Ekonomi Islam di Indonesia
Sunday, 24 April 2016
SUDUT HUKUM | Sistem Keuangan
Indonesia pada prinsipnya dibagi menjadi dua jenis yaitu sistem perbankan dan
sistem lembaga keuangan bukan bank. Lembaga Keuangan Bank (LKB) adalah keuangan
berdasarkan peraturan perundangan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan (depository financial institution) dan menyalurkannya
dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dan memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran, misalnya: Bank Umum dan BPR. Lembaga Keuangan
Bukan Bank (LKBB) adalah lembaga keuangan yang kegiatan usahanya tidak
menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan,
misalnya: dana pensiun, asuransi, modal ventura dan pegadaian.
Dalam
perjalanannya, undang-undang sistem perbankan Indonesia mengalami perubahan
yang semula tertangal 27 Oktober 1988 berubah sejak tahun 1992, yaitu:
- UU No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
- UU No 2 Tahun 1992 Tentang Asuransi
- UU No 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun
- UU No 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal
- UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan UU No 7 Tahun 92 Tentang Perbankan
- UU No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
Di Indonesia,
Lembaga Keuangan Syariah sendiri bermula dari pendirian Koperasi Ridha Gusti di
Jakarta dan Baitut Tamwil-Salman di Bandung pada tahun 1980-an. Sementara
Perbankan Islam yang pertama adalah Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada
tahun 1992.
Selanjutnya
perkembangan ini mengalami perlambatan, namun semenjak dikeluarkannya peraturan
Bank Indonesia yang membolehkan perbankan konvensional memiliki unit syariah,
terjadi akselerasi pertumbuhan perbankan syariah yang signifikan. Dengan
memanfaatkan infrastrukturnya sendiri, termasuk karyawan dan kantor cabangnya.
Perkembangan
perbankan syariah terus menunjukan kecenderungan yang menggembirakan, sampai
dengan bulan April 1998 jumlah perbankan syariah telah mencapai 3 BUS (Bank
Unit Syariah), 28 UUS (Unit Usaha Syariah) dan 118 BPRS (Bank Perkreditan
Rakyat Syariah), dengan 730 kantor dan lebih dari 1250 office channeling yang
terbesar di seluruh wilayah Indonesia. Produk dan jasa yang ditawarkan pun
sangat beragam, sehingga share perbankan syariah sudah mencapai 1,97%. Share
perbankan syariah diharapkan akan terus meningkat dan dapat mencapai target
5% pada akhir tahun 2011.
Terlepas dari
perkembangan perbankan syariah yang cukup menggembirakan dalam dua tahun
terakhir ini pertumbuhan perbankan syariah mengalami perlambatan. Terdapat
banyak factor yang mempengaruhi antara lain adalah faktor kompetisi dengan
perbankan konvensional. Hal ini tidak terlepas dari sistem perbankan yang
dianut, yaitu dual banking sistem, sehingga nasabah masih dapat melakukan
pilihan antara bank konvensional dengan bank syariah.[1]
Lembaga keuangan
pada dasarnya mencapai peran yang sangat strategis dalam mengembangkan perekonomian
suatu bangsa. Oleh karena itu, jika dilihat dari praktek perkonomian suatu
negara, lembaga keuangan
senantiasa ikut berperan aktif. Tumbuhnya perkembangan lembaga keuangan secara
baik dan sehat akan mampu mendorong perkembangan ekonomi bangsa. Sebaliknya,
kalau lembaga keuangan
suatu bangsa mengalami krisis, dapat diartikan bahwa perekonomian suatu bangsa
tersebut sedang mengalami keterpurukuan (collapse).
Dalam khasanah
teoritis dikenal, dua kategori lembaga keuangan, yakni lembaga keuangan bank
dan lembaga keuangan non bank. Pengkategorian ini lakukan karena adanya
persamaan dan perbedaan karakteristik. Letak persamaan kedua lembaga keuangan
ini adalah keduanya sama-sama menjalankan fungsi sebagai pengelola dana yang
yang dihimpun dari masyarakat.[2]
Didirikannya
bank syariah dilatarbelakangi oleh keinginan umat manusia untuk menghindari
riba dalam kegiatan muamalahnya, memperoleh kesejahteraan lahir batin melalui
kegiatan muamalah yang sesuai
dengan perintah agamanya, yaitu bank yang berusaha sebisa mungkin untuk
beroperasi berlandaskan kepada hukum-hukum Islam.
Indonesia sebaga
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam terbesar di dunia juga telah
merasakan kebutuhan akan adanya bank yang diharapkan dapat memberiakan
kemudahankemudahan dan jasa-jasa perbankan kepada semua umat Islam dan penduduk
di Indonesia yang beroperasi tanpa riba.[3]
Hukum (agama)
Islam dalam kedudukannya sebagai salah satu sumber Hukum Nasional merupakan
faktor kemasyarakatan yang dapat membentuk hukum. Faktor inilah yang jika
digabungkan dengan faktor-faktor
ideal dapat dijadikan sebagai bahan bagi
pembentuk undang-undang untuk membentuk peraturan-peraturan hukum. Sebaliknya,
hukum akanmenghadapi bahaya kehancuran jika hukum hanya mengandung nilai-nilai
teoritis saja tetapi tidak sesuai dengan keyakinan agama dan tata susila yang
dianut oleh masyarakat.[4]
Topik
pengembangan nilai-nilai Islam adalah dalam kehidupan muamalah masyarakat
Muslim adalah topik besar, dan kalau dibicarakan secara keseluruhan, tentu akan
memerlukan waktu yang relatif panjang,
serta komprehensifitas kompetensi. Walaupun sesungguhnya, banyak kaitan dan
sekaligus qias / analog dapat dibangun dalam lintas bidang kajian
(hukum, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya).
Setelah
berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang beroperasi mulai 1 Mei 1992
timbul peluang untuk mendirikan bankbank yang berprinsip syari’ah. Operasional
BMI yang kurang menjangkau unit usaha mikro, kecil dan menengah, maka muncul
usaha untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti BPR Syari’ah
dan BMT yang bertujuan untuk mengatasi permodalan usaha mikro, kecil dan
menengah berdasarkan syari’at Islam.
Disamping itu di
tengah-tengah kehidupan masyarakat yang serba kecukupan muncul kekhawatiran
akan timbulnya pengikisan akidah. Pengikisan akidah tersebut bukan hanya
dipengaruhi dari aspek syiar Islam tetapi juga dipengaruhi oleh lemahnya
ekonomi masyarakat, sehingga keberadaan Lembaga Keuangan Syariah diharapkan
mampu mengatasi permasalahan ini melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
ekonomi masyarakat.
Di lain pihak,
beberapa masyarakat harus menghadapi rentenir atau lintah darat. Maraknya
rentenir di tengah-tengah masyarakat mengakibatkan masyarakat semakin
terjerumus pada masalah ekonomi yang tidak menentu. Besarnya pengaruh rentenir
terhadap perekonomian masyarakat tidak lain karena tidak adanya unsur-unsur
yang cukup akomodatif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat. Oleh karena itu, Lembaga Keuangan Syariah diharapkan mampu berperan
lebih aktif dalam memperbaiki kondisi ini.
Kehadiran
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) diharapkan mampu menjadi lembaga solidaritas
sekaligus lembaga ekonomi bagi rakyat kecil untuk bersaing di pasar bebas. LKS
berupaya mengkombinasikan unsur-unsur iman, taqwa, uang, materi secara optimum
sehingga diperoleh hasil yang efisien dan produktif dan dengan demikian
membantu para anggotanya untuk dapat bersaing
secara efektif.
[1] Nurul Huda,
Mustafa Edwin Nasution, Current Issue Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:
Kencana 2009, hlm. 2.
[2]
Budi Agus
Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Jakarta:PT. RajaGrafindo
Persada, 2005, hlm. 5.
[3]
Edy Wibowo,
Untung Hendy, Mengapa Memilih Bank Syariah?,Jakarta: Ghalia Indonesia,
2005, hlm. 10.
[4] Dedi Sumardi, Sumber-Sumber
Hukum Positif, Cet.III, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 9.