Metode Penemuan Hukum
Sunday, 28 August 2016
SUDUT HUKUM | Pada hakikatnya tidak
ada perundang-undangan yang selengkaplengkapnya atau sejelas-jelasnya
dalam mengatur seluruh kegiatan manusia. Pada kenyataannya aturan
perundang-undangan bersifat stastis dan rigid (kaku), sedangkan manusia
selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sehingga dapat
dimengerti kalau kemudian muncul suatu ungkapan “Het recht hink
achter de feiten ann”, bahwa hukum tertulis selalu ketinggalan dalam peristiwanya.
Suatu
perundangan-undangan yang tidak jelas harus dijelaskan terlebih dahulu, sedangkan
peraturan perundang-undangan yang tidak lengkap tidak dapat secara langsung
diterapkan terhadap peristiwanya. Demikian pula jika peraturan perundang-undangan
tidak ada, maka harus dibentuk atau diciptakan aturan hukumnya. Oleh karena
itu dalam menghadapi suatu peristiwa konkrit harus ditemukan hukumnya
yaitu dengan menjelaskan, melengkapi, dan menciptakan aturan hukumnya.

Apabila peraturan
perundang-undangan tidak jelas digunakanlah metode Interpretasi, apabila
peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode
argumentasi dan apabila peraturan perundang-undangannya tidak ada digunakan
metode konstruksi hukum.
Menurut Sudikno
Mertokusumo dalam bukunya “Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum”,
Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat juga terjadi hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya? Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode berpikir analogi, metode penyempitan hukum dan metode a contartio.
Beberapa metode
penemuan hukum yang selama ini sudah dikenal dan dilakukan dalam praktek
antara lain: metode Interpretasi, argumentum a contrario,
rechtvervijning, fiksi hukum dan eksposisi (konstruksi hukum).
Metode Interpretasi (Penafsiran)
Metode Interpretasi adalah
metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan
yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap
peristiwa konkret tertentu. Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi
juga oleh peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus
(konflik) dan peraturan-peraturan hukum.
Menafsirkan
undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim. Tugas penting dari hakim
ialah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Dengan
kata lain apabila undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya
sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum
yaitu mencapai kepastian hukum.
Sekalipun penafsiran
merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan
mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu. Hakim seyogyanya
harus tunduk pada kehendak pembuat undangundang. Dalam hal kehendak
itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan
perundang-undangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam
sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam
pergaulan sehari-hari.
Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena
ia tidak boleh menafsirkan tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu.
Jadi kehendak pembuat undang-undang adalah batasan bagi hakim dalam
menafsirakn suatu undang-undang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaedah yang mengikat,
kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang
saja yang menjadi tafsiran yang tepat. Bandingkan dengan pendapat
Logemann.
Dalam praktik, tidak
ada prioritas dalam penggunaan dalam metode Interpretasi. Oleh
karena itu metode Interpretasi dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan
dengan beberapa metode Interpretasi sekaligus. Dalam hal ini hakim mempunyai
kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan metode Interpretasi
tertentu, tetapi yang terpenting bagi hakim adalah Interpretasi yang dipilih adalah dapat
tepat sasaran, yaitu dapat memperjelas ketentuan peraturan perundang-undangan
sehingga dapat secara tepat diterapkan terhadap peristiwanya.
Karena itulah dalam penyusunan
tesis ini penyusun hanya akan menggunakan beberapa
interpretasi yang dapat dipergunakan untuk memahami maksud pembuat
undang-undang Bahasa ini terutama dalam memahami pasal 31 Undang-undang Nomor
24 Tahun 2009 yang menjadi objek penyusunan tesis ini.
Dalam ilmu hukum dan
praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode Interpretasi,
yaitu:
- Interpretasi subsumptif,
- Intprestasi gramatikal,
- Interpretasi sistematis/logis,
- Interpretasi historis,
- Interpretasi teologis/sosiologis,
- Interpretasi komparatif,
- Interpretasi antisipatif/futuristis,
- Interpretasi restriktif,
- Interpretasi ekstentif,
- Interpretasi otentik/secara resmi,
- Interpretasi interdisipliner,
- Interpretasi multidisipliner,
- Interpretasi dalam perjanjian.
Lebih lanjut berupa
metode Interpretasi tersebut akan diuraikan di bawah ini.
a. Interpretasi subsumptif.
Metode yang digunakan
adalah penerapan silogisme. Silogisme adalah bentuk berfikir logis dengan
mengambil kesimpulan dari hal-hal yang besifat umum (premis mayor atau
peraturan perundang-undangan) dan hal-hal yang bersifat khusus (premis minor
atau peristiwanya).
b. Intprestasi
gramatikal.
Metode yang digunakan
adalah menafsirkan kata-kata atau istilah-istilah dalam
perundang-undangan sesuai kaedah bahasa (hukum tata bahasa) yang berlaku. Bahasa
merupakan sarana yang penting bagi hukum, karena merupakan alat satu-satunya
yang dipakai pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal-pasal dan penjelasannya. Metode Interpretasi
gramatikal ini merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk
mengetahui makna yang terkandung di dalam pasal-pasal tersebut. Dalam
mengungkapan maknanya disamping harus memenuhi standar logis, juga harus
mengacu pada kelaziman bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat.
Penafsiran ini
penting untuk mencari arti, maksud dan tujuan dari kata-kata atau istilah yang
digunakan dalam suatu kaidah hukum, dengan memperhatikan apakah kata-kata itu
kata kerja, kata benda, kata sifat atau keadaan, kata ganti, ataukah kata dasar,
kata jadian, kata ulang, kata majemuk, atau kata imbuhan dengan awalan sisipan
dan akhiran, atau kata depan, dan sebagainya.
c. Interpretasi Sistematis/logis.
Metode yang digunakan
adalah menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan
menghubungkannya dengan peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan
sistem hukum. Hukum dilihat sebagai suatu kesatuan atau sebagai sistem
peraturan. Artinya tidak satupun dari peraturan perundangan tersebut dapat
ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam
kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkan peraturan
perundang-undangan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan
suatu negara.
d. Interpretasi Historis.
Metode yang digunakan
adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan
jalan meneliti sejarah, baik sejarah hukumnya, maupun sejarah terjadinya
Undang-undang. Dengan demikian ada dua macam interpretasi historis, yaitu:
Pertama, interpretasi
menurut sejarah pengaturannya atau sejarah undangundangnya (wets historisch) adalah
mencari maksud dari perundang-undangan itu seperti apa dalam hal
ini dilihat dari pembentuk undang-undangnya. Jadi dalam Interpretasi ini,
kehendak pembuat undang-undang itu sangat menentukan. Kedua, Interpretasi menurut
sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechts
hisoris) adalah metode Interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh
sejarah hukumnya, khususnya yang terkait dengan lembaga hukumnya.
Hakim yang bermaksud
mengetahui makna kata atau kalimat dalam suatu undang-undang harus
menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran pasal tertentu itu
dirumuskan. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah terjadinya peraturan tertentu
dan apa yang merupakan latar belakang pasal, maksud dan tujuan peraturan itu
ditetapkan atau dimasukannya pasal-pasal tertentu ke dalam suatu peraturan. Jadi
yang dilihat bukan kata demi kata atau kalimat demi kalimat, melainkan kebulatan
peraturannya atau pasal-pasalnya.
Di dalam praktik
peradilan para hakim, jaksa, pembela atau penasehat hukum akan terlebih dahulu
berhadapan dengan ketentuan perundangan, yang memerlukan penafsiran
itu dibuat dan ditetapkan. Untuk itu maka perlu dipelajari laporan-laporan,
surat-surat, keterangan atau penjelasan tertulis ketika peraturan itu dibuat. Misalnya
diteliti berita acara sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kemudian penafsiran
yang terbatas untuk mengetahui latar belakang penetapan
undang-undang itu dapat diperluas dengan meneliti latar belakang sejarah hukumnya,
yaitu asal-usul dan sistem hukumnya. Apakah sistem hukum itu berasal dari
sistem hukum asing, dari negeri Belanda yang dipengaruhi hukum Perancis, apakah
sistem hukum itu sesuai dengan sistem hukum Indonesia berdasarkan hukum
Pancasila, dan sebagainya.
e. Interpretasi teologis/sosiologis.
Dengan Interpretasi
teologis (Sosiologis), hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
pembentuk undang-undang sehingga tujuan lebih diperhatikan dari
bunyi kata-katanya. Interpretasi teologis terjadi apabila makna Undang-Undang itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan undang-undang
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Undang-undang yang sudah
usang harus ditafsirkan dengan berbagai cara dalam memecahkan perkara
yang terjadi sekarang.
Melalui Interpretasi
ini hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara
sifat positif dari hukum (rechtspositiveit) dengan kenyataan hukum (rectswerkelijkheid),
sehingga jenis Interpretasi sosiologis atau teologis menjadi sangat
penting. Sebagai contoh ada sebuah undang-undang yang masih berlaku tetapi
sebenarnya jiwanya sudah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan zaman. Kemudian berdasarkan Interpretasi sosiologis/teologis
undang-undang ini kenyataannya masih diterapkan terhadap peristiwa atau kasus
masa kini, maka sudah barang tentu sebenarnya undangundang itu tidak layak lagi
dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim, dan kalaulah dipaksakan
penerapannya keadilan masyarakat tidak akan tercapai karena sudah tidak
sesuai lagi.
f. Interpretasi komparatif.
Metode penafsiran
dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum. Interpretasi
Komparatif digunakan untuk mencari kejelasan mengenai suatu ketentuan
perundang-undangan dengan membandingkan undang-undang yang satu dengan yang
lain dalam suatu sistem hukum atau hukum asing lainnya.
g. Interpretasi antisipatif/futuristis.
Metode interpretasi
antisipatif adalah metode penafsiran atas apa yang hendak dicapai
(diantisipasi) oleh perumus peraturan perundang-undangan pada saat peraturan
perundang-undangan dirumuskan. Dengan kata lain, metode ini sangat penting untuk
memperoleh pemahaman yang baik dan benar mengenai "untuk melindungi siapa atau
apa suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dirumuskan".
h. Interpretasi restriktif.
Interpretasi
restriktif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dimana ruang lingkup
ketentuan itu dibatasi dengan berititik tolak pada artinya menurut
bahasa. Dengan demikian Interpretasi restriktif adalah metode interpretasi yang
bersifat membatasi.
i. Interpretasi ekstentif.
Metode penafsiran
yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi
gramatikal. Jadi interpretasi ekstensif figunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan
undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi
gramatikal. Contoh: Perkataan “menjual” dalam pasal 1576 KUHPerdata oleh hakim
ditafsirkan secara luas yaitu bukan hanya semata-mata hanya berarti jual
beli, tetapi juga menyangkut peralihan hak.
Pada umumnya
interpretasi historis menurut undang-undang dan interpertasi teologis bersifat
memperluas makna suatu ketentuan undang-undang. Sedangkan interpretasi
ekstentif dan restriktif didasarkan pada hasil dan akibat dari penemuan berbagai metode
interpretasi.
j. Interpretasi otentik/secara resmi.
Penafsiran otentik
ini biasanya dilakukan oleh pembuat undang-undang sendiri dengan
mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan di dalam suatu peraturan. Dalam
jenis interpretasi ini hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan
cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang
itu sendiri.
k. Interpretasi interdisipliner.
Interpretasi jenis
ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai
disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang
ilmu hukum.
l. Interpretasi multidisipliner.
Seorang Hakim harus
juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.
m. Interpretasi dalam perjanjian.
Interpretasi terhadap
kontrak atau perjanjian dalam praktik hukum mengalami perkembangan,
mengingat perjanjian merupakan kumpulan kata dan kalimat yang sifatnya interpretable
(dapat ditafsirkan), baik oleh para pihak yang berkepentingan,
undang-undang maupun oleh hakim. Sementara itu dalam aturan perundang-undangan
sendiri tidak memberikan pedoman dan kepastian hukum tentang bagaimana
seharusnya dalam menafsirkan perjanjian terutama ketika muncul adanya
perbedaan penafsiran antar satu pihak dengan pihak lainnya.
Metode Argumentasi
Interpretasi adalah
metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas
untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim
harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang
khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang
harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak
memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak
lengkap hukumnya (pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Untuk mengisi kekosongan itu digunakanlah metode
itu digunakanlah metode berfikir analogi, penyempitan hukum dan a
contrario.
a. Argumentum per Analogiam
Terhadap peraturan
perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya. hakim akan
memperluaskan dengan metode argumentum per analogiam atau analogi untuk dapat
menerapkan undang-undang pada peristiwanya. Dengan analogi maka
peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang
diperlakukan sama.
Analogi dapat
diterapkan apabila menghadapi peristiwa yang mirip termasuk juga apabila
kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang sama. Analogi selain
sebagai salah satu metode penemuan hukum juga sebagai penciptaan sesuatu
hal yang baru. Di dalam hukum pidana analogi dilarang.
b. Penyempitan hukum
Dalam penyempitan
hukum dibentuk pengecualian-pengecualian atau penyimpangan baru
dari peraturan-peraturan yang bersifat umum.
c. Argumentum a Contratio
Ada kalanya suatu
peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undnag, tetapi kebalikan dari
peristiwa itu diatur oleh undang-undang. Cara menemukan hukum dengan
pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk
peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya, ini
merupakan argumentum a contrario.
Penemuan Hukum Bebas
Makin tua suatu
undang-undang makin banyak terdapat kekosongan di dalamnya karena itu
hakim harus aktif dalam menemukan hukum untuk mengisi kekosongan tersebut.
Di sini hakim berfungi sebagai pencipta hukum. Penemuan hukum yang tidak
terikat pada undang-undang disebut penemuan hukum bebas.
Penemu hukum yang
bebas tugasnya bukanlah menerapkan undangundang tetapi menciptkan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit tertentu sehingga peristiwa
berikutnya dapat dipecahkan menurut kaedah yang telah diciptakan oleh hakim.