Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Arti Fi Sabilillah
Wednesday, 3 August 2016
SUDUT HUKUM | Sebelum mengupas pendapat para ulama kontemporer, penulis perlu memberi
penegas bahwa yang dimaksud ulama kontemporer oleh penulis adalah para ulama
yang masa hidupnya jauh dari tabi’it - tabi’in, dan yang masa rentang hidupnya
masih dekat dengan kita. Diskripsi para ulama kontemporer ini dipandang sangat
perlu untuk melengkapi data penegasan fi
sabilillah menurut pada ulama generasi salaf.
Ditegaskan oleh Saifuddin Zuhri, memang secara kontemporer keadaan
sudah berubah secara lebih kompleks dalam rentan ruang dan waktu yang membangun
budaya dan peradaban manusia. Maka tidak cukup sabilillah diartikan secara
harfiah, yakni sabilillah adalah sabil al-khoir yang berarti jalan kebaikan. Menurut Ahmad Mustafa al-Maraghi, yang dimaksud sabilillah adalah kemaslahatan
umum kaum muslim, yang karenanya luruslah urusan agama dan negara, bukan urusan
individual jadi bukan untuk kepentingan haji sebab haji diperuntukkan bagi
orang yang mampu saja.
Sejalan dengan Al - Maraghi adalah Rasyid Ridha, yang memaknai sabilillah adalah segala bentuk
kemaslahatan umat yang dengannya tegak urusan Agama dan Pemerintahan.
Ditegaskannya pula, pentasyarufan pada golongan sabilillah bukan untuk kepentingan
pribadi dan juga tidak untuk jamaah haji.
Akan tetapi demi untuk kepentingan syiar ibadah haji dan
kepentingan umat untuk melaksanakannya, seperti mengamankan jalan - jalan untuk
dilalui, memenuhi kebutuhan air dan makanan, serta mengurus kesehatan jamaah
haji, maka hal demikian diperkenankan mengunakan dana dari bagian sabilillah.
Ditambahkan lagi oleh Rasyid Ridha, bahwa yang termasuk sabililah adalah mendirikan
sekolah - sekolah para penyiar Islam ( para da’i ) dan segala usaha untuk
mengembalikan tegaknya hukum Islam dan mengajak orang padanya, serta
mempertahankan Islam dengan lidah, tulisan pena mereka, jelasnya segala jenis
usaha untuk melawan propaganda kafir.
Menurut Mahmud Saltut sebagaimana yang dikutip Yusuf Qardawi menyatakan
bahwa Mahmud Saltut tidak pernah mendapatkan arti sabilillah dalam al - Qur'an
selain arti kebajikan secara umum, kebaikan yang merata, termasuk penjelasan
ayat pendayagunaan zakat ( at-Taubah : 60 ). Anehnya dengan sudah jelas dikehendaki keumumannya tersebut,
justru kebanyakan manusia menyatakan kekhususannya hanya pada haji atau hanya
untuk orang yang berperang.
Adapun menurut Yusuf Qardawi, jika dilihat konteks ‘Urf sekarang
maka pemaknaan secara l uas arti sabilillah
guna terbentuknya kemaslahatan umum, ini jika
melihat makna asal lafadz sabilillah yang mencakup segala sesuatu yang bermanfaat pada kaum muslimin,
seperti mendirikan masjid, sekolah rumah sakit, dan amal kebajikan lainnya.
Ditambahkan oleh Yusuf Qardawi bahwa, berperang membela Agama Allah
juga bagian dari jalan yang akan menyampaikan pada keridhoan Allah SWT.
Sehingga kandungan sabilillah dalam al-Qur'an dapat berarti perang seperti yang tertera pada
surat an-Nisa ayat 95:
Tidaklah sama antara mu'min yang duduk ( yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orangorang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga ) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar”. (an - Nisa/4: 95 ).
Ditegaskan lebih lanjut oleh Yusuf Qardawi bahwa, sabilillah juga tidak selamanya
berarti perang, namun juga dapat berarti kebajikan yang menyampaikan kepada
keridhaan Allah SWT, sebagaimana surat al - Baqarah, ayat 261:
Perumpamaan ( nafkah yang dikeluarkan oleh ) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan ( ganjaran ) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas ( kurnia - Nya ) lagi Maha Mengetahui”. ( al – Baqoroh / 2: 261 ).
Penjelasan dari Yusuf Qardawi diatas dipertegas oleh Muhammad
Quraish Shihab (mufassir Indonesia), bahwa jihad dalam Islam mencakup jihad
dengan jiwa dan harta, sehingga perluasan makna fisabilillah atau madlul jihad masuk
pada kontek qiyas (analogi). Adapun Syaikhul Hadi Permono menjelaskan bahwa, fisabilillah mempunyai tiga
klasifikasi arti.
Pertama, mempunyai arti perang, pertahanan dan
keamanan Islam. Kedua, mempunyai
arti kepentingan keagamaan Islam.
Ketiga, mempunyai arti kemaslahatan
atau kepentingan umum. Lebih lanjut ditegaskannya, bahwa jalan menuju ridha
Allah telah meliputi ketiga klasifikasi di atas.
Dalam hal ini Masdar F. Mas’udi dalam bukunya yang berjudul Keadilan: Risalah Zakat (Pajak ) dalam Islam, berpendapat bahwa, dana zakat untuk sector sabilillah pentasyarufannya untuk
kebutuhan - kebutuhan sebagai berikut:
- Menyelenggarakan sistem kenegaraan atau pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan rakyat.
- Melindungi keamanan warga negara dari kekuatan - kekuatan destruktif yang melawan hak - hak kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka yang sah.
- Menegakkan keadilan hukum bagi segenap warga negara.
- Membangun dan memelihara segala sasarana dan prasarana umum, yakni semua sarana prasarana demi kepentingan hajad hidup orang banyak.
- Untuk membangun sumber daya manusia. Meningkatkan kualitas manusia dalam rangka menunaikan tugas sosialnya untuk membangun peradaban di muka bumi ( ta’mirul ardl).
- Usaha-usaha lain yang diperuntukkan untuk mewujudkan cita - cita keadilan sosial dan kesejahteraan umat.
Dari urain bab ini dapat diketahui bahwa secara garis besar para
ulama kontemporer memaknai sabilillah mencakup arti khusus dan arti umum, berdasar kaidah. “Yang menjadi pegangan adalah arti umumnya kata-kata bukan karena sebab
yang khusus”. Dan tidak hanya masalah metodologi yang menyebabkan para ulama
berbeda interpretasi atas pemaknaan sabilillah,
tetapi juga ushul dimana para ulama terkait
bermukim. Namun hal inilah yang harus disyukuri sebab akan memperkaya khasanah
pengetahuan generasi yang akan datang.
Rujukan:
Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta Pustaka Firdaus, 1993,
Muslih
Usman, MA, Kaidah Qowaidul Fiqhiyyah
Jakarta :PT Raja Grafindo, 1999,
Saifudin Zuhri, Zakat Kontekstual, Semarang:
Bima Sejati, Cet I, 2000.
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (trj),
Semarang: Toha Putra. Cet I, 1987.
Sayid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'anul Karim Lias-saikh Muhammad Abduh, Juz X, Mesir: Maktabah al-Qohiroh t.th.
Saifudin Zuhri, Zakat Kontekstual, Semarang:
Bima Sejati, Cet I, 2000.
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (trj),
Semarang: Toha Putra. Cet I, 1987,
Sayid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'anul Karim Lias-saikh Muhammad Abduh, Juz X, Mesir: Maktabah al-Qohiroh t.th.
Muhammad Quraish Shisab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2002,
KH. Syaikhul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995.