Sejarah Wakaf
Thursday, 9 June 2016
SUDUT HUKUM | Sejarah Wakaf
Wakaf pada masa Rasulullah saw
Dalam sejarah
Islam wakaf dikenal sejak masa Rasulullah saw. Karena wakaf disyariatkan
setelah Nabi saw hijrah ke Madinah, pada tahu kedua hijriyah. Ada dua pendapat
yang berkembang di kalangan fuqaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakan
syariat wakaf. sebagian pendapat menyatakan bahwa yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw, yaitu wakaf tanah milik Nabi untuk
dibangun masjid. Rasulullah saw juga pada tahun ketiga hijrah pernah mewakafkan
tujuh kebon kurma di Madinah.[1]
Pendapat kedua
menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah sahabat
Umar bin al Khathab,yaitu wakaf berupa sebidang tanah di Khaibar, dimana Umar
mensedekahkan hasil pengelolaan tanah tersebut kepada fakir miskin dan orang
lain yang membutuhkan. Selanjutnya syariat wakaf dipraktekkan oleh Abu Thalhah
yang mewakafkan kebun kesayangannya, kemudian juga Abu Bakar dan Ali bin Abi
Thalib yang mewakafkan tanahnya, Muadz bin Jabal mewakafkan runahnya dan oleh
sahabat-sahabat lainnya.[2]
Wakaf Pada Masa Dinasti Islam
Praktek wakaf
menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan Abbasiyah. Banyak orang
berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. Dan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir miskin saja, tetapi juga dijadikan modal untuk membangun
lembaga pendidikan. Antusiasme masyarakat tersebut telah menarik perhatian
negara untuk mengatur pengelolaan wakaf.
Pembentukan
lembaga pengelola wakaf pertama kali dilakukan oleh hakim Mesir, Taubah bin
Ghar al Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik pada masa dinasti
bani Umayah. Beliau mendirikan lembaga wakaf di Basrah dibawah Departemen
Kehakiman. Dengan demikian pengelolaan wakaf menjadi lebih baik dan hasilnya
disalurkan kepada yang membutuhkan. Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat
lembaga wakaf yang disebut dengan “Shadr al Wuquf” yang mengurus
administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.[3]
Pada masa
dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana
hamper semua tanah pertanian menjadi tanah wakaf dan dikelola oleh negara lewat
baitul mal. Ketika Shalahuddin al Ayyubi memerintah di Mesir, ia banyak
mewakafkan lahan milik Negara untuk kegiatan pendidikan. Ia juga menetapkan
kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib
membayar bea cukai, dan hasil dikumpulkan kemudian diwakafkan kepada para
fuqaha dan para keturunannya. Saat itu wakaf telah dijadikan sarana bagi
dinasti Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab
sunni dan mempertahankan kekuasannya.
(Baca juga: Macam-macam Wakaf)
Pada masa
dinasti Mamluk perkembangan wakaf sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga
apapun yang dapat diambil manfaatnya dapat diwakafkan. Tetapi yang paling
banyak diwakafkan kala itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung
perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa ini terdapat wakaf hamba
sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama, seperti untuk
memelihara masjid dan madrasah. Pada masa ini pula mulai disahkannya
undang-undang wakaf pada masa raja Al Dzahir Biber Al Bandaqdari (1260-1277
M/658-676 H).[4]
(Baca juga: Pengertian Nadzir)
Perkembangan
lebih lanjut pada masa dinasti Turki Utsmani dimana kekuasaannya saat itu telah
mencapai sebagian besar wilayah Negara Arab. Pada masa itu disahkan
undang-undang yang mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara
pengelolaan wakaf, serta upaya mencapai tujuan wakaf. kemudian pada tahun 1287
Hijriyah dikeluarkan undangundang yang menjelaskan tentang kedudukan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus
wakaf. Dari imlementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih
banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai sat ini.
[1] Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan
Pengembangan Wakaf (Jakarta, 2003) h. 8-9
[2] Ibid,. h. 10
[3] Ibid,. h. 11
[4]
Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan
dan Pengembangan Wakaf h. 13-14