Sejarah Notaris Di Belanda dan Indonesia
Friday, 19 August 2016
SUDUT HUKUM | Belanda dijajah Perancis pada
periode tahun 1806 sampai dengan tahun 1813 oleh Raja Louis
Napoleon, sehingga secara otomatis sebagai Negara jajahan Perancis
Belanda mengadopsi sistem kenotariatan bergaya Latin yang
dianut oleh Perancis. Melalui Dekrit Kaisar tertanggal 1 Maret 1811
berlakulah undang-undang kenotariatan Perancis di Belanda.
Peraturan buatan Perancis ini (25 Ventose an XI
(16 Maret 1803))
sekaligus menjadi peraturan umum pertama yang mengatur
kenotariatan di Belanda.
Setelah Belanda lepas dari
kekuasaan Perancis pada tahun 1813, peraturan buatan Perancis ini
tetap dipakai sampai tahun 1842 yakni pada saat Belanda mengeluarkan
Undang-Undang tanggal 19 Juli 1842 (Ned. Stb no 20) tentang Jabatan Notaris.
Undang-undang Jabatan Notaris atau “Wet op
het Notarisambt” (Notariswet) pada dasarnya tetap mengacu pada undang-undang
buatan Perancis sebelumnya (Ventosewet) dengan
penyempurnaan pada beberapa pasal, misalnya tentang penggolongan Notaris,
dewan pengawas, masa magang dan proses teknis pembuatan akta.
Undang-undang kenotariatan
Belanda hasil “penyempurnaan” dari undang-undang kenotariatan
Perancis ini tidak ikut diadopsi ke ranah hukum Indonesia pada saat
Belanda menjajah Indonesia. Justru yang berlaku adalah peraturan
lama yang dipakai Belanda sebelum dijajah Perancis. Baru pada tahun
1860, peraturan yang “senada” dengan peraturan kenotariatan
Belanda (Notariswet) berlaku dengan dikeluarkannya Peraturan Jabatan Notaris
(PJN) pada tanggal 1 Juli 1860. Sehingga bila ditelusuri
maka undang-undang kenotariatan yang berlaku di Indonesia sekarang
dulunya berasal dari peraturan kenotariatan Perancis yang
berlaku di Belanda yang kemudian telah disempurnakan. Peraturan Jabatan Notaris
adalah copie dari pasalpasal dalam Notariswet
yang berlaku di Belanda.
Keberadaan jabatan Notaris
pertama kali di Indonesia pada tanggal 27 Agustus 1620 dengan
diangkatnya seorang Belanda bernama Melchior Kerchem (Kerchem)
yang merupakan seorang sekretaris dari “College van
Schepenen” di Jacatra, beberapa bulan setelah Jacatra dijadikan sebagai
Ibukota (tanggal 4 Maret 1621 dinamakan Batavia). Kerchem
ditugaskan untuk kepentingan publik khususnya berkaitan dengan pendaftaran
semua dokumen dan akta yang telah dibuatnya. Awalnya,
para Notaris adalah pegawai VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) sehingga tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan
tugasnya sebagai pejabat umum yang melayani masyarakat. Baru sesudah
tahun 1650 Notaris benar-benar diberikan kebebasan dalam
menjalankan tugasnya dan melarang para prokureur mencampuri
pekerjaan kenotariatan.
Pada jaman itu adanya kebijakan
dari pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan formasi atau
kouta Notaris disetiap daerah. Awalnya Notaris di Jakarta
hanya Kerchem, kemudian pada tahun 1650 ditambah menjadi dua orang.
Kemudian ditambah lagi menjadi tiga orang pada tahun 1654, kemudian
ditambah menjadi lima orang pada tahun 1671, dengan ketentuan
empat orang harus bertempat tinggal di dalam kota dan satu orang
bertempat tinggal diluar kota. Tujuannya agar masing-masing Notaris
bisa mendapatkan penghasilan yang layak.
Setelah Indonesia merdeka, 17
Agustus 1945 pemerintah tidak segera mengembangkan konsep
peraturan baru terkait keberadaan Notaris di Indonesia.
Keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal 2
Aturan Peralihan (AP) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “segala
peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.[1] Berdasarkan
ketentuan dalam ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan (AP)
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Reglement op Het
Notaris Arnbt in Nederlands Indie (Stbl. 1860 : 3) tetap diberlakukan, sehingga
Peraturan Jabatan Notaris yang berlaku sejak tahun 1860 terus dipakai
sebagai satu-satunya undang-undang yang mengatur kenotariatan di
Indonesia sampai tahun 2004, sedangkan dari berbagai segi
Peraturan Jabatan Notaris sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Bila dibandingkan dengan peraturan induknya yakni Notariswet
sendiri telah beberapa kali mengalami perubahan untuk
menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan bisnis di negeri
Belanda, sehinga perubahan terhadap Peraturan Jabatan Notaris
adalah sebuah hal yang sudah tidak bisa dihindarkan.
Sejak tahun 1948 kewenangan
pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman (sekarang
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), berdasarkan Peraturan
Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948 Tentang
Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan, dan Tugas Kewajiban
Kementrian Kehakiman. Kemudian pada tanggal 13 November 1954
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara. Dalam pasal 2 ayat (1) undangundang tersebut menyatakan bahwa:
- Kalau Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaanpekerjaan Notaris itu;
- Sambil menunggu ketentuan menteri kehakiman itu, ketua pengadilan dapat menunjuk seorang yang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris yang dimaksud dalam ayat (1).[2]
Perubahan terhadap Peraturan
Jabatan Notaris baru dapat terlaksana sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, tentang Jabatan Notaris
pada tanggal 6 Oktober 2004 yang berlaku secara serta merta maka
Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan ord.stbl 1860 Nomor 3
yang berlaku sejak tanggal 1 juli 1860 sudah tidak berlaku lagi.
Sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pada
tanggal 6 Oktober 2004 tersebut maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal
91 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi:
- Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;
- Ordonantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris;
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
- Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
- Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.
Ditegaskan dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(selanjutnya disebut UUJN), bahwa Undang-Undang Jabatan Notaris
merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara
menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris
sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku
untuk semua penduduk di wilayah Negara Republik Indonesia. UUJN
menjadi satu-satunya undangundang yang mengatur tentang Jabatan Notaris
di Indonesia sejak diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004.
[1] Indonesia, Undang Undang Dasar
1945, Ps. 2 Aturan Peralihan.
[2]
Indonesia,
Undang-Undang Jabatan Wakil Notaris Dan Wakil Notaris
Sementara, UU No.33 tahun 1954, LN No.101 Tahun 2004.
TLN No.700, Ps.2.