Upaya Damai (Mediasi, Pengertian, Sejarah dan Model-Modelnya)
Friday, 19 August 2016
SUDUT HUKUM | Secara etimologi, mediasi berasal dari bahasa latin mediare yang artinya “ditengah”. Makna tersebut menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Sehingga bila ditilik dari terminologinya, mediasi merupakan “sebuah forum di mana mediator melakukan interaksi dan pembicaraan dengan para pihak yang bersengketa”.
Dalam kamus besar, mediasi adalah “proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat”. Mediasi disebut sebut sebagai “upaya penyelesaian perkara secara damai melalui juru damai/ penengah yang dilakukan di luar persidangan”.
Valerine JL Kriekhoff sebagaimana disampaikan oleh Zainuddin Fajari dalam tulisannya Adi Yono bahwa mediasi adalah “salah satu bentuk interaksi antara dua individu atau kelompok dengan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistik atau salah satu cara menyelesaikan masalah di luar peradilan”.
Dalam PERMA Nomor 1 tahun 2008 Pasal 1 ayat (6) dan (7) menyebutkan “mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dibantu oleh seorng atau lebih mediator, di mana mediator merupakan pihak netral yang membantu para pihak dalam mencari kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Secara terminology, pengertian mediasi sangat bervariasi. Menurut Rachmadi, mediasi adalah sebuah proses negosiasi penyelesaian masalah di mana suatu pihak luar, tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Tidak seperti halnya dengan para hakim dan arbiter, mediator mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, malahan para pihak memberi kuasa pada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan problem diantara mereka.
Menurut Tolberg dan Taylor yang dimaksud dengan mediasi adalah “suatu proses di mana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari alternatif dan dapat mempercaya penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka”.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Christhopher W. More dalam Yahya Harahap bahwa, mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa bukan merupakan bagaian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.
Mengutib dalam buku Gatot, terdapat sebuah istilah”Mediation is not easy to define”, yang berarti “bukan suatu hal yang mudah untuk menjelaskan mediasi”. Hal ini karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya”.
Berdasarkan beberapa definisi mediasi di atas dapat dipahami bahwa inti yang ingin disampaikan adalah sama bahwa mediasi adalah sebuah upaya damai dari orang ketiga yang turut serta membantu menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
Dari keterangan beberapa definisi di atas, nampak jelas bahwa esensi mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh seorang fasilitator yang disebut juga dengan mediator guna sebuah penyelesaian dengan jalan damai.
Mediasi sudah ada sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah mempraktekkan mediasi dalam penyelesaian konflik, sebab mereka percaya bahwa dengan melakukan usaha damai maka akan mengantarkan mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terciptanya nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Mereka lebih mempertimbangkan penyelesaian masalah untuk masa depan dengan mengakomodasikan kepentingan mereka secara berimbang dan bentuk penyelesaian sengketa ini sering disebut dengan musyawarah atau mufakat.
Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan mufakat ini telah tercatat dalam falsafah Indonesia pada sila ke-4, dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah dan mufakat yang berujung damai juga digunakan dalam lingkungan peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa kolonial Belanda.
Dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian sengketa berasas pada musyawarah mufakat, asas ini merupakan nilai tertinggi yang dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan di bawahnya, diantaranya adalah dalam penjelasan Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang No 14 Tahun 1970 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No 4 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yakni “Peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Sehingga prinsip musyawarah mufakat merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari solusi terutama di luar jalur pengadilan.
Mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-Belanda maupun dalam produk hukum Indonesia sekarang. Pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, karena Indonesia merupakan negara hukum.
Dasar hukum mengenai mediasi dalam sistem peradilan, pada dasarnya ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. Adapun aturan-aturan yang menjelaskan tentang mediasi adalah sebagai berikut:
Sema ini diterbitkan pada tanggal 30 Januari yang berjudul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Penerbitan Sema tersebut bertitik tolak dari salah satu hasil Rakernas Mahkamah Agung di Yogyakarta tanggal 24 ssampai dengan 27 September 2001.
Keberadaan Sema tersebut tidak efektif dalam mendamaikan kedua belah pihak. Sema tersebut tidak jauh beda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. Hanya memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan serta tidak memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya, sejak berlakunya Sema tersebut, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual penyelesaian perkara. Tetap berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi biasa.
PERMA ini diterbitkan pada tanggal 31 Juli 2008 yang berjudul “Prosedur Mediasi di Pengadilan”. PERMA ini merupakan penyempurnaan terhadap Perma sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan karena MA menemukan beberapa masalah dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003, sehingga tidak efektif penerapannya di Pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah mempermudah penyelesaian sengketa serta memberi akses yang lebih besar kepada pencari keadilan.
Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat memutus.
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini, secara fundamental telah merubah praktek perkara peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata. Mediasi sebagai upaya mendamaikan para pihak yang beperkara bukan hanya penting, tetapi harus dilakukan sebelum perkaranya diperiksa.
Adapun model-model mediasi, menurut Lawrance Boulle (seorang profesor dalam ilmu hukum dan Direktur Dispute Resolotion Cebtre-Bond University) membagi mediasi dalam sejumlah model yang tujuannya untuk menemukan peran mediator dalam melihat posisi sengketa dan peran para pihak dalam upaya penyelesaian sengketa, berupa:
Dalam kamus besar, mediasi adalah “proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat”. Mediasi disebut sebut sebagai “upaya penyelesaian perkara secara damai melalui juru damai/ penengah yang dilakukan di luar persidangan”.
Istilah mediasi (mediation) pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Robert D. Benjamin, Director of Mediation and Conflict Management Service in St. Louis Missouri, menyatakan “mediasi baru dikenal pada tahun 1970-an dan secara formal digunakan dalam proses Alfternatif Disputes Resolution” ADR di California, dan dia sendiri baru praktek sebagai mediator pada tahun 1979”.Ada beberapa bentuk ADR yang telah dikenal luas, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, mintrial, dan summary jury trial, dan settlement conference dan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang cukup pesat perkembangannya adalah mediasi.
Valerine JL Kriekhoff sebagaimana disampaikan oleh Zainuddin Fajari dalam tulisannya Adi Yono bahwa mediasi adalah “salah satu bentuk interaksi antara dua individu atau kelompok dengan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistik atau salah satu cara menyelesaikan masalah di luar peradilan”.
Dalam PERMA Nomor 1 tahun 2008 Pasal 1 ayat (6) dan (7) menyebutkan “mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dibantu oleh seorng atau lebih mediator, di mana mediator merupakan pihak netral yang membantu para pihak dalam mencari kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Menurut Tolberg dan Taylor yang dimaksud dengan mediasi adalah “suatu proses di mana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari alternatif dan dapat mempercaya penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka”.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Christhopher W. More dalam Yahya Harahap bahwa, mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa bukan merupakan bagaian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.
Mengutib dalam buku Gatot, terdapat sebuah istilah”Mediation is not easy to define”, yang berarti “bukan suatu hal yang mudah untuk menjelaskan mediasi”. Hal ini karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya”.
Berdasarkan beberapa definisi mediasi di atas dapat dipahami bahwa inti yang ingin disampaikan adalah sama bahwa mediasi adalah sebuah upaya damai dari orang ketiga yang turut serta membantu menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
Dari keterangan beberapa definisi di atas, nampak jelas bahwa esensi mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh seorang fasilitator yang disebut juga dengan mediator guna sebuah penyelesaian dengan jalan damai.
Mediasi sudah ada sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah mempraktekkan mediasi dalam penyelesaian konflik, sebab mereka percaya bahwa dengan melakukan usaha damai maka akan mengantarkan mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terciptanya nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Mereka lebih mempertimbangkan penyelesaian masalah untuk masa depan dengan mengakomodasikan kepentingan mereka secara berimbang dan bentuk penyelesaian sengketa ini sering disebut dengan musyawarah atau mufakat.
Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan mufakat ini telah tercatat dalam falsafah Indonesia pada sila ke-4, dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah dan mufakat yang berujung damai juga digunakan dalam lingkungan peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa kolonial Belanda.
Dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian sengketa berasas pada musyawarah mufakat, asas ini merupakan nilai tertinggi yang dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan di bawahnya, diantaranya adalah dalam penjelasan Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang No 14 Tahun 1970 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No 4 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yakni “Peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Sehingga prinsip musyawarah mufakat merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari solusi terutama di luar jalur pengadilan.
Mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-Belanda maupun dalam produk hukum Indonesia sekarang. Pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, karena Indonesia merupakan negara hukum.
Dasar hukum mengenai mediasi dalam sistem peradilan, pada dasarnya ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. Adapun aturan-aturan yang menjelaskan tentang mediasi adalah sebagai berikut:
- Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg ;
- Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri, dengan perantaraan ketuanya, akan mencoba memperdamaikan mereka itu.
- jika perdamaian terjadi, maka tentang hal itu, pada waktu sidang, harus dibuat sebuah akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yang dibuat itu; maka surat (akta) itu berkekuatan dan akan dilakukan sebagai keputusan hakim yang biasa.terhadap keputusan. yang demikian tidak diizinkan orang minta naik banding, keempat, jika pada waktu mencoba memperdamaikan kedua belah pihak itu perlu dipakai seorang juru bahasa, maka dalam hal itu hendaklah dituruti peraturan pasal berikut.
- SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai ;
Sema ini diterbitkan pada tanggal 30 Januari yang berjudul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Penerbitan Sema tersebut bertitik tolak dari salah satu hasil Rakernas Mahkamah Agung di Yogyakarta tanggal 24 ssampai dengan 27 September 2001.
Keberadaan Sema tersebut tidak efektif dalam mendamaikan kedua belah pihak. Sema tersebut tidak jauh beda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. Hanya memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan serta tidak memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya, sejak berlakunya Sema tersebut, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual penyelesaian perkara. Tetap berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi biasa.
- PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
PERMA ini diterbitkan pada tanggal 31 Juli 2008 yang berjudul “Prosedur Mediasi di Pengadilan”. PERMA ini merupakan penyempurnaan terhadap Perma sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan karena MA menemukan beberapa masalah dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003, sehingga tidak efektif penerapannya di Pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah mempermudah penyelesaian sengketa serta memberi akses yang lebih besar kepada pencari keadilan.
Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat memutus.
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini, secara fundamental telah merubah praktek perkara peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata. Mediasi sebagai upaya mendamaikan para pihak yang beperkara bukan hanya penting, tetapi harus dilakukan sebelum perkaranya diperiksa.
Adapun model-model mediasi, menurut Lawrance Boulle (seorang profesor dalam ilmu hukum dan Direktur Dispute Resolotion Cebtre-Bond University) membagi mediasi dalam sejumlah model yang tujuannya untuk menemukan peran mediator dalam melihat posisi sengketa dan peran para pihak dalam upaya penyelesaian sengketa, berupa:
- Settlement Mediation. Merupakan mediasi yang tujuan utamanya adalah untuk mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Model ini mengandung sejumlah prinsip diantaranya adalah:
- Mediasi dimaksudkan untuk mendekatkan perbedaan nilai tawar atas suatu kesepaakatan;
- Mediator hanya terfokus pada permasalahan;
- Posisi mediator adalah menentukan posisi;
- Biasanya mediator adalah orang yang memiliki status yang tinggi dan model ini tidak menekankan kepada keahlian dalam proses atau teknik mediasi.
- Facilitative Mediation. Merupakan mediasi yang tujuan utamanya untuk menghindarkan para pihak yang bersengketa dari posisi mereka dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para pihak dari hak-hak legal mereka secara kaku. Model ini mengandung sejumlah prinsip diantaranya:
- Prosesnya lebih terstruktur;
- Penekannya lebih ditujukan kepada kebutuhan dan kepentingan para pihak yang berselisih;
- Mediator mengarahkan para pihak dari positional negotiation ke interest based negotiation yang mengarahkan kepada penyelesaian yang saling menguntungkan;
- Mediator mengarah para pihak untuk lebih kreatif dalam mencari alternatif penyelesaian sengketa;
- Mediator perlu memahami proses dan teknik mediator tanpa harus ahli dalam bidang yang diperselisihkan.
- Transformative Mediation. Model ini mengandung sejumlah prinsip diantaranya :
- Fokus pada penyelesaian yang lebih komprehensif dan tidak terbatas hanya pada penyelesaian sengketa tetapi juga rekonsialisasi antara para pihak;
- Proses negosiasi yang mengarah pada pengembalin keputusan tidak akan dimulai, bila masalah hubungn emosional para pihak yang berselisih belum diselesaikan;
- Fungsi mediator adalah untuk mendiagnosis penyebab konflik dan menanganinya berdasarkan aspek psikologis dan emosional;
- Mediator diharapkan lebih memiliki kecakapan dalam counslling dan juga proses serta teknik mediasi;
- Penekanannya lebih ke terapi, baik tahapan pramediasi atau kelanjutan nya dalam proses mediasi.
- Evaluative Mediation. Mediasi ini bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan hak-hak legal dari pihak yang bersengketa dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan. Model ini mengandung sejumlah prinsip diantaranya :
- Para pihak berharap bahwa meditor akan menggunakan keahlian dan pengalamannya untuk mengarahkan penyelesaian sengketa ke suatu kisaran yang telah diperkirakan terhadap masalah tersebut;
- Fokusnya lebih tertuju kepada hak melalui stndar penyelesaian atas kasus yang serupa;
- Mediator harus seorang ahli dalam bidang yang diperselisihkan dan dapat juga terkualifikasi secara legal. Mediator tidah harus memiliki keahlian dalam proses dan teknik mediasi;
- Kecenderungan mediator memberikan jalan keluar dan informsi legal guna mengarahkan para pihak menuju suatu hasil khir yang pantas dan dapat diterima oleh keduanya.