Corak Fiqh Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Sunday, 28 August 2016
SUDUT HUKUM | Kompilasi Hukum Islam merupakan
hasil ijtihad dari para ulama. Kehadiran KHI merupakan jawaban
atas kebutuhan kesesuaian hukum Islam dengan keadaan yang ada di
masyarakat. Itu adalah gambaran ideal keberadaan KHI dalam pandangan
hukum Islam. Formulasi hukum “tambahan” sebagai penjelas hukum
Islam yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits menjadi sebuah keniscayaan
karena pada dasarnya dalam kedua sumber hukum tersebut masih
terdapat ketentuan-ketentuan yang masih umum sehingga diperlukan penjelasan
yang lebih detail maupun penambahan pembahasan dan penjelasan
mengenai masalah-masalah yang belum diatur dalam kedua sumber hukum
tersebut.
Namun di sisi lain pada
kenyataannya KHI hadir lebih cenderung karena kebutuhan landasan hukum
bagi Lembaga peradilan Agama di Indonesia. Hal itu dikuatkan
dengan realita bahwa pada saat itu lembaga Peradilan Agama memang sedang
membutuhkan payung legalitas operasionalnya. Untuk itu
kemudian dibentuklah tim yang bertugas untuk membahas rumusan hukum yang
menjadi landasan operasional Peradilan Agama.
Selain dari aspek pembentukan,
dalam corak fiqih, ada beberapa catatan mengenai kedudukan KHI
jika ditinjau dari aspek fiqih. Fiqh yang memiliki pengertian sebagai
bentuk hasil “ijtihad” sebagai jembatan antara penerapan syari’at dalam realitas
sosial.[1] Dalam hal ini,
penyusunan sebuah kitab fiqh tidak dapat dipisahkan
dari dua sumber utama dalam hukum Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits.
Kemudian dalam penyusunan KHI yang dijadikan sebagai acuan
penyusunannya adalah kitab-kitab karya ulama serta menyertakan kedua sumber utama
hukum Islam. Alasan dijadikannya kitabkitab karya ulama (kitab kuning)
sebagai rujukan utama dalam penyusunan KHI lebih dikarenakan fenomena
perbedaan ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus perdata Islam yang
lebih mendasarkan pada kitab kuning.
Sehingga dengan adanya penyatuan
pendapat ulama dalam rangka membentuk hukum Islam di Indonesia tersebut
diharapkan dapat menjadi media penyatuan pendapat ulama mengenai sumber
pijakan pemutusan masalah perdata Islam. Idealnya, perbedaan cara pandang
ulama yang didasari perbedaan acuan kitab kuning tidak lantas
menjadi alasan dijadikannya kitab-kitab kuning sebagai rujukan tunggal.
Bahkan sebaliknya permasalahan tersebut harus dikembalikan pada dasar
hukum Islam. Hal ini juga sesuai dengan kaidah ijtihad dalam hukum Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa kelahiran KHI bukan dilandasi oleh kebutuhan
akan jawaban terhadap permasalahan umat terkait dengan problematika
kehidupan, melainkan hanya disandarkan pada upaya agar tidak terjadi “perpecahan”
pendapat ulama. Selain itu, lebih lanjut, KHI juga tidak dapat secara murni
disebut sebagai fiqh karena lebih identik sebagai integrasi nasionalisme dalam hukum Islam.
[1] Muhammad Ali Daud, Asas-Asas
Hukum Islam, Jakarta Rajawali Pres, Hal, 98