Pendapat Imam Asy-Syafi’i tentang Upah Adzan dan Iqamat
Wednesday, 3 August 2016
SUDUT HUKUM | Adzan berfungsi sebagai media atau alat untuk member
informasi atau peringatan kepada kaum muslimin sehubungan dengan masuknya waktu
shalat. Adzan adalah panggilan dengan satu cara yang memperingatkan
manusia dengan kata-kata yang berarti (manfaat) dan menarik perhatian. Tidak
hanya disitu, adzan melibatkan muadzin dan yang mendengar seruan adzan,
keduanya memiliki unsur timbal balik. Dengan kata lain, adzan sebagai salah satu
instrumen yang berfungsi untuk mengingatkan kaum muslimin akan datangnya waktu
shalat.
Adapun mengenai persewaan muadzin, maka sebagian
fuqaha tidak mempunyai keberatan terhadapnya, sedang sebagian lainnya memakruhkannya,
fuqaha yang memakruhkan dan melarangnya beralasan dengan hadits yang
diriwayatkan dari Utsman bin Abu ‘IAshri.
Beliau berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسّلم: اتخذ مؤّذنا لا يأخذ على اذانه اجرا
Rasulullah saw bersabda: “Ambillah muadzin yang tidak mengambil upah atas adzannya”.
Sedang mereka yang membolehkan penyewaan seorang muadzin,
maka mereka menyamakan perbuatan tersebut dengan perbuatan-perbuatan yang tidak
wajib.
Imam Asy-Syafi’i di dalam menanggapi permasalahan
tentang upah adzan ini, sebagaimana yang beliau kemukakan didalam kitab al-Umm,
adalah sebagai berikut:
واحب ان يكون المؤذنون متطوعين وليس للامام ان يرزقهم ولا واحدا منهم وهو يجد من يؤذن له متطوعا ممن له امانة الا ان يرزقهم من ماله ولا أحسب أحدا ببلد كثير الاهل يعوزه ان يجد مؤذنا أمينا لازما يؤذن متطوعا فان لم يجده فلا بأس ان يرزق مؤذنا
Aku menyukai muadzin dengan tidak mengambil upah dari adzannya. Dan yang berwajib (pemerintah) tidak boleh mengangkat muadzin yang bergaji, jika ada muadzin yang mau menjalankan tugas beradzan secara sukarela, saya berpendapat bahwa dalam suatu kota besar, tentu didapati seorang nuadzin yang dapat dipercaya yang tetap mau beradzan dengan sukarela. Apabila tiada diperoleh, maka barulah boleh muadzin diangkat dan digaji”.
Dengan demikian dalam permasalahan tersebut
bahwasanya Imam Asy-Syafi’i lebih menyukai seorang muadzin tidak meminta upah
dengan syarat ada orang yang beradzan secara sukarela.
Pendapat beliau ini berpijak kepada hadits
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam yang lima dan dihasankan oleh Tirmidzi
dan disyahkan oleh Hakim:
وعن عثمان ابن ابىالعاص رضى الله عنه قال يا رسول الله اجعلنى امام قومى فقال:
انت امامهم واقتد بأضعفهم واتخذ مؤذنا لا يأخذ على اذانه اجرا- (رواه احمد وابو داود ةالنّسائى
Dari Utsman bin Abil ‘Ash: Aku pernah berkata pada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagian imam shalat bagi kaumku”. Sabda berliau: “Engkau adalah imam dari kaumku hanya saja perhatian orang-orang yang lemah yang ikut shalat bersamamu dan pilihlah seorang muadzin yang tidak mau menerima upah dari adzan yang dilakukannya”.
Demikian juga Syekh Imam Abi Bakar, dalam kitabnya,
beliau memaparkan qaul jadidnya Imam Asy-Syafi’i tertera.
قال فى الجديد:
وليس للامام ان يرزقهم وهو يجد من يؤذن له متطوعا ممن له امانة ١٠
Bahwa seorang pemimpin (pemerintah) tidak boleh memberi upah terhadap muadzin selagi ia mendapatkan seorang muadzin secara sukarela”
Dalam menentukan hukum adanya upah berbuat taat,
para ulama berpendapat, dan madzhab-madzhab mereka:
1. Madzhab Hanafi
Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang
lain untuk adzan tidak dibolehkan, dan hukumnya haram mengambil upah tersebut,
berdalil kepada sabda Nabi saw kepada Amru bin Ash.
Menurut mereka dalam upah berbuat taat seperti upah adzan
termasuk perbuatan yang tergolong takarrub, apabila berlangsung, pahalanya
jatuh kepada si pelaku, karena itu tidak boleh mengambil upah dari orang lain
untuk pekerjaan itu.
2. Madzhab Maliki
Lain halnya dengan pendapat Imam maliki, beliau membolehkan
mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur'an dan ilmu, karena itu
termasuk jenis imbalan dan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang
diketahui pula.
Pendapat madzhab ini diperkuat oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Ibnu Abbas r.a:
ان أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله
Sesungguhnya upah yang paling hak untuk kamu diambil ialah imbalan dan kitabullah”.
Rujukan:
- Ahmad Zaki Yamam, Syari’at Islam Yang Abadi, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986).
- A. Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Wijaya, 1981),
- Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, Bairut, Libanon : Dar al-Kutub Ilmiyah, t.th.
- Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin I, Baerud, Dar al-Ihya Kutub al-Arobiyah, t.th
- Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al Umm, Juz I, Bairut: Dar Al Fikr, tth,
- Al-Hafidz Ibnu Hajar As- Qalany, Bulughul Maram, t.th. Bairut,tt.
- Imam Abi Bakar, Ma’rifatus Sunnah Wal Atsar, Jilid I, Dar Kutub Ilmiah, Beirut, t.th.,
- Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987).