Kriteria Kafa’ah Menurut Imam Alauddin al Kasani
Sunday, 31 July 2016
SUDUT HUKUM | Dalam kitab Badai’ as Shanai’ fi
Tartib as Syar’i juz III, disebutkan bahwa kriteria kafa’ah menurut
Alauddin al Kasani ada lima macam, diantaranya adalah sebagai berikut :
- Nasab
- Kemerdekaan
- Harta
- Agama
- Pekerjaan
Dari keterangan di atas, dapat
diketahui bahwa kriteria kafa’ah dalam memilih jodoh yang baik menurut
Alauddin al Kasani harus memenuhi setidaknya lima kriteria. Kelima
kriteria tersebut adalah: pertama nasab (keturunan), kedua al kuryah (merdeka),
ketiga al mal (harta), keempat ad din (agama) dan kelima al kirfah (pekerjaan).
Kriteria tersebut harus diperhatikan ketika seseorang akan menikah dan
menjadi rujukan ketika akan memilih pasangan hidupnya. Adapun
penjelasan seseorang yang disebut dalam kafa’ahN adalah diperuntukkan bagi wanita
tidak untuk pria, yang mana artinya kafa’ah diperuntukan bagi pria untuk
menikahi wanita.
Dari kelima kriteria tersebut,
dapat diuraikan sebagai berikut :
Segi Nasab
Hal-hal yang terkandung di dalam kafa’ah
itu beberapa macam, salah satunya adalah masalah nasab.
Yang dimaksud di sini adalah keturunan dan perbedaan bangsa. Tentang bangsa
Arab dianggap tidak kafa’ah dengan bangsa lain (non Arab).
Dalam
unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama golongan Ajam, kedua
golongan Arab. Adapun golongan Arab terbagi menjadi dua suku yaitu
suku Quraisy dan selain Quraisy.
Keturunan orang Arab adalah kafa’ah
antara satu dengan lainnya. Begitu halnya dengan orang
Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan orang Arab tidak sekufu’ dengan
orang Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak kafa’ah
dengan atau bagi orang Quraisy, alasannya adalah Rasulullah SAW:
Orang Quraisy sebagiannya sederajat dengan yang lain, orang Arab sebagaiannya sederajat dengan sebagian yang lain, kelompok yang satu kafa'ah dengan yang lainnya dan Kabilah dengan Kabilah, Almawali sebagiannya sederajat dengan yang lain (laki-laki yang satu dengan lainnya)”.
Karena sesunggguhnya kemuliaan
dan kehinaan termasuk dalam pembagian nasab, maka kekurangan
disamakan dengan rendahnya nasab.
Orang Syam tidak sama dengan
orang Quraisy seperti orang Tayami, Amawi, Adawi dan yang lainnya semuanya
itu sederajat dengan Bani Hasyim, dengan alasan perkataannya Nabi orang
Quraisy sebagiannya sederajat dengan yang lain.
Yang mana orang Quraisy
memuat Bani Hasyim, dan orang Arab sebagiannya sederajat dengan yang
lain dengan adanya ketentuan bahwa orang Arab tidak sederajat dengan
orang Quraisy karena orang Quraisy lebih utama dari pada orang Arab, oleh
karena itu yang menjadi pemimpin lebih dikhususkan dari orang Quraisy.
Dengan ditatapkan nasab sebagai
kriteria kafa’ah, maka orang Ajam dianggap tidak kafa’ah dengan
orang Arab baik dari suku Quraisy maupun suku selain Quraisy. Orang Arab
yang tidak berasal dari dari suku Quraisy dipandang tidak kafa’ah dengan
orang Arab dengan orang Arab yang berasal dari suku Quraisy.
Selain itu,
untuk orang Arab yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthaib
hanya dapat kafa’ah dengan seorang yang berasal dari keturunan yang sama.
Kemudian yang menunjukkan bahwa
sesungguhnya kafa’ah pada kaum Quraisy itu tidak tertentu
pada keturunannya, hal tersebut mengecualikan Muhammad, maka
orang Quraisy tidak bisa sederajat dengan Muhammad dengan alasan orang
Quraisy tersebut tidak termasuk Bani Hasyim dan Almawaly tidak
sederajat dibandingkan orang Arab sebab orang Arab lebih utama dibanding orang
Ajam. Sedangkan Almawaly sebagian sederajat dengan sebagian yang
lain dengan adanya nas, Mawali Arab sederajat dengan Mawali Quraisy.
Kemudian keunggulan orang Ajam
disebabkan ke-Islaman-nya bukan karena nasabnya. Dikatakan:
Apabila ada dalam satu tempat yang masa Islam-nya sudah lama dengan satu
tempat yang masa Islam-nya masih baru yang keduanya tidak diketahui
cacatnya dan kekurangannya maka sebagian tersebut sederajat dengan
sebagian yang lainnya, sebab kekurangan atau kecacatan tersebut apabila tidak
di perbolehkan maka keburukan atau kejelekan tidak sama dengan
kekurangan kalau hal tersebut terjadi maka tidak akan ada dhoror (bahaya).
Segi Kemerdekaan
Kemerdekaan juga dihubungkan
dengan keadaan orang tuanya, sehingga seorang anak yang hanya
bapaknya yang merdeka, tidak kafa’ah dengan orang yang kedua orang
tuanya merdeka. Begitu pula seorang lakilaki yang neneknya pernah menjadi
budak, tidak sederajat dengan perempuan yang neneknya tidak pernah
menjadi budak, sebab perempuan merdeka jika dikawinkan dengan laki-laki budak
dipandang tercela. Sama halnya jika dikawinkan dengan laki-laki yang
salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
Syarat yang kedua adalah harus
merdeka karena menjadi budak merupakan kehinaan dan kejelekan
dalam nasab, maka seorang budak mudabbar16 dan mukatab17 tidak sederajat
dengan wanita yang merdeka dan wanita yang dimerdekakan oleh
seorang juragan itu tidak sederajat dengan wanita yang merdeka sejak lahir,
sebab keutamaan itu adalah merdeka sejak lahir dan kerendahan pada wanita
yang merdeka itu tidak sederajat dengan laki-laki yang mempunyai orang
tua dan nenek moyangnya merdeka.
Sedangkan seseorang yang kedua
orang tuanya merdeka, tidak sederajat dengan seseorang yang mempunyai
orang tua dan nenek moyang merdeka, sebab asal suatu ukuran seorang
bapak yang merdeka harus mempunyai seorang kakek yang merdeka juga
sehingga seorang laki-laki Arab tidak sederajat dengan seorang wanita
Bani Hasyim kecuali seorang wanita Bani Hasyim mau menikah dengan seorang
lelaki Arab sebab sesungguhnya wali sama derajatnya dengan nasab.
Rasulullah SAW bersabda: “Derajatnya wali sama
dengan derajatnya nasab”.
Segi Harta
Golongan Hanafi menganggap bahwa
harta (kekayaan) menjadi ukuran kafa’ah. Dan ukuran
kekayaan di sini yaitu kemampuan seseorang untuk membayar mahar dan memenuhi
nafkah.
Syarat yang ketiga adalah harta
benda. Orang yang fakir tidak sederajat dengan orang yang kaya,
sebab keunggulan dengan harta itu lebih baik daripada keunggulan dengan
selain harta. Hal ini menurut kebiasaan khususnya pada zaman sekarang
ini. Sebab suatu pernikahan ada hubungannya dengan mahar dan
nafkah yang mana hubungan tersebut sangat erat, karena suatu pernikahan
tidak akan menjadi sah tanpa adanya mahar dan nafkah yang lazim.
Tetapi hal
tersebut tidak ada hubungannya dengan pembahasan nasab dan
merdeka.sehingga apabila seorang suami yang mampu untuk memberi mahar dan nafkah,
maka suami tersebut bisa dikatakan sederajat dengan istrinya
walaupun harta yang dimiliki seorang suami tidak seimbang.
Dijelaskan bahwa kesamaan antara
suami dan istri dalam kekayaan merupakan suatu syarat mutlaq kafa’ah,
hal ini merupakan pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Muhammad,
tetapi Imam Abu Hanifah tidak sependapat, sebab keunggulan
biasanya dilihat dari sigi kekayaan dan ucapan yang benar adalah pendapat yang
pertama dengan alasan kekayaan tidak bisa ditetapkan sebab sesungguhnya
harta adakalanya datang dan pergi maka hal tersebut tidak bisa disamakan
dalam kekayaan.
Seseorang laki-laki yang tidak
mempunyai mahar maupun nafkah berarti laki-laki tersebut tidak
bisa dikatakan sederajat, dengan alasan mahar merupakan kewajiban dalam aqad
nikah maka hukumnya wajib memberikan mahar dan mengikrarkan janji
untuk memberi nafkah. Karena seseorang yang tidak mampu memberi mahar dan
nafkah, maka orang tersebut menurut adat atau kebiasaan termasuk orang
yang hina dan diremehkan seperti seseorang yang nasabnya rendah. Sedangkan
kelebihan laki-laki tersebut menjadi cacat dan kurang sebab fakir seperti
cacatnya seseorang yang rendah nasabnya.
Yang dikehendaki dari mahar
adalah mampu memberikan dengan segera dan tidak dihutang, maka
diberikan kemudahan untuk membayar pada waktu yang mudah baginya.
Segi Agama
Kafa’ah menurut bahasa
adalah mendekati dan menyamai. Sedangkan kafa’ah menurut istilah
adalah mendekati dan menyamai dalam hal agama, akhlak dan merdeka. Yang seiman
dan seagama yang dikehendaki kafa’ah dalam agama yaitu agama Islam dan
tidak fasikh. Dengan syarat seorang suami harus muslim dan hal ini
hukumnya wajib.
Syarat yang keempat adalah agama.
Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abi Yusuf dalam kitabnya Imam
Alauddin al Kasani yang berjudul Bada’i asy-Shona’i fi Tartibis
asy-Shara’i, Abu Hanifah dan Abi Yusuf mengatakan: seandainya ada
seorang wanita dari anaknya orang shalih menikah dengan anaknya orang fasikh,
maka bagi wali terdapat pertentangan, hal ini menurut Abu Hanifah dan
Abi Yusuf karena sesungguhnya kelebihan sebab agama itu lebih penting
daripada keunggulan dari segi nasab, merdeka, harta dan kekurangan sebab fasikh
itu lebih berat dari kesemuanya.
Imam Ahmad Muhammad
mengatakan, kafa’ah tidak disebutkan dalam masalah agama karena hal
itu merupakan urusan akhirat sedangkan kafa’ah merupakan bagian
hukum dunia. Maka dalam kafa’ah, seorang yang fasikh tidak boleh
dicela kecuali perbuatanya sudah terlalu banyak menyimpang dari syariat agama.
Segi Pekerjaan
Adapun pekerjaan
seperti yang telah di tuturkan oleh Imam Alkhurqi dalam kitabnya Imam Alauddin al
Kasani yang berjudul Bada’i asy-Shona’i fi Tartibis asy-Shara’i, juz III,
bahwasanya kafa’ah dalam masalah pekerjaan itu telah diibaratkan oleh Abi Yusuf,
maka suatu profesi tidak bisa mencukupi.
Disebutkan bahwa sesungguhnya Abu
Hanifah membangun suatu putusan pada kebiasaannya pada orang
Arab, sesungguhnya banyaknya orang Arab yang bekerja tetapi dia tidak
bertujuan bekerja maka orang tersebut tidak bisa dikatakan bekerja.
Dalam kitab Bada’i asy-Shona’i fi
Tartibis asy-Shara’i, juz III, Imam Khadi menuturkan dalam syara'-nya
Muktasar Atahkawi, menuturkan masalah kafa’ah dalam
profesi dan tidak dituturkan masalah khilafnya diakui oleh ucapannya Abu Hanifah dan
Imam Ahmad tetapi menurut Abi Yusuf tidak diakui kecuali profesinya
jelek.
Seperti tukang samak, tabib, tukang jahit dll, sebab semua pekerjaan
itu tidak tetap wujudnya, karena melihat orang-orang seperti itu biasanya
meninggalkan pekerjaannya yang mana hal ini dicela dalam masalah kafa’ah.
Ahli kafir sebagian sederajat dengan yang lain sebab teladan dalam kafa’ah
menolak dalam kekurangan, dan kekurungan yang paling besar adalah kafir.
Rujukan:
Imam Alauddin Abi Bakar Mas'ud al Kasani al Hanafi, Bada'i as-Shana'i fi Tartibis asy- Syara'i, Juz III, Beirut Lebanon: Darut Kutub al-Ilmiah, t.th.