-->

Sekufu (Kafa’ah) dalam Perkawinan

SUDUT HUKUM | Dalam kamus bahasa Arab kafa’ah berasal dari kata آفاء آفاءة yang berarti kesamaan, sepadan dan sejodoh. Sedangkan dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, kafa'ah berarti seimbang.

Dalam firman Allah SWT disebutkan juga kata-kata yang berakar kafa’ah
Artinya:"Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia". (QS. al-ikhlas ayat: 4)

Dalam buku "Ilmu Fiqh Jilid II" mendefinisikan arti kafa'ah ialah serupa seimbang atau serasi, maksudnya keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.

Menurut H. S. A. Alhamdani dalam bukunya yang berjudul "Risalah Nikah" yang diterjemahkan oleh Agus Salim mendefinisikan kafa'ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya (calon istri), sama kedudukannya. Suami seimbang dengan istrinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan antara suami istri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan.

Baca Juga


Sekufu (Kafa’ah) dalam Perkawinan


Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq, kafa’ah berarti sama, sederajat atau sebanding. Maksud kafa’ah dalam perkawinan yaitu: calon suami sebanding dengan calon istri, sama dengan kedudukannya, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.

Dengan demikian dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa istilah kafa’ah sangat terkait erat dengan masalah perkawinan, yakni adanya kesesuaian antara calon suami dan istri dalam beberapa aspek tertentu yang dapat menghindarkan terjadinya krisis dalam rumah tangga sehingga dapat menunjang tercapainya keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Eksistensi dan Urgensi Kafa’ah dalam Perkawinan
Ditarik dalam konteks pernikahan, kafa'ah berarti kesepadanan anatara calon suami dan calon istri, berdasarkan martabat, status sosial, akhlak atau agama, ekonomi, pekerjaan dan lain sebagainya. Sedangkan tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.

Sudah menjadi keyakinan umum jika antara pasutri (pasangan suami istri) terdapat kesepadanan, maka jurang pemisah yang sering menjadi sebab perceraian akan terminimalisir. Atau lebih mudahnya, kafa'ah dapat mencegah terjadinya perceraian antara suami dan istri.

Adanya kafa’ah dalam perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis rumah tangga. Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dan tujuan perkawinan. Dengan adanya kafa’ah dalam perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu mendapatkan keserasian dan keharmonisan. Berdasarkan konsep kafa’ah, seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal yang lainnya.

Walaupun keberadaan kafa’ah sangat diperlukan dalam kehidupan perkawinan, namun diantara para pengikut madzhab empat dan para ulama terdapat perbedaan pendapat terhadap ukuran dan norma yang dapat dipakai untuk menentukan segi-segi mana yang dapat dianggap sebagai kafa’ah yang harus dipenuhi.

Hanya ada satu segi yang mereka sepakati sebagai kafa’ah yang harus dipenuhi dalam perkawinan, ialah segi agama. Maka seorang wanita yang beragama Islam tidak sah kawin dengan laki-laki yang beragama bukan Islam.

Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang konsep kafa’ah, antara lain:
1. Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Imam Hanafi, kafa’ah dalam perkawinan adalah hak wali, bukan hak wanita. Kalau seorang wanita dikawinkan dengan seorang laki-laki, kemudian ternyata laki-laki itu tidak sekufu’ dengannya, maka tidak boleh khiyar baginya. Sebaliknya, kalau seorang wanita kawin dengan yang tidak sekufu’, walinya berhak khiyar.

Wali yang bukan bapak atau kakek tidak sah mengawinkan anak yang masih kecil, pria atau wanita, dengan yang tidak sekufu’. Mengawinkan anak laki-laki yang masih kecil haruslah dicarikan anak perempuan yang masih sekufu’. Tetapi bapak sah mengawinkan anak wanitanya yang masih kecil dengan laki-laki yang tidak sekufu’ karena atas pertimbangan bahwa kasih sayang bapak kepada anaknya sungguh mendalam sekali.

Segi-segi kafa’ah menurut Madzhab Hanafi tidak hanya terbatas pada faktor agama tetapi juga dari segi yang lain. Sedangkan hak menentukan kafa’ah menurut mereka ditentukan oleh pihak wanita. Dengan demikian yang menjadi obyek penentuan kafa’ah adalah pihak laki-laki.

2. Madzhab Hambali
Adapun kafa’ah menurut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal dilihat dari lima segi, antara lain adalah keturunan, keagamaan, kemerdekaan, pekerjaan dan dengan ditambah bahwa laki-laki miskin tidak kafa’ah dengan perempuan kaya.

3. Madzhab Maliki
Di kalangan madzhab Imam Maliki ini faktor kafa’ah juga dipandang sangat penting untuk diperhatikan. Kalaupun ada perbedaan dengan ulama lain, hal itu hanya terletak pada kualifikasi segi-segi kafa’ah, yakni tentang sejauh mana segi-segi tersebut mempunyai kedudukan hukum dalam perkawinan. Yang menjadi prioritas utama dalam kualifikasi madzhab ini adalah segi agama dan bebas dari cacat disamping juga mengakui segi-segi yang lainnya.

Penerapan segi agama bersifat absolut. Sebab segi agama sepenuhnya menjadi hak Allah. Suatu perkawinan yang tidak memperhatikan masalah agama maka perkawinan tersebut tidak sah. Sedang mengenai segi bebas dari cacat, hal tersebut menjadi hak wanita. Jika wanita yang akan dikawinkan tersebut menerima, maka dapat dilaksanakan, sedangkan apabila menolak tetapi perkawinan tersebut tetap dilangsungkan maka pihak wanita tersebut berhak menuntut fasakh.

4. Madzhab Syafi’i
Kafa’ah menurut Madzhab Imam Syafi’i merupakan masalah penting yang harus diperhatikan sebelum perkawinan. Keberadaan kafa’ah diyakini sebagai faktor yang dapat menghilangkan dan menghindarkan munculnya aib dalam keluarga. Kafa’ah adalah suatu upaya untuk mencari persamaan antara suami dan istri baik dalam kesempurnaan maupun keadaan selain bebas dari cacat.

Maksud dari adanya kesamaan bukan berarti kedua calon mempelai harus sepadan dalam segala hal, sama kayanya, nasab, pekerjaan atau sama cacatnya. Akan tetapi maksudnya adalah jika salah satu dari mereka mengetahui cacat seseorang yang akan menjadi pasangannya sedangkan ia tidak menerimanya, maka ia berhak menuntut pembatalan perkawinan. Selanjutnya Madzhab Syafi’i juga berpendapat jika terjadi suatu kasus dimana seorang wanita menuntut untuk dikawinkan dengan lelaki yang tidak sekufu’ dengannya, sedangkan wali melihat adanya cacat pada laki-laki tersebut, maka wali tidak diperbolehkan menikahkannya.

Pendapat ini didasarkan pada riwayat Fatimah binti Qais yang datang kepada Nabi dan menceritakan bahwa ia telah dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah. Lalu Nabi menanggapi, “jika engkau menikah dengan Abu Jahm, aku khawatir engkau akan mendurhakainya. Namun jika engkau kawin dengan Mu’awiyah dia seorang pemuda Quraisy yang tidak mempunyai apa-apa”. Akan tetapi aku tunjukkan kepadamu seorang yang lebih baik dari mereka yaitu Usamah.

5. Ibn Hazm
Ibn Hazm berpendapat bahwa tidak ada kafa’ah yang patut diperhatikan. Tiap laki-laki muslim berhak menikah dengan wanita  muslim. Orang Islam semua bersaudara, karena itu tidak diharamkan seorang laki-laki dari keturunan yang tidak masyhur kawin dengan seorang wanita keturunan Bani Hasyim. Seorang muslm yang fasikh sekufu’ dengan wanita muslim yang fasikh pula.

Dalam prakteknya, Rasulullah SAW telah mengawinkan Zaenab binti Jahsy (bangsawan Arab) dengan Zayd (bekas budak Rasulullah) dan telah dikawinkan pula putri Zubayr bin “Abd al-Muthallib (suku Quraisy) dengan Miqdad (tukang samak kulit).

Pendapat ini didasarkan pada ayat firman Allah surat al-Hujurat ayat 10:
Artinya: “Sesungguhnya setiap muslim adalah bersaudara”. (QS. al-Hujurat : 10)

Berdasarkan ayat diatas, dapat diartikan bahwa semua muslim adalah bersaudara. Kata bersaudara menunjukkan arti bahwa setiap muslim mempunyai derajat yang sama termasuk dalam hal memilih dan menentukan pasangannya.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mayoritas ulama mengakui keberadaan kafa’ah dalam perkawinan. Sementara mengenai Ibn Hazm, walaupun secara formal beliau tidak mengakui kafa’ah tapi secara subtansial beliau mengakuinya, yakni dari segi agama dan kualitas keberagamaan.

Keberadaan kafa’ah ini selain diakui oleh ulama di atas, juga diakui oleh fuqaha lain seperti Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan: “Dalam suatu perkawinan hendaknya harus ada unsur keseimbangan antara suami dan istri dalam beberapa unsur tertentu yang dapat menghindarkan dari krisis yang dapat merusak kehidupan rumah tangga.

Sedangkan menurut Moh. Anwar dalam bukunya yang berjudul Fiqih Islam, menyatakan faktor kafa’ah itu ada lima perkara, yaitu:


  1. Kebangsaan dan kesukubangsaan, sebab setiap suku bangsa itu mempunyai adat istiadat yang berbeda dengan suku lainnya yang kadangkadang dapat menimbulkan salah paham.
  2. Keagamaan. Ini sangat penting sekali, sebab faktor agama itu menyangkut keyakinan seseorang. Kalau berbeda agama antara suami istri itu sudah tentu sukar sekali akan tercapainya tujuan perkawinan.
  3. Akhlak. Faktor ini pun cukup penting, sebab faktor akhlak ini merupakan kebiasaan mengenai tingkah laku seseorang. Kalau yang seorang baik, shaleh, tukang beribadah. Sedangkan yang seorang lain sebaliknya, tentu tidak akan harmonis dalam rumah tangganya.
  4. Keturunan. Faktor keturunan pun tidak kurang pentingnya dalam mencapai tujuan perkawinan, sebab keturunan seseorang itu ada kalanya terus-menerus ke anak cucunya, seperti mengenai penyakit, kebiasaan dan sebagainya.
  5. Pekerjaan antara kedua belah pihak. Faktor ini pun dapat mempengaruhi akan keadaan rumah tangga seseorang, sebab kebiasaan seorang petani, pedagang, buruh, pendidik, pejabat, orang alim, tentu ada perbedaan antara satu dengan lainnya meskipun tidak begitu mencolok, akan tetapi perlu diperhatikan sebelumnya. Demikian pula faktor kesehatan kedua belah pihak, dan kaya atau miskinnya.

Sedangkan pendapat dari Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih pasangan hidup ialah: agama, keturunan, akhlak atau budi pekerti yang baik, pendidikan, kesehatan dan adat istiadat. Faktor lain yang turut menentukan juga adalah kekayaan dan kecantikan tergantung pada perorangan.

Rujukan: 



  • Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
  • Tri Rama K. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, tth,
  • Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Jakarta: Pelita II, 1978/1979.
  • Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1985.
  •  H. S. A. Alhamdani, Risalah Nikah,, terj. Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1980.
  • Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, Jilid VII, Bandung: Al-Ma'arif, 1998.
  • Ma'had Aly PP. Salaiyah Syafi'ayah, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh Dengan KekuasaanSitubondo, Lkis, 2000.
  • Nasarudin Latif, Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
  • Peunoh Daly, Hukum Prkawinan Islam: Suatu Perbandingan dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
  • Abdurrahman al-Jazairi, Kitab al Fiqh al Madzahib al Arba’ah, Jilid IV, Cet-I, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1990.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel