Pola Hubungan Ulama Umara di Aceh
Monday, 11 July 2016
SUDUT HUKUM | Dalam setiap interaksi akan terjadi empat macam bentuk dalam suatu interaksi sosial. Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi adalah: interaksi dalam bentuk kerjasama, dapat juga terjadi dalam bentuk persaingan, atau konflik, dan akomodsasi. Bentuk-bentuk insteraksi tersebut tidak selamanya akan berjalan bersifat kontinyu dan abadi, namun dapat saja terjadi berubah dalam perjalanan karena berubah kepentingan dan orientasi. Hubungan interaksi yang terjadi antara ulama dan umara dalam masa kerajaan Aceh Darussalam adalah hubungan interaktif yang kooperatif, dimana ulama dan umara dalam catatan sejarah disebutkan saling membutuhkan dan saling mendukung.
Umara sangat mendukung kegiatan ulama dalam mengembangkan ajaran Islam, dukungan tersebut merupakan kebijakan kerajaan yang dapat berarti program ulama tersebut merupakan program kerajaan. Namun di akhir masa kerajaan Aceh Darussalam hubungan yang terjadi antara ulama dan dan umara adalah pola hubungan konflik dan persaingan. Hubungan konflik antara ulama dan umara dapat terjadi karena sifat adu domba belah bambu yang dijalankan oleh kolonial Belanda.
Kerajaan-kerajaan Islam Aceh dikenal luas ke manca negara bukan hanya karena besarnya kekuasaan, tetapi juga karena ilmu agamanya yang sangat termasyhur. Menurut catatan sejarah mulai Kerajaan Islam Samudera Pasai pada abad ke-13 sampai dengan kerajaan Islam Aceh Darussalam di abad ke-19 termasyhur dengan kerajaan Islam dan ulamanya. Pola hubungan ini berlangsung hingga abad ke-19 dan berakhir pada saat Sultan Aceh telah dihilangkan kekuatannya oleh penjajah Belanda.
Jika dipelajari dalam perjalanan sejarah hubungan ulama-umara ada beberapa bentuk hubungan yang terjadi di Aceh, yaitu: Pertama, hubungan kerja sama (Cooperative), hubungan ini terjadi ketika arah kepentingan menuju pada titik kesamaan. Dimana ulama menginginkan terjadinya internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan dan terbentuknya formalisasi syari’at Islam dalam sistem kerajaan.
Kedua hal ini dapat terjadi sehingga terbangunlah suatu komonikasi yang lancar antara Sultan dan Ulama. Kedua, hubungan persaingan dan konflik. Hubungan ini dapat terjadi ketika arah kepentingan menuju pada garis yang berbeda, karena terjadi perbedaan nilai yang dianut oleh masing-masing kelompok. Ulama menginginkan nilai dan syari’at Islam terbentuk dalam masyarakat Aceh sementara uleebalang menginginkan kekuasaan dan harta benda. Sehingga terbentuk garis konflik diantara keduanya. Ketiga, hubungan akomodatif. Hubungan ini terjadi tatkala sudah terjadi perbedaan yang panjang mendapat jalan buntu, sehingga yang didapat adalah kemudharatan bukan kemudahan.
Seperti apa yang ditampilkan ketika jalan buntu antara ulama dan tentera Belanda akhirnya sebahagian ulama memilih kooperatif dengan Belanda. Meskipun jalan ini bukan jalan yang abadi yang harus dipertahankan tetapi hanya sebagai jalan mencapai selamat.
Umara sangat mendukung kegiatan ulama dalam mengembangkan ajaran Islam, dukungan tersebut merupakan kebijakan kerajaan yang dapat berarti program ulama tersebut merupakan program kerajaan. Namun di akhir masa kerajaan Aceh Darussalam hubungan yang terjadi antara ulama dan dan umara adalah pola hubungan konflik dan persaingan. Hubungan konflik antara ulama dan umara dapat terjadi karena sifat adu domba belah bambu yang dijalankan oleh kolonial Belanda.
Kerajaan-kerajaan Islam Aceh dikenal luas ke manca negara bukan hanya karena besarnya kekuasaan, tetapi juga karena ilmu agamanya yang sangat termasyhur. Menurut catatan sejarah mulai Kerajaan Islam Samudera Pasai pada abad ke-13 sampai dengan kerajaan Islam Aceh Darussalam di abad ke-19 termasyhur dengan kerajaan Islam dan ulamanya. Pola hubungan ini berlangsung hingga abad ke-19 dan berakhir pada saat Sultan Aceh telah dihilangkan kekuatannya oleh penjajah Belanda.
Jika dipelajari dalam perjalanan sejarah hubungan ulama-umara ada beberapa bentuk hubungan yang terjadi di Aceh, yaitu: Pertama, hubungan kerja sama (Cooperative), hubungan ini terjadi ketika arah kepentingan menuju pada titik kesamaan. Dimana ulama menginginkan terjadinya internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan dan terbentuknya formalisasi syari’at Islam dalam sistem kerajaan.
Seperti apa yang ditampilkan ketika jalan buntu antara ulama dan tentera Belanda akhirnya sebahagian ulama memilih kooperatif dengan Belanda. Meskipun jalan ini bukan jalan yang abadi yang harus dipertahankan tetapi hanya sebagai jalan mencapai selamat.