Hukum Asuransi Menurut Ulama
Saturday, 2 April 2016
SUDUT HUKUM | Perjanjian asuransi adalah hal baru yang belum
pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat serta tabi'in.[1] meskipun
demikian, asuransi merupakan kebutuhan masyarakat modern dewasa ini, dalam kehidupan
mereka terdapat keinginan untuk meng-asuransikan segala yang dimiliki untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.[2]
Berikut adalah pendapat ulama tentang asuransi,
yaitu:
a. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini; termasuk asuransi jiwa.
- asuransi pada hakikatnya sama dengan judi;
- mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti;
- mengandung unsur riba/rente;
- mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan;
- premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan),
- asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak dengan uang tunai;
- hidup dan matinya manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa.[3]
Selain tiga ulama tadi, Sayyid Sabiq juga
mengharamkan adanya asuransi yang diungkap dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah.
Beliau menggaris bawahi bahwa asuransi tidak dapat dimasukkan sebagai mudharabah
yang shahih tetapi termasuk mudharabah yang rusak.[4]
Kelompok ini memandang perusahaan asuransi itu
tidak dapat dikatakan memberi sumbangan kepada pihak tertanggung (nasabah)
dengan apa yang diharuskannya, karena karakter asuransi menurut undang-undang
adalah termasuk akad pembayaran yang tidak menentu (untung-untungan). Jika
penyetoran premi nasabah kepada perusahaan asuransi itu dianggap sebagai
pinjaman yang akan dibayarkan kembali berikut keuntungannya saat nasabah hidup,
maka ini berarti pinjaman yang menarik keuntungan.
Sedangkan pengambilan keuntungan ini haram dan
termasuk riba yang dilarang. Selanjutnya muncul pertanyaan apabila nasabah
meninggal dunia sebelum melunasi seluruh premi, atau baru membayar sekali, sedangkan
sisa premi yang belum dibayar masih dalam jumlah yang besar berdasarkan masa
akhir kontrak yang ditentukan jumlahnya, dan apabila maskapai asuransi membayar
dengan sempurna (sesuai dengan kontraknya) kepada ahli waris atau orang yang
telah diberikan wewenang oleh nasabah sesudah matinya, maka dari pendapatan
manakah perusahaan asuransi akan membayar sejumlah uang tersebut? Bukankah ini merupakan
pertaruhan dan spekulasi dan jika bukan spekulasi maka apa kata yang tepat
untuk menyebutnya?
Syari'at tidak memperkenankan memakan harta
manusia dengan jalan yang bathil. Kematian seseorang tidak dapat dijadikan
sebagai sumber memetik keuntungan ahli waris atau penggantinya. Meski pun telah
disepakati oleh nasabah sebelum kematiannya.[5]
b. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa adalah ulama yang membolehkan semua jenis asuransi.
Alasan yang mereka ungkapkan
antara lain sebagai berikut:
- tidak ada nash al-Qur'an maupun nash al-Hadits yang melarang asuransi;
- asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan;
- kedua pihak yang berjanji (asurador dan yang mempertanggungkan) dengan penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggung jawab masing-masing;
- asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak;
- asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya bahwa asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (Profit and Loss Sharing);
- asuransi termasuk Syirkah Ta'awuniyah;
- asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan dan kepribadian.
- dianalogikan atau diqiaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen;
- operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;
Berdasarkan alasan tersebut, asuransi dianggap
membawa manfaat bagi pesertanya dan perusahaan asuransi secara bersamaan. Hal
ini karena pandangan bahwa praktek atau tindakan yang dapat mendatangkan kemaslahatan
orang banyak adalah dibenarkan oleh agama.[6] Asuransi
terhadap kecelakaan, jika asuransinya tergolong kepada asuransi campur (asuransi
yang di dalamnya termasuk penabungan).
Hakikat asuransi campur adalah mencakup dua
premi, yaitu untuk menutup bahaya kematian dan untuk menyiapkan uang yang harus
dibayar jika dia tidak meninggal dunia dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, maka hukumnya dibolehkan oleh agama Islam. Hal ini karena asuransi campur
di dalamnya terdapat dorongan untuk menabung dan penabungan itu untuk
kemaslahatan umum dengan syarat perusahaan asuransi berjanji kepada para
pemegang polis bahwa uang preminya tidak dikerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan
riba.
Hal ini sama dengan hukum penabungan pada pos,
adapun asuransi kecelakaan yang diadakan (dilaksanakan) dengan asuransi biasa,
menurut Fuad Mohamad Fachruddin tidak dibolehkan, karena asuransi ini tidak menuju
ke arah kemaslahatan umum dan kepentingan bersama.[7] Lebih
lanjut Fuad Muhammad Fachruddin mengungkapkan bahwa asuransi sosial, seperti
asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Asuransi yang menuju ke arah kemaslahatan umum dan bersifat sosial dibenarkan
oleh agama Islam karena mengandung kepentingan orang banyak.[8]
c. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu
Zahrah, alasannya membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya
sama dengan alasan pendapat kedua yaitu tidak adanya nash al-Qur'an maupun nash
al-Hadits yang melarang asuransi; sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi
yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama
yaitu hakikatnya sama dengan judi, kemudian asuransi juga dianggap mengandung
unsur yang tidak jelas dan tidak pasti, juga karena asuransi mengandung unsur
riba.[9]
d. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat, Pendapat ini menganggap bahwa tidak ada dalil-dalil Syar'i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya.
Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat,
maka konsekuensinya adalah bahwa umat Islam dituntut untuk berhati-hati (al-ihtiyath)
dalam menghadapi asuransi, umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan
perusahaan asuransi, apabila dalam keadaan darurat."[10]
Dasar-dasar asuransi dalam Islam, di antaranya
dalam al-Qur'an surat al-Ma'idah ayat 2:
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Hal ini sebagaimana ia jelaskan bahwa asuransi
adalah upaya untuk mendapatkan ketenteraman yang menjadi tuntutan naluriah di berbagai
bidang kehidupan sesuai dengan asas maslahah mursalah.
[1]
Ahmad Azhar
Basyir, Refleksi Atas Persoalan Ke-Islaman, Bandung: Mizan Anggota IKAPI,
1994, hlm. 149.
[2]
Abdul Sami'
al-Mishri, Muqawwimat al-Iqtishad al-Islami, Terj. Dimyauddin Djuwaini, "Pilar-Pilar
Ekonomi Islam", Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 11-112.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, Juz III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 264.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm. 265.
[6] Fuad Moh.
Fachruddin, op.cit., hlm. 214.
[7] Ibid
[8] Ibid., hlm. 215.
[9]
Wirdyaningsih
(ed ), op.cit., hlm. 250.
[10] Hendi Suhendi, op.cit.,
hlm. 314.