-->

Membaca Al-Fatihah dalam Shalat

Sudut HukumMembaca Al-Fatihah dalam Shalat

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْتَرِئْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ (رواه الجماعة)

(Hadis) dari ‘Ubadah ibn Shamit katanya, Rasulullah saw bersabda: Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca Umm al-Qur’an (al-Fatihah)

Pemahaman Hadis

Pernyataan Nabi لَا صَلَاةَ dipahami oleh para ulama secara berbeda: Pertama, penafian sahnya shalat. Argumen yang dimajukan adalah bahwa shalat terdiri dari perbuatan dan bacaan. Sesuatu yang sifatnya tersusun dari bagian-bagian, akan tidak berarti dengan penafian salah satu bagiannya. Argumen ini diperkuat oleh hadis Nabi yang menyatakan:لا تجزء صلاة لا يقرأ فيها بفاتحة الكتاب. Pendapat ini adalah pendapat dari kalangan Malikiyah, Syafi’iah dan Hanabilah.


Kedua, pernyataan Nabi لَا صَلَاةَ  dipahami dengan penafian kesempurnaan atau fadhilah, seperti pernyataan Nabi لا صلاة لجار المسجد الا في المسجد. Pemahaman ini berasal dari kalangan Hanafiyah. Pemahaman ini didasari pada ayat dan hadis yang menyatakan bahwa kewajiban membaca bukanlah al-Fatihah, tetapi salah satu ayat al-Qur’an yang mana saja.

فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ (القرآن: 19)

عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ دَخَلَ الْمَسْجِدَ ، فَدَخَلَ رَجُلٌ ، فَصَلَّى ، فَسَلَّمَ عَلَى الرسول فَرَدَّه ، وَقَالَ: (ارْجِعْ ، فَصَلِّ ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ) ، قالها : ثلاثًا ، ثم قَالَ : وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ ، فَعَلِّمْنِي ، فَقَالَ : إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاةِ ، فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ.

Dari hadis di atas, maka ulama Hanafiyah berpendapat bahwa al-Fatihah tidak wajib dibaca di dalam shalat.

Hadis ‘Ubadah di atas, tidak menyatakan bahwa kewajiban membaca basmalah itu dalam setiap rakaat. Karena itu, ulama yang memahami bahwa membaca al-Fatihah merupakan satu keharusan dalam shalat menyatakan bahwa mesti pula dalam setiap rakaat. Ini adalah pemahaman dari kalangan Syafi’iyah, Malikyah dan Hanabilah. Pemahaman ini didasarkan pada hadis Nabi ketika mengajarkan orang melaksanakan shalat Nabi menyatakan: هكذا أربع ركعات . Sementera kalangan Hadawiyah menyatakan bahwa kewajiban membaca al-Fatihah dalam shalat cukup satu kali saja dalam rakaat mana saja, karena Nabi dalam hadis tersebut tidak menetapkan dalam setiap rakaat.

Beberapa persoalan yang terkait dengan membaca al-Fatihah ini adalah apakah makmum membaca al-Fatihah di belakang imam. Dalam persoalan ini terdapat beberapa hadis yang beragam. Oleh karena itu, terdapat perbedaan para ulama dalam persoalan ini: Pertama, ulama hanafiyah menyatakan bahwa tidak ada kewajiban makmum membaca al-Fatihah shalat di belakang imam, baik imam membaca al-Fatihah secara jahar maupun sir. Kedua, ulama Hadawiyah menyatakan kewajiban makmum membaca al-Fatihah bila imam membaca al-Fatihah secara sir. Sedangkan Syafi’iyah menyatakan keharusan bagi makmum membaca al-Fatihah dalam shalat dimana imam membaca secara jahar dan sir.

Di samping itu, juga persoalan kapan makmum membaca al-Fatihah di belakang imam, para ulama memahami secara berbeda: Pertama, mereka yang menyatakan bahwa membaca al-Fatihah di sela-sela imam membaca ayat-ayat surat al-Fatihah. Kedua, membaca bersamaan dengan imam membaca.  Ketiga, makmum membaca setelah imam membaca al-Fatihah secara keseluruhan.


Daftar Rujukan

Muhammad ibn Ismail al-Amir al-Kahlani al-Sha’ani, Al-ShaSubul al-Salam, Maktabah Mustafa al-Bab al-Halabi, 1960.

Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah,

Syams al-Din Abu Bakr Muhammad ibn Abi Sahl al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Dar al-Fikr
[*Maizuddin, M.Ag.]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel