Pengertian Bunga Bank
Wednesday, 19 August 2015
Sudut Hukum | Bank adalah suatu lembaga bisnis, dan sistem bunga adalah satu mekanisme bank untuk pengelolaan peredaran dana masyarakat. Anggota masyarakat yang memiliki dana, dapat – bahkan diimbau untuk - menitipkan dana mereka yang tidak digunkan pada bank untuk jangka waktu tertentu. Kemudian bank meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan dana untuk usaha dalam jangka waktu tertentu pula. Anggota masyarakat yang meminjam dana dari bank pada umumnya untuk dipergunakan sebagai modal usaha, bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Dan dia akan mendapat keuntungan dari usahanya yang dimodali oleh bank tersebut.[1]
Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga itu
timbul dari sejumlah uang pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “kapital”
atau “modal”[2]
berupa uang. Dan bunga itu juga dapat disebut dengan istilah “rente” juga
dikenal dengan “interest”.[3] Menurut
Goedhart bunga atau rente itu adalah perbedaan nilai, tergantung pada perbedaan
waktu yang berdasarkan atas perhitungan ekonomi.[4]
Persoalan halal tidaknya bunga (interest)
sebagai instrumen keuangan merupakan sumber kontroversi di
seluruh dunia Islam sejak lama. Sumber kontroversi ini adalah ayat-ayat
al-Qur'an yang melarang riba – sebuah praktek Arab kuno – yakni apabila
seseorang berhutang, hutangnya akan berlipat jika ia menunggak lagi, hutangnya
akan berlipat lagi. Selama berabad-abad, banyak kaum muslim yang menyimpulkan ayat-ayat
tersebut bahwa kontrak pinjaman yang menetapkan keuntungan tertentu bagi si
pemberi pinjaman adalah perbuatan yang tidak bermoral, tidak sah atau
haram-terlepas dari tujuan, jumlah pinjaman, maupun lembaga yang terlibat.[5]
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa
yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional
kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga
dapat diartikan sebagai harga[6]
kepada deposan (yang memiliki simpanan)
dan kreditur (nasabah yang memperoleh pinjaman) yang harus dibayar
kepada bank. Institusi bunga bank yang dalam hal ini adalah
bunga yang bukan termasuk riba atau dapat dikatakan dengan bagi
hasil menurut syari’at Islam (perbankkan syari’ah) telah menjadi
bagian penting dari sistem perekonomian bangsa Arab seperti halnya
sistem ekonomi di negaranegara lain (non muslim).
Sesungguhnya, bunga
telah dianggap penting demi keberhasilan pengoperasian sistem ekonomi
yang ada bagi masyarakat. Tetapi Islam mempertimbangkan bunga
itu sebagai kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan dalam kehidupan.[7] Al-Qur'an
mengakui bahwa meminum-minuman keras itu bukan tidak ada manfaatnya sama sekali,
tetapi Islam mengharamkannya karena akibat-akibat buruk yang diakibatkan oleh
minuman-minuman keras itu jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kita mengakui
bahwa sistem bunga dalam bank itu dalam pelaksanaanya tidak selalu baik, dan
dapat mencelakakan nasabah yang meminjam uang dari bank, tetapi jumlah yang
merasa tertolong oleh sistem bunga yang diperlakukan oleh bank-bank
konvensional itu jauh lebih banyak dari pada mereka yang dirugikan. Maka analog
dengan hukumnya minum-minuman keras, sistem bunga
dalam bank konvensional itu tidak haram.[8]
Dalam literatur ulama fiqh klasik tidak
dijumpai pembahasan yang mengkaitkan antara riba dan bunga perbankan.
Sebab lembaga perbankan seperti yang berkembang sekarang ini tidak dijumpai
dalam zaman mereka. Bahasan bunga bank apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan
dalam berbagai literatur fiqh kontemporer.[]
Rujukan:
[1]
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997, Hlm. 14
[2]
Modal (capital) adalah istilah untuk menyatakan sisa hak atas harta didalam perusahaan
perusahaan setelah dikurangi dengan seluruh utang perusahaan. Dan modal itu ada
tiga yaitu modal sendiri, modal sumbangan, modal penilaian kembali. Sri
Purwaningsih, SE, Poniman, SE, Akuntansi
pengantar I untuk Sekretaris, Semarang:
Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang, 1999, Hlm.21-22
[3]
Drs. Syahirin Harahap, Bunga
Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1993, Hlm. 18
[4]
Ibid, Hlm. 19
[5]
Ensiklopedi-Oxford Dunia Dalam Islam, Eva Y.N., Femmy S., Jarot
W., Poerwanto, Rofik S., Diterjemahkan dari The
Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Bandung: Mizan, Jilid 6, 2001, Hlm. 313. Lihat juga dalam Reportase,
“Agama-agama Menolak Riba”, dalam Modal No. 14/II-Desember 2003
[6]
Menurut Ibn Khaldun, harga merupakan nilai atau patokan suatu
barang yang mendatangkan suatu keuntungan dari berbagai bidang, lihat Ibn
Khaldun, Muqadimah, Terj. Ahmadie Thoha, Muqoddimah
Ibnu Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, Hlm. 473
[7]
Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, Jilid III,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, cet. II, 2002, Hlm. 76
[8]
Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, op. cit, Hlm.
65