Syarat Wajib 'iddah
Saturday, 2 April 2016
SUDUT HUKUM | Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa 'iddah adalah masa di mana seorang wanita yang diceraikan suaminya
menunggu.[1] Yang dimaksud dengan syarat wajib di sini adalah syarat-syarat yang
menentukan adanya hokum wajib; bentuk syaratnya adalah alternatif; dalam arti
apabila tidak terdapat salah satu syarat-syarat yang ditentukan, maka tidak ada
hukum wajib, sebaliknya apabila salah satu di antara syarat yang ditentukan
telah terpenuhi, maka hukumnya adalah wajib. Syarat wajib 'iddah ada
dua, yaitu:
(1) Matinya suami. Apabila isteri
bercerai dengan suaminya karena suaminya meninggal dunia, maka perempuan itu
wajib menjalani masa 'iddah, baik dia telah bergaul dengan suaminya itu
atau belum. Dalam hal ini tidak ada beda pendapat di kalangan ulama.[2] Yang menjadi dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surat
al-Baqarah (2) ayat 234:
Artinya: "Orang-orang yang meninggal di antaramu dan meninggalkan isteri hendaknya dia menjalani masa 'iddah selama empat bulan sepuluh hari. Apabila telah sampai waktu yang ditentukan boleh dia berbuat terhadap dirinya dengan cara yang baik. Allah Maha Tahu terhadap apa yang mereka lakukan. (QS. al-Baqarah (2): 234)."
Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan
keharusan isteri yang ditinggal mati suami wajib menjalani masa 'iddah selama
empat bulan sepuluh hari. Meskipun dia belum digauli, tidak berlaku baginya
ketentuan tidak ber- 'iddah sebagaimana yang disebut dalam surat
al-Ahzab (33) ayat 49. Ketentuan ini merupakan kesepakatan ulama.
(2) Isteri sudah bergaul dengan suaminya.
Apabila suami belum bergaul dengan isterinya, maka isteri tersebut tidak
memenuhi syarat untuk dikenai kewajiban ber-'iddah. Ketentuan ini
berdasarkan kepada surat al-Ahzab (33) ayat 49:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman kemudian kamu menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk ber'iddah terhadapmu. (QS. al-Ahzab (33): 49)."
Dalam memahami kata "bergaul"
atau al-massu ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa
bergaul itu maksudnya adalah hubungan kelamin. Apabila terjadi hubungan
kelamin, maka wajib 'iddah. Sedangkan perbuatan lain di luar itu seperti
khalwah tidak mewajibkan 'iddah. Sebagian ulama di antaranya Imam
Ahmad dan al-Syafi'i, ulama ahlu ra'yi (Hanafiyah), berpendapat bahwa apabila
telah terjadi khalwah meskipun tidak sampai hubungan kelamin, telah
wajib 'iddah. Alasan yang dikemukakan golongan ini adalah apa yang
diriwayatkan dari Khalifah yang Berempat bahwa bila sudah ditutup gorden atau
telah ditutup pintu (maksudnya adalah khalwah) telah wajib mahar dan
telah wajib 'iddah.
[1]
Syekh
Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar,
"Fiqih Wanita",
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm. 448.
[2] Amir Syarifuddin, op.cit.,
hlm. 306.