Amil Zakat
Tuesday, 14 July 2015
1. Pengertian
Amil
Kata amil
berasal dari kata ‘amal yang biasa diterjemahkan dengan “yang mengerjakan atau
pelaksana”.[1] Amil zakat
adalah petugas yang ditunjuk oleh pemerintah atau masyarakat untuk mengumpulkan
zakat, menyimpan, dan kemudian membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya
(mustahiq).
Menurut Ahmad Azhar Basyir, yang dimaksud dengan amil zakat
adalah orang yang bekerja untuk memungut zakat dari wajib zakat, orang yang
membukukan hasil pemungutan zakat, orang yang menyimpan harta zakat, orang yang
membagi-bagikan harta zakat kepada mereka yang
berhak, dan sebagainya. Dalam hal para amil itu adalah pegawai negeri yang
mendapat tugas resmi bertindak sebagai amil, bagian para amil itu masuk kepada
pemerintah, tidak diberikan kepada para petugas bersangkutan. Hal ini berarti
bahwa pendapatan negara antara lain dapat diperoleh dari harta zakat.[2]
Menurut
ensiklopedi hukum islam, yang dimaksud dengan amil adalah orang
atau badan yang mengurus soal zakat dan shadaqah dengan cara mengumpulkan,
mencatat, dan menyalurkan atau membagikannya kepada yang
berhak menerimanya menurut ketentuan agama islam. Secara bahasa amil berarti
wakil, agen, kuasa, dan langganan. Kata ini berasal dari kata amila yang
berarti pekerja, tukang, dan pengatur pekerjaan. Pengertian amil dalam artinya
yang sekarang bermula pada masa nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menggunakan
istilah tersebut bagi orang-orang yang ditunjuk olehnya
sebagai petugas yang mengumpulkan dan yang menyalurkan shadaqah dan zakat
kepada mereka yang berhak menerimanya.[3]
Pasal 3
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengelola zakat
yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga. Sebagaimana penafsiran
tekstual dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 103, yang menyebutkan kata "amilinaalaiha"
sebagai salah satu pihak yang berhak atas bagian zakat, kemudian
diterjemahkan sebagai pengurus zakat yang bertugas mengambil dan menjemput
zakat tersebut. Rasulullah SAW juga mempekerjakan seseorang mengurus keperluan zakat. Kemudian
sunnah ini dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin setelahnya.[4]
Di Indonesia ini
sudah ada satu organisasi yang menangani masalah zakat ini, yaitu
BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah). Badan ini belum
merata untuk seluruh Indonesia. Pembentukan badan ini dipelopori oleh DKI.[5]
Karena Indonesia
bukan negara Islam, maka pelaksanaan pengumpulan
zakat, terpisah dari penarikan pajak, dan administrasinya juga terpisah;
sebab penerimaan zakat dan pajak berbeda begitu juga pengeluarannya
(sasarannya) berbeda dalam hal-hal tertentu. Al-Qur'an membenarkan, bila amil
pun mengambil bagiannya dari zakat, sebab kalau amil itu difungsikan, maka
tugasnya cukup banyak, seperti pendataan wajib zakat yang berbeda-beda
tugasnya, seperti petani, saudagar, dan kegiatan lain yang menghasilkan uang
atau harta kekayaan.
2. Kewajiban
Amil
Para amil
mengingatkan para wajib zakat, seperti petani pada waktu panen dan
bidang-bidang lain, karena ada kemungkinan para wajib zakat tidak mengerti dan
ada pula kemungkinan karena kikir.
Para amil juga
mendata siapa-siapa yang wajib menerima zakat di lingkungannya
tempat bertugas secara teliti, agar jangan sampai terjadi, para mustahiq
tidak
menerima zakat dan sebaliknya yang tidak berhak menerimanya.
Ketelitian dalam pendataan ini amat penting, sebab ada kemungkinan ada orang
yang sengsara hidupnya, tetapi dia tidak mau memperlihatkan kesengsaraan
hidupnya kepada orang lain. Adalah sangat baik apabila para
amil mengetahui pemasukan (income) setiap orang yang dipandang
berhak menerima zakat. Hal ini sangat menentukan pembagian zakat, karena
pembagiannya tidak mesti sama rata atau sama besarnya, perhatian pertama tentu
ditujukan kepada fakir miskin.[6]
4. Hak Amil
Demi sukses dan
terpeliharanya pengumpulan dan pembagian zakat, menetapkan bagi para petugas
zakat bagian yang berhak menerimanya dari harta zakat yang dikumpulkan itu.
Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang
jumlah yang berhak diterimanya.[7]
Dalam Q.S. [9]:
60 disebutkan bahwa delapan ashnaf mereka secara
keseluruhan atau sebagian diberikan harta zakat yang telah terkumpul. Tetapi
apakah masing-masing mendapat seperdelapan, atau jumlah yang diperoleh
masing-masing diserahkan ketetapannya kepada kebijaksanaan imam
atau wakilnya. Merujuk pada firman Allah SWT dalam Q.S. [9] : 103 yang
menjelaskan bahwa salah satu unsur yang terpenting dalam pengelolaan zakat
adalah dibentuknya suatu lembaga zakat atau amil zakat.
3. Tujuan Amil
Dalam Bab II
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan
bahwa pengelolaan zakat, melalui amil zakat bertujuan:
- Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama;
- Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;
- Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.[8]
Amil ini
memiliki kekuatan hukum secara formal untuk mengelola zakat.
Dengan adanya Amil, menurut Abdurrahman Qadir akan memiliki beberapa
keuntungan formal, antara lain:
- Menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
- Menjaga perasaan rendah din para mustahiq zakat.
- Untuk mencapai efisien dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
- Memperlihatkan syi'ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.
Sebaliknya, jika
zakat diserahkan secara langsung kepada mustahiq, adalah sah, tetapi
mengabaikan hal-hal tersebut di atas. Di samping itu hikmah dan fungsi zakat
untuk mewujudkan kesejahteraan umat akan sulit diwujudkan.
Dengan adanya
kelompok "amil zakat" jelas bahwa zakat bukanlah merupakan
pekerjaan yang sepenuhnya diserahkan kepada perasaan dan kehendak
individu. Akan tetapi zakat haruslah ditangani oleh pemerintah atau lembaga.
Dalam hal ini pemerintah atau lembaga mengangkat orang-orang yang mengurus
pelaksanaan zakat itu, mulai dari pemungutannya, pemeliharaannya sampai kepada
pembagiannya. Dengan adanya pengurus zakat yang ditentukan oleh pemerintah atau
lembaga diharapkan zakat dapat dilaksanakan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan
lembaga zakat itu sendiri yaitu meratakan rezeki dan menciptakan keadilan
sosial. Meskipun demikian dalam mengangkat pengurus zakat ('amil) ada
beberapa hal yang harus dipenuhi.
4. Syarat-Syarat
Amil
Menurut Yusuf
al-Qardhawi, syarat-syarat "amil zakat" itu antara lain adalah:
- Muslim, karena zakat itu urusan kaum muslim.
- Mukallaf, artinya orang dewasa yang sehat akal dan pikirannya.
- Jujur, dapat dipercaya, karena nanti ia akan dipercaya untuk memegang harta kaum muslimin.
- Memahami hukum-hukum zakat. Sebab jika ia tidak memahami hal tersebut, berarti ia bukan orang yang cukup baik untuk mengemban tugas yang dibebankan kepadanya, dan memungkinkan untuk melakukan banyak kesalahan dalam tugasnya.
- Memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya dan sanggup memikul tugas itu.
- Sebagian ulama melarang kerabat Nabi Muhammad Saw untuk menjadi "amil zakat". Namun syarat ini banyak dipertentangkan.
- Sebagian ulama mensyaratkan "amil zakat" itu laki-laki. Tetapi hal ini nampaknya tidak menutup kemungkinan wanita untuk menjadi "amil zakat" selagi tugasnya itu sesuai dengan fitrahnya sebagai wanita.
- Sebagian ulama juga mensyaratkan "amil zakat" itu harus orang merdeka, bukan seorang hamba.
[1]
M.Quraish
Shihab, Membumikan Al Quran Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat,
Bandung : Mizan, Cet. Ke-2, 1992, hlm. 325
[2]
Ahmad
Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001,
hlm. 73-74
[3]
M.Quraish
Shihab (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jilid l, Cet. I, tth, hlm. 1989
[4]
Abdul
Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, Yogyakarta: Pilar Media, 2006,
hlm. 24-25.
[5]
M. Ali
Hasan, Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia,
Jakarta:
Kencana, 2006, hlm. 96.
[6] Ibid, hlm. 96.
[7] M.Quraish Shihab, Op. Cit,
hlm. 329
[8]
Tim
Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang Zakat, Yogyakarta:Pustaka
Yustisia, 2009, hlm.8