Asas Hukum Progresif
Friday, 8 April 2016
SUDUT HUKUM | Menurut Satjipto Rahardjo pembahasan mengenai
asas hokum adalah membicarakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum,
dan tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa asas hokum merupakan jantung
dari peraturan hukum. Hal ini dikarenakan asas hukum adalah landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa setiap
peraturan hukum selalu bias dikembalikan kepada asas-asas tersebut.[1]
Menurut Paton -sebagaimana dikutip oleh
Satjipto Rahardjo asas hukum adalah sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh
dan berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan
dari peraturan-peraturan belaka.[2] Hukum
memiliki titik pandang dan akan bertolak dari situ pula.
Dalam hukum titik pandang itu terdapat pada
asas hukum. Asas hokum bukanlah peraturan seperti pasal-pasal Undang-undang,
namun sebagaimana dikatakan Scholten, hukum tidak dapat dipahami dengan baik
tanpa asas-asas.
Asas hukum menjadikan hukum lebih dari sekedar
peraturan yang dibuat dengan sengaja dan rasional, tetapi juga suatu dokumen moraletis.
Asas hukum memang tidak tampil sebagai aturan (rule) yang konkrit,
tetapi lebih sebagai kaidah (norm) di belakang peraturan. Aturan itu
rasional, sedangkan kaidah memiliki kandungan moral dan bersifat etis. Asas
hukum menjelaskan dan memberi ratio legis mengapa harus ada aturan. Ia
menjadi penghubung antara peraturan hukum dan cita-cita sosial serta pandangan
etis masyarakatnya.[3]
Hukum progresif melihat dunia dan hukum dengan
pandangan yang mengalir saja, seperti “panta rei” (semua mengalir) dari
filsuf Heraklitos. Apabila orang berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia
akan membangun suatu cara berhukum yang memiliki karakteristiknya sendiri,
sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.[4]
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah
bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik, atau keyakinan dasar ini tidak
melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah
yang berada di titik pusat peraturan hukum.
(Baca juga: Pengertian Hukum Progresif)
(Baca juga: Pengertian Hukum Progresif)
Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai
pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita
berpegangan pada keyakinan, bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu
akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam
skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.[5]
Kedua, hukum progresif menolak untuk
mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum.[6] Mempertahankan
status quo memberi efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum
adalah tolok ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum
yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik.
Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa
berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu.[7]
Ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan
terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan
masalah kedalam perundang-undangan. Substansi undang-undang itu berangkat dari
gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau
badan legislatif. Dalam lembaga inilah
suatu gagasan itu kemudian dirumuskan dalam kata serta kalimat dan akhirnya
menjadi undang-undang.[8]
Namun, menurut Satjipto Rahardjo, pengalaman di
lapangan menunjukkan betapa kompleksnya masalah dan bekerjanya hukum. Hukum
tidak selalu sejelas, segampang, dan sesederhana seperti dibayangkan orang, kendati dikatakan, hukumnya
sudah jelas. Hukum adalah dokumen yang terbuka untuk atau mengundang
penafsiran. Undang-undang yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat mungkin
akan ditidurkan atau dikesampingkan.[9]
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang
mungkin agak ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para
penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan
hukum yang harus dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat
peraturan yang sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu
sebetulnya badan tersebut telah menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak
hukum dalam menerapkan peraturan tersebut.
Hal ini, misalnya dapat terjadi karena
peraturan tersebut memerintahkan dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh
sarana yang mencukupi. Akibatnya, tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan
oleh penegak hukum.[10] Hal
ini dapat juga terjadi bahwa pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang
mewajibkan rakyat untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman
tertentu.
(Baca juga: Hukum Progresif dan Teori Hukum Responsif)
(Baca juga: Hukum Progresif dan Teori Hukum Responsif)
Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata
mendapatkan perlawanan dari rakyat. Berhadapan dengan situasi tersebut, apa
yang akan dilakukan oleh penegak hukum tergantung dari tanggapan yang diberikan
terhadap tantangan pada waktu itu. Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah yang
terkandung dalam peraturan.
Bertindak demikian berarti penegak hukum harus
menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak hokum
menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti penegak hokum mengendorkan
penerapan dari peraturan tersebut.[11]
Uraian di atas menegaskan, bahwa membaca
undang-undang bukan sekedar mengeja kalimat dalam undang-undang, melainkan memberi
makna kepada teks tertulis itu. Oleh sebab itu, kepastian hokum adalah hal yang
tidak sederhana, karena teks undang-undang yang secara eksplisit mengatakan tidak boleh ditambah dan
dikurangi pun, masih saja bisa diberi makna lain. Penerapan hukum yang meniru
cara kerja mesin, tidak memedulikan resiko-resiko yang muncul dari peraturan
yang buruk itu.
Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum
tertulis akan memunculkan sekalian akibat dan resiko sebagaimana dikemukakan di
atas, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana
mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hokum tertulis tersebut. Secara
ekstrem kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada
hukum, yang tertulis itu.
Menyerah bulat-bulat seperti itu adalah sama
dengan membiarkan diri kita diatur oleh teks formal tertulis yang belum tentu
benar-benar berisi gagasan asli yang ingin dituangkan ke dalam teks tersebut
dan yang memiliki resiko bersifat kriminogen.[12]
Oleh karena itu menurut Satjipto Rahardjo cara
berhukum yang lebih baik dan sehat, dalam keadaan seperti itu adalah memberikan
peluang untuk melakukan pembebasan dari hukum formal.[13]
Karakteristik yang kuat dari hukum progresif
adalah wataknya sebagai hukum yang membebaskan. Dengan watak pembebasan itu, hukum
progresif sangat peka terhadap perubahan dan ide perubahan serta berkeinginan
kuat untuk menjadikan hukum agar bersifat protagonis. Untuk menunjang pemikiran
hukum progresif, diperlukan semangat pembebasan untuk melihat kekurangan dan
kegagalan hokum dalam fungsinya untuk memberikan perlindungan dan pelayanan
kepada masyarakat.
Keempat, hukum progresif memberikan perhatian
besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan diametral
dengan paham bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia di sini
merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak
berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Di atas sudah
diuraikan betapa besar risiko yang dihadapi apabila kita menyerah sepenuhnya
kepada peraturan.
Cara berhukum melalui teks tidak selalu
menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan yang dikehendaki teks. Ironisnya
tidak jarang teks hukum berubah fungsi, yaitu dari menghendaki orang untuk mematuhinya
menjadi suatu panduan untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dengan selamat.
Sebelum seorang koruptor melakukan korupsi, ia terlebih dahulu dapat
mempelajari dengan cermat seluk-beluk undang-undang tentang korupsi, sehingga
ia dapat menemukan celah hukum untuk meloloskan diri. Ini termasuk varian
mengenai cara berhukum melalui teks, yaitu secara sadar melakukan penyimpangan terhadap
teks hukum atau menyelundupi undang-undang.[14]
Menurut Satjipto Rahardjo,[15] perilaku
manusia didorong oleh kepentingan, dan kepentingan itu berbeda-beda bagi setiap
orang, sehingga kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan. Dengan demikian menjalankan
hukum adalah suatu pilihan, bukan pekerjaan otomatis.
Hukum yang canggih sekalipun tidak dapat
mengontrol penggunaan hukum menurut kemauan yang melakukannya. Maka hukum yang dijalankan
pun tergantung dari sudut masuknya suatu kepentingan. Orang yang berperilaku
baik akan menjadikan hukum bekerja dengan baik pula, begitu pula sebaliknya, hukum akan menjadi alat
untuk melakukan kejahatan jika dijalankan oleh orang yang berperilaku jahat.
Perilaku manusia yang memiliki sifat-sifat
alami dan fitri itulah yang menjadi landasan kuat bagi keberlangsungan
kehidupan bersama manusia. Sesungguhnya sifat-sifat itu tidak hanya menjadi
landasan hukum, melainkan jugan institut lain, seperti ekonomi dan politik. Strukturisasi
keduanya tidak menghilangkan perilaku baku manusia. Dalam bernegara hukum dan
berhukum, pada akhirnya masyarakat akan kembali bersandar pada perilaku mereka.
Perilaku tersebut tersimpulkan dalam cara hidup kita seharihari. Menjalani
kehidupan dengan baik adalah landasan fundamental dari hukum.
[1] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op.cit, hlm. 45.
[2] Ibid.
[3] Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006, hlm. 124-129.
[4] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Penertbit Buku Kompas, 2008, hlm. 139.
[5] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007, hlm.11-12.
[6] Satjipto
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet ketiga, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm.114.
[7] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, op.cit, hlm. 139.
[8] Ibid, hlm. 140.
[9] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, op.cit, hlm. 96.
[10] Ibid.
[11] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Pubishing, 2009, hlm. 25.
[12] Ibid
[13] Ibid.
[14] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009, hlm.71.
[15] Ibid, hlm. 160.