Pengertian Hukum Progresif
Saturday, 2 April 2016
SUDUT HUKUM | Progresif adalah kata yang berasal dari
bahasa asing (Inggris) yang asal katanya adalah progress yang artinya
maju. Progressive adalah kata sifat, jadi sesuatu yang bersifat maju.
Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Pengertian progresif secara
harfiah ialah, favouring new, modern ideas, happening or developing
steadily[1] (menyokong ke arah yang baru, gagasan modern, peristiwa atau perkembangan
yang mantap), atau berhasrat maju, selalu (lebih) maju, meningkat.[2]
Istilah hukum progresif di sini adalah
istilah hukum yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi
dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin
dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam
mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Untuk itu
beliau melontarkan suatu pemecahan masalah dengan gagasan tentang hukum
progresif.
Adapun pengertian hukum progresif itu
sendiri adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori
dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut didasarkan pada
prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu
tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu
untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.[3]
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh
Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan
yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturanperaturan
hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga
diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Secara lebih sederhana beliau mengatakan
bahwa hokum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir
maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja
untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada
rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum
bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.[4]
Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti
kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski
tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang
fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana
menjadi rumit dan dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang
disebutnya sebagai pandangan holistik dalam ilmu (hukum).
Pandangan holistik tersebut memberikan
kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang
saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya
saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata, telinga,
tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh.[5]
Menurut Satjipto tumbangnya era Newton
mengisyaratkan suatu perubahan penting dalam metodologi ilmu dan sebaiknya
hukum juga memperhatikannya dengan cermat. Karena adanya kesamaan antara metode
Newton yang linier, matematis dan deterministic dengan metode hukum yang analytical-positivism
atau rechtdogmatiek yaitu bahwa alam (dalam terminology Newton) atau
hukum dalam terminologi positivistic (Kelsen dan Austin) dilihat sebagai suatu
sistem yang tersusun logis, teratur dan tanpa cacat.[6]
Analogi terkait ilmu fisika dengan teori
Newton saja dapat berubah begitu pula dengan ilmu hukum yang menganut faham positivisme.[7] Sebuah teori terbentuk dari komunitas itu memandang apa yang
disebut hukum, artinya lingkungan yang berubah dan berkembang pastilah akan
perlahan merubah sistem hukum tersebut.
Hukum progresif bermakna hukum yang peduli
terhadap kemanusiaan sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum
progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang
berkeadilan. Konsep hukum progresif adalah hokum tidak ada untuk kepentingannya
sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical
jurisprudence atau rechtsdogmatiek.
Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke
dalam hukum dan membicarakan serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hokum
sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis.
Hukum progresif bersifat responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan
selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.[8]
Kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan
sosialnya, maka hokum progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence
dari Roscoe Pound. Hukum progresif juga
mengundang kritik terhadap system hukum yang liberal, karena hukum Indonesia
pun turut mewarisi system tersebut. Satu moment perubahan yang monumental
terjadi pada saat hukum pra modern menjadi modern. Disebut demikian karena hokum
modern bergeser dari tempatnya sebagai institusi pencari keadilan menjadi
institusi publik yang birokratis. Hukum yang mengikuti kehadiran hukum modern
harus menjalani suatu perombakan total untuk disusun kembali menjadi institusi
yang rasional dan birokratis. Akibatnya hanya peraturan yang dibuat oleh
legislatiflah yang sah yang disebut sebagai hukum.[9]
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa
hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang
berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme
hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri,
kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak
bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.[10]
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka
kriteria hukum progresif adalah:
- Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
- Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
- Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
- Bersifat kritis dan fungsional.
[1] Oxford Learner's Pocket Dictionary (New Edition), Edisi ketiga; Oxford: Oxford University Press, hlm. 342.
[2] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001, hlm. 628.
[3] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007, hlm. 154.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah Press University, 2004, hlm. 17.
[5] Ibid, hlm. 18.
[6] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006, hlm. 260.
[7] Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico, 1992, hlm. 80.
[8] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, op.cit, hlm. 19.
[9] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, op.cit, hlm. 20.
[10] Ibid.