Sekufu (Kafa’ah) dalam Perkawinan
Friday, 29 July 2016
SUDUT HUKUM | Dalam kamus bahasa Arab kafa’ah berasal dari kata آفاء – آفاءة yang berarti kesamaan, sepadan dan sejodoh. Sedangkan dalam kamus lengkap Bahasa
Indonesia, kafa'ah
berarti seimbang.
Dalam firman Allah SWT disebutkan juga kata-kata yang
berakar kafa’ah
Artinya:"Dan tidak ada seorang pun yang setara
dengan Dia". (QS. al-ikhlas ayat: 4)
Dalam buku "Ilmu Fiqh Jilid II" mendefinisikan arti
kafa'ah
ialah serupa seimbang atau serasi,
maksudnya keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.
Menurut H. S. A. Alhamdani dalam bukunya yang berjudul "Risalah Nikah" yang diterjemahkan oleh Agus Salim mendefinisikan kafa'ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami
dengan perempuannya (calon istri), sama kedudukannya. Suami seimbang dengan
istrinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan
kedudukan antara suami istri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar
dari ketidakberuntungan.
Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq, kafa’ah berarti sama, sederajat atau sebanding. Maksud kafa’ah dalam perkawinan yaitu: calon suami sebanding dengan calon
istri, sama dengan kedudukannya, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat
dalam akhlak serta kekayaan.
Dengan demikian dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa istilah kafa’ah
sangat terkait erat dengan masalah
perkawinan, yakni adanya kesesuaian antara calon suami dan istri dalam beberapa
aspek tertentu yang dapat menghindarkan terjadinya krisis dalam rumah tangga
sehingga dapat menunjang tercapainya keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Eksistensi dan
Urgensi Kafa’ah dalam Perkawinan
Ditarik dalam konteks pernikahan, kafa'ah berarti kesepadanan anatara calon suami dan calon istri,
berdasarkan martabat, status sosial, akhlak atau agama, ekonomi, pekerjaan dan
lain sebagainya. Sedangkan tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.
Sudah menjadi keyakinan umum jika antara pasutri (pasangan
suami istri) terdapat kesepadanan, maka jurang pemisah yang sering menjadi
sebab perceraian akan terminimalisir. Atau lebih mudahnya, kafa'ah dapat mencegah terjadinya perceraian antara suami dan istri.
Adanya kafa’ah dalam
perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis rumah
tangga. Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dan tujuan
perkawinan. Dengan adanya kafa’ah dalam
perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu mendapatkan keserasian dan
keharmonisan. Berdasarkan konsep kafa’ah, seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya
dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal yang
lainnya.
Walaupun keberadaan kafa’ah sangat diperlukan dalam kehidupan perkawinan, namun diantara
para pengikut madzhab empat dan para ulama terdapat perbedaan pendapat terhadap
ukuran dan norma yang dapat dipakai untuk menentukan segi-segi mana yang dapat
dianggap sebagai kafa’ah
yang harus dipenuhi.
Hanya ada satu segi yang mereka sepakati sebagai kafa’ah yang harus dipenuhi dalam perkawinan, ialah segi agama. Maka
seorang wanita yang beragama Islam tidak sah kawin dengan laki-laki yang
beragama bukan Islam.
Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang konsep kafa’ah, antara lain:
1. Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Imam Hanafi, kafa’ah dalam perkawinan adalah hak wali, bukan hak wanita. Kalau
seorang wanita dikawinkan dengan seorang laki-laki, kemudian ternyata laki-laki
itu tidak sekufu’
dengannya, maka tidak boleh khiyar baginya. Sebaliknya, kalau seorang wanita kawin dengan yang
tidak sekufu’, walinya berhak khiyar.
Wali yang bukan bapak atau kakek tidak sah mengawinkan anak
yang masih kecil, pria atau wanita, dengan yang tidak sekufu’. Mengawinkan anak laki-laki yang masih kecil haruslah
dicarikan anak perempuan yang masih sekufu’. Tetapi bapak sah mengawinkan anak wanitanya yang masih
kecil dengan laki-laki yang tidak sekufu’ karena atas pertimbangan bahwa kasih sayang bapak kepada
anaknya sungguh mendalam sekali.
Segi-segi kafa’ah menurut Madzhab Hanafi tidak hanya terbatas pada faktor
agama tetapi juga dari segi yang lain. Sedangkan hak menentukan kafa’ah menurut mereka ditentukan oleh pihak wanita. Dengan demikian
yang menjadi obyek penentuan kafa’ah adalah pihak laki-laki.
2. Madzhab Hambali
Adapun kafa’ah menurut
madzhab Imam Ahmad bin Hanbal dilihat dari lima segi, antara lain adalah
keturunan, keagamaan, kemerdekaan, pekerjaan dan dengan ditambah bahwa
laki-laki miskin tidak kafa’ah dengan
perempuan kaya.
3. Madzhab Maliki
Di kalangan madzhab Imam Maliki ini faktor kafa’ah juga dipandang sangat penting untuk diperhatikan. Kalaupun
ada perbedaan dengan ulama lain, hal itu hanya terletak pada kualifikasi segi-segi kafa’ah, yakni tentang sejauh mana segi-segi tersebut mempunyai kedudukan
hukum dalam perkawinan. Yang menjadi prioritas utama dalam kualifikasi madzhab ini adalah segi agama dan bebas dari cacat disamping
juga mengakui segi-segi yang lainnya.
Penerapan segi agama bersifat absolut. Sebab segi agama sepenuhnya menjadi hak Allah. Suatu perkawinan
yang tidak memperhatikan masalah agama maka perkawinan tersebut tidak sah.
Sedang mengenai segi bebas dari cacat, hal tersebut menjadi hak wanita. Jika
wanita yang akan dikawinkan tersebut menerima, maka dapat dilaksanakan,
sedangkan apabila menolak tetapi perkawinan tersebut tetap dilangsungkan maka
pihak wanita tersebut berhak menuntut fasakh.
4. Madzhab Syafi’i
Kafa’ah menurut Madzhab Imam Syafi’i merupakan masalah penting yang
harus diperhatikan sebelum perkawinan. Keberadaan kafa’ah diyakini sebagai faktor yang dapat menghilangkan dan
menghindarkan munculnya aib dalam keluarga. Kafa’ah adalah suatu upaya untuk mencari persamaan antara suami dan
istri baik dalam kesempurnaan maupun keadaan selain bebas dari cacat.
Maksud dari adanya kesamaan bukan berarti kedua calon mempelai
harus sepadan dalam segala hal, sama kayanya, nasab, pekerjaan atau sama cacatnya. Akan tetapi maksudnya adalah
jika salah satu dari mereka mengetahui cacat seseorang yang akan menjadi pasangannya
sedangkan ia tidak menerimanya, maka ia berhak menuntut pembatalan perkawinan.
Selanjutnya Madzhab Syafi’i juga berpendapat jika terjadi suatu kasus dimana
seorang wanita menuntut untuk dikawinkan dengan lelaki yang tidak sekufu’ dengannya, sedangkan wali melihat adanya cacat pada
laki-laki tersebut, maka wali tidak diperbolehkan menikahkannya.
Pendapat ini didasarkan pada riwayat Fatimah binti Qais yang
datang kepada Nabi dan menceritakan bahwa ia telah dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah.
Lalu Nabi menanggapi, “jika engkau menikah dengan Abu Jahm, aku khawatir engkau
akan mendurhakainya. Namun jika engkau kawin dengan Mu’awiyah dia seorang
pemuda Quraisy yang tidak mempunyai apa-apa”. Akan tetapi aku tunjukkan
kepadamu seorang yang lebih baik dari mereka yaitu Usamah.
5. Ibn Hazm
Ibn Hazm berpendapat bahwa tidak ada kafa’ah yang patut diperhatikan. Tiap laki-laki muslim berhak
menikah dengan wanita muslim. Orang
Islam semua bersaudara, karena itu tidak diharamkan seorang laki-laki dari keturunan yang tidak masyhur kawin dengan seorang wanita keturunan Bani Hasyim. Seorang
muslm yang fasikh
sekufu’ dengan wanita muslim yang fasikh pula.
Dalam prakteknya, Rasulullah SAW telah mengawinkan Zaenab
binti Jahsy (bangsawan Arab) dengan Zayd (bekas budak Rasulullah) dan telah
dikawinkan pula putri Zubayr bin “Abd al-Muthallib (suku Quraisy) dengan Miqdad
(tukang samak kulit).
Pendapat ini didasarkan pada ayat firman Allah surat
al-Hujurat ayat 10:
Artinya: “Sesungguhnya setiap muslim adalah
bersaudara”. (QS. al-Hujurat : 10)
Berdasarkan ayat diatas, dapat diartikan bahwa semua muslim
adalah bersaudara. Kata bersaudara menunjukkan arti bahwa setiap muslim mempunyai
derajat yang sama termasuk dalam hal memilih dan menentukan pasangannya.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
mayoritas ulama mengakui keberadaan kafa’ah dalam perkawinan. Sementara mengenai Ibn Hazm, walaupun
secara formal beliau tidak mengakui kafa’ah tapi secara subtansial beliau mengakuinya, yakni dari segi
agama dan kualitas keberagamaan.
Keberadaan kafa’ah ini selain diakui oleh ulama di atas, juga diakui oleh fuqaha lain seperti Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan: “Dalam suatu
perkawinan hendaknya harus ada unsur keseimbangan antara suami dan istri dalam
beberapa unsur tertentu yang dapat menghindarkan dari krisis yang dapat merusak
kehidupan rumah tangga.
Sedangkan menurut Moh. Anwar dalam bukunya yang berjudul
Fiqih Islam, menyatakan faktor kafa’ah itu ada lima perkara, yaitu:
- Kebangsaan dan kesukubangsaan, sebab setiap suku bangsa itu mempunyai adat istiadat yang berbeda dengan suku lainnya yang kadangkadang dapat menimbulkan salah paham.
- Keagamaan. Ini sangat penting sekali, sebab faktor agama itu menyangkut keyakinan seseorang. Kalau berbeda agama antara suami istri itu sudah tentu sukar sekali akan tercapainya tujuan perkawinan.
- Akhlak. Faktor ini pun cukup penting, sebab faktor akhlak ini merupakan kebiasaan mengenai tingkah laku seseorang. Kalau yang seorang baik, shaleh, tukang beribadah. Sedangkan yang seorang lain sebaliknya, tentu tidak akan harmonis dalam rumah tangganya.
- Keturunan. Faktor keturunan pun tidak kurang pentingnya dalam mencapai tujuan perkawinan, sebab keturunan seseorang itu ada kalanya terus-menerus ke anak cucunya, seperti mengenai penyakit, kebiasaan dan sebagainya.
- Pekerjaan antara kedua belah pihak. Faktor ini pun dapat mempengaruhi akan keadaan rumah tangga seseorang, sebab kebiasaan seorang petani, pedagang, buruh, pendidik, pejabat, orang alim, tentu ada perbedaan antara satu dengan lainnya meskipun tidak begitu mencolok, akan tetapi perlu diperhatikan sebelumnya. Demikian pula faktor kesehatan kedua belah pihak, dan kaya atau miskinnya.
Sedangkan pendapat dari Abdul Aziz dalam bukunya yang
berjudul Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih pasangan hidup ialah: agama, keturunan, akhlak atau
budi pekerti yang baik, pendidikan, kesehatan dan adat istiadat. Faktor
lain yang turut menentukan juga adalah kekayaan dan kecantikan tergantung
pada perorangan.
Rujukan:
- Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
- Tri Rama K. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, tth,
- Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Jakarta: Pelita II, 1978/1979.
- Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1985.
- H. S. A. Alhamdani, Risalah Nikah,, terj. Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1980.
- Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, Jilid VII, Bandung: Al-Ma'arif, 1998.
- Ma'had Aly PP. Salaiyah Syafi'ayah, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh Dengan Kekuasaan, Situbondo, Lkis, 2000.
- Nasarudin Latif, Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
- Peunoh Daly, Hukum Prkawinan Islam: Suatu Perbandingan dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
- Abdurrahman al-Jazairi, Kitab al Fiqh al Madzahib al Arba’ah, Jilid IV, Cet-I, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1990.