STANDAR TERTINGGI KEWAJIBAN SUAMI
Friday, 22 January 2016
Sudut Hukum | STANDAR TERTINGGI KEWAJIBAN SUAMI
Selain
kewajiban-kewajiban istri (LIHAT: Kewajiban Isteri Terhadap Suami), Islam juga
menggariskan kewajiban-kewajiban suami agar satu sama lain tidak saling
merugikan ataupun melalaikan hak muslim (pasutri) yang lain. Namun pada
tabiatnya laki laki lebih kuat dari perempuan sehingga sangat rawan terjadi
kedholiman atau penganiyaan dari pihak suami, apalagi kodrat laki-laki sebagai
suami banyak dilebihkan didalam islam. untuk itu perlu keteladanan islam dalam
rumah tangga sehingga seorang suami mampu manimbang layakkah dia disebut suami
ataukan disebut seorang penganiaya. Seberapa mampu manunaikan peranya sebagai
suami, yang legal mendapat hak-haknya sebagai suami. Untuk itu beberapa standar
yang dianjurkan Al quran dan Sunah nabi adalah standar tinggi bagi para suami.
Sehingga layak menerima hak-haknya.
Pertama Menimbang
hubungan atau pergaulan dengan istri dalam seluruh perkara dan keadaan sama
dengan untuk dirinya. Ini sesuai dengan H.R Ibnu Jarir(no 2/453). Berkata Ibnu
abbas:” sesungguhnya aku menimbang untuk istriku sebagaimana aku menimbang
untuk diriku.” Sehingga apapun yang akan ia perbuat untuk istrinya dari
perintah, nafkah, keinginan dan lain sebagainya akan selalu dipikir ulang
seandainya itu diperuntukkan pada diri suami, tentang bagaimana jika istri
memerintah dirinya, cukupkah nahkah yang diberikan, atau keinginan-keinginan
lain jika ia peruntukkan untuk dirinya (Suami).
Kedua asumsi bahwa
nafkah batin hanya sekedar hubungan intim adalah salah. Maka setelah mencukupi
kebutuhan lahir dan berhubungan badan dimalam hari berarti telah menunaikan
kewajiban seorang suami adalah salah. Dari atsar yang diriwayatkan Abdurrahman
bin auf: “telah datang para perempuan
mengadukan keadaan suami mereka kepada Amiril mukminin Umar bin Khotob. Maka
umarpun menayakan kepada para suami mereka : apakah kalian menunaikan
kewajibanmu sebulan sekali, mereka menjawab lebih dari itu, umar berkata :
berapa kali. Mereka menjawab : setiap kali sucinya sekali sehari. Lalu berkata
umar: pulanglah karena itu tidak cukup bagi para perempuan”. atsar ini
berderajat dhaif disisi sebagaian ahlu hadits. Dari atsar ini kita ketahui
bahwa mengumpuli istri setiap malam belum cukup unutk menunaikan kewajiban
suami tentunya nafkah batinya. Karena kebutuhan batin atau jiwa sangatlah
banyak seperti: kenyamanan, bimbingan, motifasi, tempat bersandar/curhat dan
lain sebagainya. Ini juga kebutuhan yang harus ditunaikan oleh setiap suami.
Maka bagi para suami jangan merasa telah menunaikan kewajibanya setelah mencukupi
makan minum istri, pakaian, rumah kendaraan atau perhiasan kemudian jima.
Karena kewajiban lain
seperti rasa aman, perlindungan, tempat curahan jiwa, perhatian, kasih saying
dan lain sebagainya juga kebutuhan yang harus dipenuhi. Ketiga. Bahwa kewajiban
yang ditunaikan seorang suami semata mata hanyalah untuk mendapat pahala dan
ridho alloh SWT. Bukan balas jasa istri . karena memang hal ini adalah perintah
Alloh. Alloh SWT berfirman :” dan pergaulilah istri istrimu secara patut”.Q.S.
An-Nisa:9.
Demikian pula ketika
Rosululloh SAW menikahi istri istrinya selain karena wahyu dari Alloh untuk
menikahi mereka, beliau menihakinya karena ingin memulyakan perempuan tersebut
dan anak anaknya (Siroh Rosululloh karya Dr Akrom Dhiyail Umar).
Maka jika segala amal
kita hanya berharap ridho Alloh termasuk dalam menunaikan kewajiban kepada
pasangan maka seburuk apapun balasan istri kepada suami, seorang suami hanya
tawakal kepada Alloh. Hal ini juga yang terjadi pada kehidupan nabi Nuh dan
nabi Luth ( Qs. At tahrim : 10).
Masih banyak
kewajiban kewajiban suami lainya yang tidak ditunaikan untuk istrinya. Bahkan
malah istrilah yang melakukan kewajiban tersebut seperti mencari nafkah, pendidikan
agama pada anak, dan kegiatan atau urusan-urusan diluar rumah. Bahkan kegiatan kegiatan
seperti memasak, mencuci, dan mendidik anak, tidak ada perintah dari Al-Hadits atau
Al-Quran harus kaum perempuan/ istri yang melakukanya bahkan menurut H.R. abu daud
(no 2142) disebutkan “ memberinya makan jika kamu makan, memberinya pakaian
jika kalian memakainya”. Maka menyiapkan makanan dan pakaian adalah tanggung
jawab suami.sehingga seorang istri mau memasak atau tidak dia berhak menuntut
makanan pada suaminya. Begitu pula mencuci, sang istri mau mencuci atau tidak
sang suami harus menyediakan pakaianya. Demikian juga tanggung jawab agama pada
anak dan keluarga adalah tanggung jawab suami sebagaimana QS. At tahrim :6.
Oleh karena itu bagi
pasutri hendaklah mengoreksi diri masing masing. Bahwa kewajiban-kewajiban yang
selama ini di lakukan masih jauh dari yang semestinya harus dilakukan. Seperti
seorang musafir yang kehausan diperjalanan akan tetapi hanya ada uang lima
ratus rupiah apakah dia akan meminta satu gelas es, ataukah sebotol teh manis,
ataukah secangkir sirup/jus, padahal uangnya hanya cukup untuk segelas air
mineral putih. Begitu pula suami atau istri hanya dengan kewajiban senilai uang
lima ratus rupiah akankah akan menuntut hak yang melebihi segelas air mineral
putih. Maka mudah-mudahan tidak lagi mengedepankan hak masing masing. [*Khoirul
Ahyar