi republik pada tanggal 18 Juni 1953 dengan Naguib ebagai
presiden sekaligus perdana menteri. Gamal Abdul Naseer menyingkirkan Naguib
pada tahun 1954 dan terpilih sebagai presiden (1958). Ia meninggal pada tanggal 6 oktober 1981 dan
digantikan oleh wakilnya, Husni Mubarak.
Penjajahan Napoleon di Mesir (1998-1805)
benar-benar telah menghancurkan bangunan
peradaban Mesir yang telah dibangun selama hampir 300 tahun dan kemudian berakibat pada masuknya Mesir dalam
sebuah sistem global oleh Barat. Mesir
berhadap-hadapan dengan barat dalam posisi kondisi material yang sangat lemah.
Pada masa akhir pemerintahan Turki
Usmani Wilayah-wilayah Mesir hampir berada pada masa kejatuhan bersamaan dengan
meluas dan menguatnya kekuaasaan negeri-negeri Eropa.Kerajaan Turki Usmani
kemudian sama sekali tidak mengurus keberadaan negeri-negeri
Arab.Kantong-knetong perdangan tidak berjalan dengan baik dan proses produksi
juga tidak bisa berjalan dengan baik.
Akhirnya Kebangkrutan ekonomi dan politik
benar-benar melanda negeri-negeri Arab waktu itu. Walaupun begitu satu hal yang
penting di Mesir pada waktu itu adalah bahwa ulama sebagai sebuah lembaga
masayarakat bisa bertahan dan menjadi satu-satuntya kekuatan kohesiv bagi
bangsa Mesir.
Proses dialektika rekayasa sosial dan
kebudayaan di Mesir sesungguhnya baru terjadi
ketika masa pemerintahan Muhammad Ali ( 1804-1941) , seorang Pemimpin Mesir yang memelopori keberadaan Mesir
modern. Dinastinya dapat bertahan sampai tahun 1952.
Pemimpin baru Mesir ini
mempunyai agenda untuk mentranformasikan negerinya dari keterbelakangan politik-ekonomi
menuju sebuah negara yang cukup kuat dalam rangka mempertahankan kemerdekaannya
dari Dinasti Usmani dan sekaligus untuk mencounter dominasi
Barat. Dalam rangka memperkuat negara dan kekuatan militernya, Muhammad Ali
mengembangkan industrialisasi dengan meminjam tenaga teknisi dari Barat.
Sedangkan dalam konteks keluarga dia mendisiplinkan
populasi melalui format baru pendidikan dan organisasi sosial. Dia juga
mengeliminasi lembaga-lembaga, antara pusat-pusat basis dan birokrasi negara yang
sangat sentralistis pada waktu itu. Dalam proses selanjutnya, walaupun pada awalnya
ia mendapat dukungan dari para ulama, Muhammad Ali kemudian bertentangan secara
diametral dengan pandangan para ulama.
Dalam proses setelah itu terjadi gesekan dan
pertarungan wacana antara ulama di
satu sisi yang ingin mempertahankan tradisi dan Agama dengan Muhammad Ali yang berusaha mentransformasikan bangsa Mesir
dalam pusaran modernisasi dan industrialisasi.
Para ulama membangun oposisi gerakannya dengan menjadikan Al Azhar sebagai
basis kekuatam agama dan menggunakan proses-proses kultural di beberapa tempat,
termasuk kaum reformis dan dan para elit kota. Namun di sisi lain Muhammad Ali
berhasil melanjutkan proyek modernisasinya dengan membatasi peran ulama dalam
kehidupan Nasional Mesir.
Ironisnya pada waktu yang sama intervensi Inggris
masuk dalam proses ini. Setelah itu Inggris bersekutu dengan kekuatan militer Mesir dan membangun
dasar-dasar industri di sana. Muhammad Ali pada akhirnya dapat ditaklukkan oleh
Inggris. Pada konteks inilah para ulama mengambil jalan oposisi, baik sacara
intelektual, kultural maupun agama.
Dalam rangka membangun resistensi terhadap
kekuatan Inggris, pada waktu itu
ada dua kekuatan yang bergerak, pertama
adalah kaum sekuler Nasionalis dan yang kedua
adalah kaum Islam reformis. Walaupun dalam
kenyatannya sangat sulit untuk memahami garis pemisah antara dua kekuatan
tersebut. Namun pada asasnya kedua kekuatan ini menggaris bawahi akan
pentingnya sinergi antara agama dan identitas kolektif. Salah satu figur yang
sangat berpengaruh dalam usaha ini adalah Jamaluddin al Afghani, seorang yang
bermadzhab Syi’ah berasal dari Iran (1837- 1897).
Dia mempunyai ide cemerlang
berdasarkan refleksinya yang mendalam terhadap kondisi sosio-politik bangsa Arab
dan bangsa Muslim di seluruh dunia dengan mengusung sebuah isu “Pan-
Islamisme”, yaitu bersatunya bangsa-bangsa muslim dalam satu naungan sosial dan
politik-ekonomi. Dia berpendapat bahwa akal, pengetahuan dan ide-ide liberal
tentang pemerintahan dan dinamika adalah benarbenar sesuai dengan agama Islam
ketika pesan-pesan keimanan tersebut difahami dengan benar.
Sebenarnya
pemikiran al Afghani banyak bertentangan dengan ulama tradisional Mesir yang
berada di bawah naungan al Azhar. Walaupun al Azhar tidak mengisolasi diri dari
isu-isu modern dalam hal pengetahuan dan pemikiran sosial, namun mereka masih
menggunakan metode-metode tradisional. Terjadinya pembaharuan pemikiran
keisalaman di Mesir waktu itu merupakan imbas dari dikirimnya beberapa sarjana
ke Barat untuk belajar tentang pengetahuan pada masa pemerintahan Muhammad Ali.
al-Afgahani adalah tokoh yang berpengaruh pada zamannya. Resistensinya terhadap
Barat telah menjadi kekuatan yang akumulatif di Mesir pada abad ke-19 dan al
Azhar adalah pusat resistensi terhadap kekuatan hegemoni barat.
Ide-ide pembaharuan al Afghani kemudian
diteruskan oleh muridnya , Muhammad
Abduh.( 1849-1905). Dengan melakukan reformasi teologi, pendidikan dan pada wilayah-wilayah kultural.
Ia juga memodernisasi kurikulum untuk menyiapkan birokrasi-birokrasi yang
sesuai dengan kondisis sosial waktu itu. Abduh sesungguhnya tipe tokoh yang
sangat kompromistis dengan kekuatan Inggris dengan berpendapat bahwa dalam
rangka menemukan identitas dan kebebasan bangsa Mesir harus melalui pembaharuan
Islam. Namun penetrasi Inggris sangatlah kuat, sehingga pada tahun 1923 terjadi
deklarasi pemerintahan monarki dengan konstitusi yang didasarkan pada ide-ide
kaum liberal-nasional. Ide-ide sekulerisasi tersebut banyak dipengaruhi oleh
idelogi sekulerisme yang berkembang di Turki pada akhir perang dunia pertama.
Dari ilustrasi ini dapat difahami bahwa
keberhasilan perlawanan terhadap Barat
-menurut Abduh dan al-Afghani- sangat bergantung pada adanya proses “imitasi” .Muhammad Abduh dalam hal ini lebih
cenderung untuk melakukan imitasi terhadap
Barat. Perbedaan orientasi imitasi dilakukan oleh M. Rasyid Ridla (1865- 1935),
generasi penerus Abduh. Ridla berpendapat bahwa westernisasi adalah sesuatu yang tidak cocok bagi bagi
umat Islam. Gerakan di Arablah yang merepresentasikan sebuah gerakan yang tepat
untuk melawan Barat.Oleh karena itu dia mengambil gerakan Wahabiyah di Arab Saudi sebagai inspirasi pemikiran dan gerakan. Dia bahkan
menyandarkan kiblat genealogi pemikiran fiqh pada Imam Hanbali dan teologi pada
Ibnu Taimiyah.
Pada tahun 1928 bersama Hasan Al Banna, salah
seorang pengikutnya Rasyid Ridla mendirikan gerakan muslim modern
yang diberi nama Ikhwan al muslimin , tidak sebagaimana Rasyid Ridla, Hasan al Banna mempunyai visi
yang lebih mendunia. Visi Ikhwan al Muslimin adalah bahwa entitas sosial,politik dan ekonomi
adalah satu hal mutlak yang harus diperjuangkan oleh umat Islam. Mereka pada
asasnya hendak memperjuangkan etika sosial yang otentik yang sesuai dengan Islam
dan sesuai dengan zaman modern. Mereka kemudian mengembangkan etika sosial
dalam aktivitas yang konkret dan melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Namun
pada waktu yang sama gerakan ini melakukan perjuangan di wilayah politik dan
ekonomi.
Pada tanggal 23 Juli 1952 terjadi revolusi
yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Naguib,
panglima perang dalam pemerintahan Raja Farouk. Yang menyebabkan Raja Farouk
turun tahta, Mesir kemudian menjadi Republik pada tanggal 18 Juni 1953 dengan
Naguib sebagai Presiden merangkap Perdana menteri. Generasi Ikhwan selanjutnya adalah Sayyid Qutb. Tokoh ini merupakan produk dari
impresifitas dan militansi gerakan politik Ikhwan dengan
hegemoni Inggris dan kaum Zionis terhadap bangsa Arab, terutama bangsa Mesir.
Sayyid Qutb kemudian melakukan kerjasama
dengan rezim tentara hingga revolusi dari bawah melanda mesir waktu itu. Gamal
Abdul Naseer sebagai pemimpin rezim tentara didukung oleh Ikhwan untuk melakukan revolusi dalam rangka melawan kaum elit yang
sekuler. Namun pada proses selanjutnya Naseer berkolaborasi dengan ulama tradisionalis.
Setelah itu terjadilah konflik antara “Ikhwan” dengan Gamal Abdul Naseer.
Konflik yang disebabkan oleh interes politik, bukan karena ideologi. Gamal Abdul
Naseer menggantikan Naquib pada tahun 1958.
Nasionalisme dan revolusi menjadi tema utama
pada akhir tahun 1950-an. Diantara dua alternatif gerakan yang bersaing
pada waktu itu ,yaitu komunisme dan kebangkitan
Islam yang disuarakan oleh kelompok “Ikhwanul
muslimin” muncul sebuah ideologi gerakan yang bermaksud
“mengkolaborasikan” dua kutub tersebut dan
mengkombinasikan antara Pan-Islamisme dan ideologi sosial-radikal.
Gerakan ini menamakan
dirinya sebagai gerakan “sosialisme Arab” dengan Gamal Abdul Naseer sebagai
tokoh sentralnya. Adalah sebuah realitas empiris bahwa ternyata mayoritas warga
Mesir, termasuk sebagian besar mahasiswa dan orang-orang terpelajar kota menerima
paham ini dengan sangat antusias, sehingga pemerintahan Gamal Abdul Naseer
mendapat dukungan politik yang sangat besar dari rakyatnya ketika awal mula dia
memimpin Mesir.[*]