Menasihati Diri
Thursday, 20 August 2015
Sudut Hukum | Menasihati Diri
nasihat dari imam al-Ghazali
Berbicara
tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab,
nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk
diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan
mengeluarkan zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak mungkin dijadikan alat
penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok?
Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah
mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah
kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi
nasihat: yang berbicara dan yang diam.”
Pemberi nasihat
yang berbicara adalah Alquran, sedangkan yang diam adalah kematian. Keduanya
sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau
mengambil nasihat dan keduanya, bagaimana ia akan menasihati orang lain? Aku
telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenarkan dan menerimanya
dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata
pada diri ini, “Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat
yang berbicara dan juru nasihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang
diturunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya?” Ia
menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa yang menginginkan kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan
mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang
tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua
amal perbuatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Hud:
15-16).
Allah Swt.
menjanjikan neraka bagimu karena engkau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang
tak menyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah
membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada dunia? Seandainya ada seorang
dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi
nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya engkau akan takut dan
menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ketimbang Allah
Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit
itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini!
Engkau membenarkan tapi tak mau mengambil pelajaran. Bahkan engkau terus saja
condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru
nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, “Pemberi nasihat yang berbicara
(Alquran) telah memberitahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian),
yakni ketika Allah berfirman, „Sesungguhnya kematian yang kalian hindari
akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu
Dia akan memberi-tahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan‟ (Q.S.
al-Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah
engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan
memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi.
Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah
yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, „Bagaimana pendapatmu jika
Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada
mereka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa
yang telah mereka nikmati itu.‟ (Q.S. asySyuara: 205-206).”
Jiwa yang
merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya.
Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai
ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia
berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena,
ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana
ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah Swt.
sebagaimana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida
manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang
manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat sebagaimana ia
menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah
ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengumpulkan perlengkapan
yang ia butuhkan untuknya, padahal kematian barangkali akan menjemputnya
sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, “Bukankah engkau bersiap-siap
menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat
perlengkapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi panas?”
Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada Allah
sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan bersiap-siaplah untuk
akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini
merupakan kewajiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang
dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para
ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan
separuhnya lagi tak tercegah.”
Aku termasuk di
antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang
melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat kematian dan Alquran,
maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai
pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku
terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu
tenang. Oleh karena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan
sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan bahwa maut
masih lama. Seandainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di
siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau
sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah
ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah
pada Allah SWT.
Jelaslah bahwa
siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore,
atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati
waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa
berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku
juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah saw ketika beliau bersabda,”Salatlah
seperti salatnya orang yang akan berpisah
(dengan dunia).” Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang
singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.
Siapa yang
menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan merupakan salat
terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mempersiapkan diri
sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia senantiasa akan
lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga, pada
akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.
Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar
aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin meraihnyg tapi tak mampu. Aku
juga mewasiatkan padanya agar hanya rida dengannya dan berhati-hati terhadap
berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang
cendekia.
*sumber: Bidayatul Hidayah
*http://s-hukum.blogspot.com/