-->

Kriteria Kafa’ah Menurut Imam Alauddin al Kasani

SUDUT HUKUM | Dalam kitab Badai’ as Shanai’ fi Tartib as Syar’i juz III, disebutkan bahwa kriteria kafa’ah menurut Alauddin al Kasani ada lima macam, diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Nasab 
  2. Kemerdekaan
  3. Harta
  4. Agama
  5. Pekerjaan
Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa kriteria kafa’ah dalam memilih jodoh yang baik menurut Alauddin al Kasani harus memenuhi setidaknya lima kriteria. Kelima kriteria tersebut adalah: pertama nasab (keturunan), kedua al kuryah (merdeka), ketiga al mal (harta), keempat ad din (agama) dan kelima al kirfah (pekerjaan). 

Kriteria tersebut harus diperhatikan ketika seseorang akan menikah dan menjadi rujukan ketika akan memilih pasangan hidupnya. Adapun penjelasan seseorang yang disebut dalam kafa’ahN adalah diperuntukkan bagi wanita tidak untuk pria, yang mana artinya kafa’ah diperuntukan bagi pria untuk menikahi wanita.

Kriteria Kafa’ah Menurut Imam Alauddin al Kasani


Dari kelima kriteria tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut :

Segi Nasab

Hal-hal yang terkandung di dalam kafa’ah itu beberapa macam, salah satunya adalah masalah nasab. Yang dimaksud di sini adalah keturunan dan perbedaan bangsa. Tentang bangsa Arab dianggap tidak kafa’ah dengan bangsa lain (non Arab). 

Baca Juga

Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama golongan Ajam, kedua golongan Arab. Adapun golongan Arab terbagi menjadi dua suku yaitu suku Quraisy dan selain Quraisy.

Keturunan orang Arab adalah kafa’ah antara satu dengan lainnya. Begitu halnya dengan orang Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan orang Arab tidak sekufu’ dengan orang Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak kafa’ah dengan atau bagi orang Quraisy, alasannya adalah Rasulullah SAW:
Orang Quraisy sebagiannya sederajat dengan yang lain, orang Arab sebagaiannya sederajat dengan sebagian yang lain, kelompok yang satu kafa'ah dengan yang lainnya dan Kabilah dengan Kabilah, Almawali sebagiannya sederajat dengan yang lain (laki-laki yang satu dengan lainnya)”.
Karena sesunggguhnya kemuliaan dan kehinaan termasuk dalam pembagian nasab, maka kekurangan disamakan dengan rendahnya nasab.

Orang Syam tidak sama dengan orang Quraisy seperti orang Tayami, Amawi, Adawi dan yang lainnya semuanya itu sederajat dengan Bani Hasyim, dengan alasan perkataannya Nabi orang Quraisy sebagiannya sederajat dengan yang lain. 

Yang mana orang Quraisy memuat Bani Hasyim, dan orang Arab sebagiannya sederajat dengan yang lain dengan adanya ketentuan bahwa orang Arab tidak sederajat dengan orang Quraisy karena orang Quraisy lebih utama dari pada orang Arab, oleh karena itu yang menjadi pemimpin lebih dikhususkan dari orang Quraisy.

Dengan ditatapkan nasab sebagai kriteria kafa’ah, maka orang Ajam dianggap tidak kafa’ah dengan orang Arab baik dari suku Quraisy maupun suku selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari dari suku Quraisy dipandang tidak kafa’ah dengan orang Arab dengan orang Arab yang berasal dari suku Quraisy. 

Selain itu, untuk orang Arab yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthaib hanya dapat kafa’ah dengan seorang yang berasal dari keturunan yang sama.

Kemudian yang menunjukkan bahwa sesungguhnya kafa’ah pada kaum Quraisy itu tidak tertentu pada keturunannya, hal tersebut mengecualikan Muhammad, maka orang Quraisy tidak bisa sederajat dengan Muhammad dengan alasan orang Quraisy tersebut tidak termasuk Bani Hasyim dan Almawaly tidak sederajat dibandingkan orang Arab sebab orang Arab lebih utama dibanding orang Ajam. Sedangkan Almawaly sebagian sederajat dengan sebagian yang lain dengan adanya nas, Mawali Arab sederajat dengan Mawali Quraisy.

Kemudian keunggulan orang Ajam disebabkan ke-Islaman-nya bukan karena nasabnya. Dikatakan: Apabila ada dalam satu tempat yang masa Islam-nya sudah lama dengan satu tempat yang masa Islam-nya masih baru yang keduanya tidak diketahui cacatnya dan kekurangannya maka sebagian tersebut sederajat dengan sebagian yang lainnya, sebab kekurangan atau kecacatan tersebut apabila tidak di perbolehkan maka keburukan atau kejelekan tidak sama dengan kekurangan kalau hal tersebut terjadi maka tidak akan ada dhoror (bahaya).

Segi Kemerdekaan

Kemerdekaan juga dihubungkan dengan keadaan orang tuanya, sehingga seorang anak yang hanya bapaknya yang merdeka, tidak kafa’ah dengan orang yang kedua orang tuanya merdeka. Begitu pula seorang lakilaki yang neneknya pernah menjadi budak, tidak sederajat dengan perempuan yang neneknya tidak pernah menjadi budak, sebab perempuan merdeka jika dikawinkan dengan laki-laki budak dipandang tercela. Sama halnya jika dikawinkan dengan laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.

Syarat yang kedua adalah harus merdeka karena menjadi budak merupakan kehinaan dan kejelekan dalam nasab, maka seorang budak mudabbar16 dan mukatab17 tidak sederajat dengan wanita yang merdeka dan wanita yang dimerdekakan oleh seorang juragan itu tidak sederajat dengan wanita yang merdeka sejak lahir, sebab keutamaan itu adalah merdeka sejak lahir dan kerendahan pada wanita yang merdeka itu tidak sederajat dengan laki-laki yang mempunyai orang tua dan nenek moyangnya merdeka.

Sedangkan seseorang yang kedua orang tuanya merdeka, tidak sederajat dengan seseorang yang mempunyai orang tua dan nenek moyang merdeka, sebab asal suatu ukuran seorang bapak yang merdeka harus mempunyai seorang kakek yang merdeka juga sehingga seorang laki-laki Arab tidak sederajat dengan seorang wanita Bani Hasyim kecuali seorang wanita Bani Hasyim mau menikah dengan seorang lelaki Arab sebab sesungguhnya wali sama derajatnya dengan nasab. Rasulullah SAW bersabda: “Derajatnya wali sama dengan derajatnya nasab”.

Segi Harta

Golongan Hanafi menganggap bahwa harta (kekayaan) menjadi ukuran kafa’ah. Dan ukuran kekayaan di sini yaitu kemampuan seseorang untuk membayar mahar dan memenuhi nafkah.

Syarat yang ketiga adalah harta benda. Orang yang fakir tidak sederajat dengan orang yang kaya, sebab keunggulan dengan harta itu lebih baik daripada keunggulan dengan selain harta. Hal ini menurut kebiasaan khususnya pada zaman sekarang ini. Sebab suatu pernikahan ada hubungannya dengan mahar dan nafkah yang mana hubungan tersebut sangat erat, karena suatu pernikahan tidak akan menjadi sah tanpa adanya mahar dan nafkah yang lazim. 

Tetapi hal tersebut tidak ada hubungannya dengan pembahasan nasab dan merdeka.sehingga apabila seorang suami yang mampu untuk memberi mahar dan nafkah, maka suami tersebut bisa dikatakan sederajat dengan istrinya walaupun harta yang dimiliki seorang suami tidak seimbang.

Dijelaskan bahwa kesamaan antara suami dan istri dalam kekayaan merupakan suatu syarat mutlaq kafa’ah, hal ini merupakan pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Muhammad, tetapi Imam Abu Hanifah tidak sependapat, sebab keunggulan biasanya dilihat dari sigi kekayaan dan ucapan yang benar adalah pendapat yang pertama dengan alasan kekayaan tidak bisa ditetapkan sebab sesungguhnya harta adakalanya datang dan pergi maka hal tersebut tidak bisa disamakan dalam kekayaan.

Seseorang laki-laki yang tidak mempunyai mahar maupun nafkah berarti laki-laki tersebut tidak bisa dikatakan sederajat, dengan alasan mahar merupakan kewajiban dalam aqad nikah maka hukumnya wajib memberikan mahar dan mengikrarkan janji untuk memberi nafkah. Karena seseorang yang tidak mampu memberi mahar dan nafkah, maka orang tersebut menurut adat atau kebiasaan termasuk orang yang hina dan diremehkan seperti seseorang  yang nasabnya rendah. Sedangkan kelebihan laki-laki tersebut menjadi cacat dan kurang sebab fakir seperti cacatnya seseorang yang rendah nasabnya.

Yang dikehendaki dari mahar adalah mampu memberikan dengan segera dan tidak dihutang, maka diberikan kemudahan untuk membayar pada waktu yang mudah baginya.

Segi Agama

Kafa’ah menurut bahasa adalah mendekati dan menyamai. Sedangkan kafa’ah menurut istilah adalah mendekati dan menyamai dalam hal agama, akhlak dan merdeka. Yang seiman dan seagama yang dikehendaki kafa’ah dalam agama yaitu agama Islam dan tidak fasikh. Dengan syarat seorang suami harus muslim dan hal ini hukumnya wajib.

Syarat yang keempat adalah agama. Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abi Yusuf dalam kitabnya Imam Alauddin al Kasani yang berjudul Bada’i asy-Shona’i fi Tartibis asy-Shara’i, Abu Hanifah dan Abi Yusuf mengatakan: seandainya ada seorang wanita dari anaknya orang shalih menikah dengan anaknya orang fasikh, maka bagi wali terdapat pertentangan, hal ini menurut Abu Hanifah dan Abi Yusuf karena sesungguhnya kelebihan sebab agama itu lebih penting daripada keunggulan dari segi nasab, merdeka, harta dan kekurangan sebab fasikh itu lebih berat dari kesemuanya.

Imam Ahmad Muhammad mengatakan, kafa’ah tidak disebutkan dalam masalah agama karena hal itu merupakan urusan akhirat sedangkan kafa’ah merupakan bagian hukum dunia. Maka dalam kafa’ah, seorang yang fasikh tidak boleh dicela kecuali perbuatanya sudah terlalu banyak menyimpang dari syariat agama.

Segi Pekerjaan

Adapun pekerjaan seperti yang telah di tuturkan oleh Imam Alkhurqi dalam kitabnya Imam Alauddin al Kasani yang berjudul Bada’i asy-Shona’i fi Tartibis asy-Shara’i, juz III, bahwasanya kafa’ah dalam masalah pekerjaan itu telah diibaratkan oleh Abi Yusuf, maka suatu profesi tidak bisa mencukupi.

Disebutkan bahwa sesungguhnya Abu Hanifah membangun suatu putusan pada kebiasaannya pada orang Arab, sesungguhnya banyaknya orang Arab yang bekerja tetapi dia tidak bertujuan bekerja maka orang tersebut tidak bisa dikatakan bekerja.

Dalam kitab Bada’i asy-Shona’i fi Tartibis asy-Shara’i, juz III, Imam Khadi menuturkan dalam syara'-nya Muktasar Atahkawi, menuturkan masalah kafa’ah dalam profesi dan tidak dituturkan masalah khilafnya diakui oleh ucapannya Abu Hanifah dan Imam Ahmad tetapi menurut Abi Yusuf tidak diakui kecuali profesinya jelek. 

Seperti tukang samak, tabib, tukang jahit dll, sebab semua pekerjaan itu tidak tetap wujudnya, karena melihat orang-orang seperti itu biasanya meninggalkan pekerjaannya yang mana hal ini dicela dalam masalah kafa’ah. Ahli kafir sebagian sederajat dengan yang lain sebab teladan dalam kafa’ah menolak dalam kekurangan, dan kekurungan yang paling besar adalah kafir.

Rujukan:

Imam Alauddin Abi Bakar Mas'ud al Kasani al Hanafi, Bada'i as-Shana'i fi Tartibis asy- Syara'i, Juz III, Beirut Lebanon: Darut Kutub al-Ilmiah, t.th.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel