Pengertian Kaidah Fiqih
Wednesday, 15 July 2015
Sudut Hukum | Para ulama memang berbeda dalam mendefinisikan ilmu Kaidah Fiqih secara istilah. Ada yang mendefinisikannya dengan makna yang luas tetapi juga ada yang mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah sebagai berikut:
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah Fiqih adalah:
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah fiqhiyah sebagai :
Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah:
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya).
Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah adalah:
Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas bukan menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada, sehingga sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum dari permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang mencakup secara keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu kaidah ushul (القواعد الأصولية) dan kaidah fiqih (القواعد الفقهية):
Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqih, yang digunakan untuk menyimpulkan hukum ( takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.
Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih, kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian dari metodologi hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah (مجلة الأحكام العدلية) yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih di bidang muamalah dengan 1.851 pasal.
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah sebagai berikut:
مجْمُوْعةُ اْلأحْكامِ الْمُتشبِّهاتِ الّتِيْ ترْجِعُ إِلى قِياسٍ واحِدٍ يجْمعُها
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa berdasarkan qiyas (analogi) yang mengumpulkannya."
b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah Fiqih adalah:
قضِيّةٌ كُلِّيّةٌ مُنْطبِقةٌ على جمِيْعِ جُزْئِيّاتِها
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya"
c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah fiqhiyah sebagai :
اْلأمْرُ الْكُلِّيُّ اّلذِيْ ينْطبِقُ عليْهِ جُزْئِّيّاتٌ كثِيْرةٌ يُفْهمُ أحْكامُها مِنْها
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi"
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim
Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah
معْرِفةُ اْلقواعِدِ الّتِيْ تُردُّ إِليْها وفرّعُوا اْلأحْكام عليْها
"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan hukum tersebut dirinci dari padanya"
e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah:
حُكْمٌ كُلِّيٌّ ينْطبِقُ على جُزْئِيّاتِهِ
"Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi bagian-bagiannya"
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya).
Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah adalah:
حُكْمٌ أغْلبِيٌّ ينْطبِقُ على مُعْظمِ جُزْئِيّاتِهِ لِتُعْرف أحْكامُها مِنْهُ
“Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup sebagian besar bagian-bagiannya supaya dapat diketahui hukum-hukumnya.”
Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas bukan menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada, sehingga sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum dari permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang mencakup secara keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu kaidah ushul (القواعد الأصولية) dan kaidah fiqih (القواعد الفقهية):
Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqih, yang digunakan untuk menyimpulkan hukum ( takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.
Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih, kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian dari metodologi hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah (مجلة الأحكام العدلية) yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih di bidang muamalah dengan 1.851 pasal.