Dasar Hukum Perbuatan Nusyuz
Saturday, 19 March 2016
Sudut Hukum | Dalam kehidupan rumah tangga, tidak
selalu terjadi keharmonisan, meskipun jauh dari sebelumnya, sewaktu
melaksanakan perkawinan dikhutbahkan agar suami-isteri bisa saling menjaga
untuk dapat terciptanya kehidupan yang mawaddah warahmah diantara mereka. Akan
tetapi, dalam kenyataanya konflik dan kesalah-pahaman diantara mereka kerap
kali terjadi sehingga melunturkan semua yang diharapkan.
Timbulnya konflik dalam rumah tangga
tersebut pada akhirnya kerap kali mengarah pada apa yang disebut dalam fiqh
dengan istilah nusyūz. Hal ini dapat ditemukan dalam Ayat al-Qur'an:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. An-Nisa: 34)
Ayat di atas sering kali dikutip dan
digunakan sebagai landasan tentang nusyūznya isteri terhadap suami, meskipun
secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya nusyūz isteri
tersebut melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaiannya saja yang
ditawarkan. Atau dapat juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan hukum
yang terdapat dalam Ayat tersebut yaitu:
- Kepemimpinan rumah tangga
- Hak dan kewajiban suami-isteri
- Solusi tentang nusyūz yang dilakukan oleh isteri
(Baca juga: Pengertian Nusyuz)
Terdapat Ayat lain juga yang biasa
dikutip ketika membicarakan persoalan nusyūz yaitu:
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. (Q.S. An-Nisa: 128)
Ayat di atas sering dikutip sebagai dasar
tentang nusyūz-nya suami, walaupun pada realitanya maupun dalam
literatur-literatur kajian fiqh persoalan tentang nusyūz-nya suami kurang
mendapat perhatian dan jarang menjadi obyek kajian secara khusus.
(Baca Juga: Bantuk-bentuk perbuatan Nusyuz)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan
mengenai persoalan nusyūz dipersempit hanya pada nusyūznya isteri saja serta
akibat hukum yang ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyūz
KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi isteri, yaitu bahwa
dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti
lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum
Islam. Dan isteri dianggap nusyūz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam masalah
menentukan ada atau tidak adanya nusyūz isteri tersebut menurut KHI harus di
dasarkan atas bukti yang sah.