Kekuasaan Kehakiman
Friday, 19 August 2016
SUDUT HUKUM | Lahirnya konsep
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim
dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan
hukum yang dibuat.[1] Sangat dapat
dipahami, dalam negara hukum, hukum dimaknai sebagai penguasa yang bertugas menciptakan
keadilan. Pengadilan sebagai tempat memproduksi keadilan tersebut seharusnya
dapat memulai dengan sebuah proses yang bebas dan tidak memihak. Kebebasan ini
penting agar hakim, jaksa dan perangkat pengadilan yang lain dapat bekerja
tanpa harus mengkhawatirkan intervensi dari pihak lain atau cabang kekuasaan
lain.
Hal
ini disebabkan karena akan berdampak pada kualitas putusan yang akan
dihasilkan. Proses peradilan yang penuh intervensi hanya akan menghasilkan
putusan yang tidak adil. Oleh karenanya sangat penting untuk menjaga kebebasan
dan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman dalam konteks negara hukum.
Pentingnya
konsep Kekuasaan Kehakiman yang merdeka didasari atas beberapa hal sebagai
berikut:[2]
- Pemegang Kekuasaan Kehakiman harus netral terhadap segala bentuk sengketa antara pemegang kekuasaan dengan rakyat. Sebab itu, Kekuasaan Kehakiman harus lepas dari pengaruh kekuasaan lain
- Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang lemah disbanding kekuasaan legislatif dan eksekutif. Maka dari itu, perlu penguatan normatif, misalnya larangan tentang segala bentuk campur tangan terhadap Kekuasaan Kehakiman.
- Kekuasaan Kehakiman menjamin tidak dilanggarnya prinsip “setiap kekuasaan tunduk pada hukum”
- Dalam konteks demokrasi. Untuk menjamin terlaksananya undang-undang sebagai wujud kehendak rakyat, diperlukan badan netral yaitu Kekuasaan Kehakiman yang mengawasi, menegakkan, atau mempertahankan undang-undang.

Kebebasan
Kekuasaan Kehakiman atau istilah umumnya adalah independensi dalam suatu negara
haruslah dijamin dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan Kekuasaan Kehakiman yang
bebas merupakan unsur mutlak untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan yang
berkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukum. Tanpa kehadiran Kekuasaan
Kehakiman yang bebas, makan tidak akan ada demokrasi dan negara berdasarkan
hukum (democratische rechtstaat).[3]
Secara konsepsi,
menurut Bagir Manan kemandirian dari Kekuasaan Kehakiman dapat diartikan
sebagai berikut:[4]
- Kemandirian secara lembaga. Maksudnya adalah bahwa secara kelembagaan Kekuasaan Kehakiman tidak merupakan subordinat dari lembaga negara tertentu sedangkan prinsip yang digunakan adalah pemisahan kekuasaan
- Kemandirian secara individual hakim. Dimana hakim mempunyai otoritas penuh dalam memutuskan suatu perkara, termasuk dalam menemukan dan menerapkan hukum. Hakim harus diberi kemerdekaan dalam mengambil putusan yang terbaik dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Oleh karenanya code of conduct hakim menjadi sangat diperlukan dan harus ada lembaga yang mengawasi ditaatinya code of conduct tersebut.
- Kemandirian dalam proses peradilan. Maksudnya adalah proses perdilan harus steril dari segala macam intervensi eksternal.
Baca Juga
Jaminan kemerdekaan
dan indepedensi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang
signifikan.Sebelum perubahan UUD 1945, penyelenggara kekuasaan kehakiman di
Indonesia dilaksanakan MA dan badan-badan kehakiman di bawahnya, dengan
susunan, kekuasaan dan syaratsyarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim
diatur dengan undangundang,[5] dijalankan
secara merdeka, terlepas dari pengaruh eksekutif.[6]
Kemudian
direalisasikan pertama kali pasca Dekrit 5 Juli 1959 dengan Udang-Undang Nomor
19 Tahun 2964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian diubah kembali dengan
Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang
Nomor 4 tahun 2004. Secara konstitusional diatur di dalam Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut dapat diartikan bahwa penjamina atas Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia diatur secara tegas, sebagai upaya perbaikan setelah
dulu pasca era Orde Baru Kekuasaan Kehakiman berada dalam ‘tekanan’ kekuasaan
eksekutif akibat kebijakan pembinaan hakim dua atap yang dulu berlaku.
[1]
Bagir
Manan, 2007, Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 ,
Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 66-67.
[2] Ibid. hlm. 40.
[3]
Bagir
Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia (edisi revisi), Bandung: Alumni,
hlm. 40.
[4] Ibid. hlm. 44.
[5] Lihat Pasal 24 dan 25 UUD 1945.
[6] Lihat Penjelasan Pasal 24 dan
Pasal 25 UUD 1945.