Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional Menurut Statuta Roma 1998
Tuesday, 30 August 2016
SUDUT HUKUM | Yurisdksi Mahkamah Pidana
Internasional menurut Statuta Roma 1998, terdapat Empat macam yurisdiksi yang
dimiliki yaitu, yurisdiksi personal, kriminal, temporal dan territorial. Berikut
penjelasan mengenai yurusdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang dikutip
berdasarkan I Wayan Parthiana (2006:207-211)
Yurisdiksi Personal
Pasal 1 juncto Pasal 25 StatutaRoma sesuai dengan judulnya bahwa Mahkamah menganut tanggung jawab pidana
secara pribadi dari individu (individual criminal responsibility). Menurut Pasal
25 ayat (1), yurisdiksi Mahkamah adalah terhadap orang-orang atau
individu-individu yang harus bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya sebagaimana
ditentukan dalam Statuta. Dengan demikian Mahkamah hanya memiliki yurisdiksi
personal terhadap individu, jadi tidak terahadap negara maupun subyek
hukum internasional lainnya selain terhadap individu. Khusus hubungannya
dengan negara, Pasal 25 ayat (4) secara tegas menyatakan, bahwa tiada satupun
ketentuan Statuta yang berkenaan dan tanggung jawab kriminal dari individu akan
mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional.

Ada pula ketentuan yang dapat
dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan tanggung jawab pidana dari
seorang individu apabila ketika perbuatan itu terjadi, individu yang bersangkutan dalam
kondisi-kondisi seperti tercantum dalam Pasal 31 ayat (1), yakni:
- Orang yang bersangkutan menderita cacat mental atau sakit ingatan;
- Orang yang bersangkutan sedang dalam keadaan mabuk ketika perbuatan itu dilakukan sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk menilai perbuatannya;
- Orang yang bersangkutan melakukan perbuatannya tersebut demi membela diri ataupun membela orang lain; dan
- Perbuatan atau kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional itu dilakukannya dibawah tekanan fisik ataupun mental yang tidak dapat dihindarkannya.
Dalam prakteknya, sejauh mana
alasan-alasan ini dapat dibenarkan penggunaannya, tentulah akan
dinilai dan diputuskan oleh Mahkamah Pidana Internasional sendiri dalam persidangan
sesuai dengan hukum acara dan hukum pembuktiannya.
Yurisdiksi Kriminal
Yurisdiksi Kriminal dari Mahkamah
Pidana Internasional berdasarkan Statuta Roma 1998 adalah empat jenis
kejahatan atau tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 5 yakni, kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan
agresi. Dalam Pasal 9 ditegaskan perlunya dirumuskan secara lebih rinci
tentang unsur-unsur dari masing-masing kejahatan (elements of crimes)
tersebut demi membantu Mahkamah dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan dalam Pasal
6,7, dan 8 Statuta Roma. Adapun lembaga yang berwenang merumuskan dan
memutuskannya adalah Majelis Negara-Negara Peserta, berdasarkan persetujuan
dari dua pertiga negara-negara anggotanya.
Dalam hubungan ini, ternyata
Majelis Negara-Negara Peserta telah berhasil merumuskan unsur-unsur dari
masing-masing kejahatan tersebut. Sedangkan terhadap kejahatan agresi (the
crime of aggression) masih belum ditetapkandefinisi dan ruang
lingkupnya sehingga untuk sementara ini belum dapat diterapkan, karena masih
menunggu adanya amandemen atas Statuta Roma pada Pasal 121 dan peninjauan
kembalinya pada Pasal 123.
Yurisdiksi Temporal
Pasal 11 ayat (1) dan (2) statutaRoma menjelaskan tentang yurisdiksi temporal (jurisdiction ratione temporis).
Menurut Pasal 11 ayat (1), Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki
yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah mulai berlakunya Statuta. Demi
adanya kepastian hukum, haruslah ditentukan terlebih dahulu tentang waktu
atau tanggal mulai berlakunya Statuta. Sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat
(1), Statuta mulai berlaku pada hari pertama dari bulan sesudah hari kesepuluh
setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau
aksesi pada Sekertaris Jendral PBB.
Dengan demikian Mahkamah Pidana
Internasional hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang ditentukan di
dalam Pasal 5-8 statuta yang telah terjadi sesudah tanggal berlakunya. Mahkamah
tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatanyang terjadi sebelum berlakunya
statuta. Hal ini selaras dengan asas non-rectroctive (non-rectroactive ratione
personae) dalam Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan, bahwa tiada seorangpun akan
dimintakan pertanggung-jawaban pidana berdasarkan Statuta atas
perbuatan yang dilakukannya sebelum mulai berlakunya Statuta.
Peradilan terhadap pelaku
kejahatan sebelum berlakunya Statuta Roma 1998, yang pertama adalah penagadilan
nasional negara tempat terjadinya kejahatan atau pengadilan nasional negara lain
yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut. Jika pengadilan nasional tidak
berfungsi karena tidak mampu atau kalau mampu tidak mau melaksanakan
yurisdiksinya, atau hukum nasional suatu negara itu sama sekali tidak mengatur
kejahatan tersebut sebagai tindak pidana di dalam atau peraturan perundang-undangan
pidana nasionalnya, maka melalui prosedur yang telah berlaku, Dewan Keamanan
dapat membentuk badan pengadilan pidana internasional ad hoc,
seperti halnya Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus bekas Yugoslavia 1993 atau Rwanda
1994.
Yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internsional hanya berlaku atas kejahatan yang terjadi di dalam wilayah
negara-negara pesertanya, yaitu negara-negara yang sudah meratifikasi dan demikian
sudah terikat pada Statuta. Negara-negara lain yang tidak atau belum mengikatkan
diri pada Statuta, tetapi diwilayahnya terjadi kejahatan yang seperti ditentukan
di dalam Statuta, meskipun waktu terjadinya itu sesudah mulai berlakunya Statuta
tetap saja Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi. Ini sesuai
dengan asas Pacta Tertiiis Nec Nocent Nect Prosunt dalam hukum
perjanjian internasional, bahwa suatu perjanjian internasional tidak memberikan
hak dan atau membebani kewajiban kepada pihak ketiga.
Terhadap kejahatan
semacam itu, maka pertanggungjawaban pidana atas si pelakunya dikembalikan kepada
hukum pidana nasional dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi jika
negara itu tidak mampu ataupun tidak mau menerapkan hukum pidana
nasionalnya, menurut Pasal 13 butir (b) Statuta, Dewan keamanan PBB berdasarkan
Bab VII Piagam PBB dapat menyerahkan kasus tersebut kepada Jaksa
Penuntut untuk selanjutnya Jaksa Penuntut akan memprosesnya sesuai dengan tugas
dan wewenangnya.
Negara yang baru mengikatkan
dirinya pada Statuta, tegasnya setelah Stauta mulai berlaku, maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 ayat (2), Mahkamah baru bisa menerapkan yurisdiksinya hanya
atas kejahatan yang terjadi di dalam wilayah negara yang bersangkutan dan yang
terjadinya sesudah Statuta mulai berlaku atau mengikat terhadap negara
tersebut. Kemudian pada Pasal 126 ayat (2) menyatakan, terhadap negara yang
bersangkutan Statuta mulai berlaku atau mengikat terhadap suatu negara
itu pada hari pertama dari bulan setelah hari keenampuluh dari saat penyimpanan
instrumen pengikatan diri pada Statuta (seperti ratifikasi, penerimaan,
persetujuan, atau aksesi) dari negara yang bersangkutan.
Statuta tidak mengenal pembatasan
waktu untuk menggugurkan yurisdiksinya. Dalam hubungan ini Pasal 29
secara tegas menyatakan, bahwa tidak ada satu atau lebih kejahatan dalam yurisdiksi
Mahkamah yang tunduk pada pembatalan waktu untuk melakukan penuntutan
terhadap si pelakunya. Dengan kata lain, Mahkamah tidak memberlakukan asas
daluwarsa (lapse of time) atas kempat jenis kejahatan yang tunduk pada yurisdiksinya
sebagaimana diatur dalam Statuta. Oleh karena itu, meskipun suatu kejahatan
sudah terjadi demikian lamanya yang ditinjau dari segi asas daluwarsa sebenarnya
hak untuk melakukan penuntutan ataupun penghukumannya sudah gugur si
pelakunya masih tetap dapat dituntut dihadapan Mahkamah Pidana Internasional.
Yurisdiksi Teritorial
Mengenai yurisdiksi
teritorialnya, tidak ada satu Pasal pun pada statuta Roma yang menegaskannya. Hal ini
disebabkan karena Mahkamah Pidana Internasional merupakan badan peradilan
kriminal yang dimaksudkan untuk menjangkau keempat jenis kejahatan yang
ditentukan dalam Statuta yang terjadi dimanapun di muka bumi ini. Terhadap kejahatan
yang terjadinya di dalam atau lintas batas territorial dari negara-negara
yang sudah menjadi peserta pada Statuta, tentulah tidak menjadi masalah dengan
penerapan yurisdiksi territorial mahkamah sebab negara-negara itu merupakan
negara yang menerima yurisdiksi mahkamah, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 12 ayat (1).
Dalam hubungannya dengan
negara-negara yang tidak atau menolak untuk menjadi peserta Statuta (tidak
atau menolak untuk meratifikasi Statuta), tentulah Mahkamah tidak bisa menerapkan
yurisdiksinya terhadap kejahatan yang terjad di dalam wilayah negara itu. Sebagai
akibatnya, si pelaku kejahatan tersebut menjadi berada diluar jangkauan
yurisdiksi mahkamah sehingga ia akan menikmati impunitas. Hal ini sudah
tentu akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat internasional pada umumnya, para
korban dari kejahatan itu pada khususnya.
Agar pelaku kejahatan tidak
menikmati impunitas, para perancang Statuta menerapkan yurisdiksi kriminalnya
terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah negara yang belum atau tidak
meratifikasi Statuta, dengan syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat
(3) yakni, negara tersebut mengeluarkan suatu pernyataan (deklarasi) yang
menyatakan penerimaannya atas yurisdiksi Mahkamah dan deklarasi tersebut
disampaikan kepada Panitera. Akan tetapi sejauh mana suatu negara semacam
itu akan bersedia mengeluarkan pernyataan tentang penerimaannya atas
yurisdiksi Mahkamah, sepenuhnya tergantung pada negara yang bersangkutan.
Dewan Keamanan PBB berdasarkan
kewenangannya menurut Bab VII Piagamnya, berhak untuk
menyerahkan kepada mahkamah melalui Jaksa Penuntut (the Presecutor) atas kejahatan
yang terjadi di wilayah negara semacam itu. Hal ini secara tegas diatur dalam
Pasal 3 butir (b) Statuta. Namun penyerahan ini hanya bisa terjadi, apabila Dewan
Keamanan PBB terlebih dahulu bersidang untuk membahas masalah yang
terjadi di wilayah atau lintas batas wilayah negaranegara yang tidak menjadi peserta
Statuta yang menurut Dewan Keamanan merupakan ancaman atas keamanan
dan perdamaian dunia (Bab VII Piagam PBB) dan diakhiri dengan pengambilan
keputusan (yang dituangkan dalam satu resolusi) untuk menyerahkan kasus
tersebut kepada Jaksa Penuntut (the Presecutor) untuk
ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan Statuta. Dengan demikian maka secara teoritis
terhindarlah terjadinya impunitas atas orang yang bersangkutan.Dewan Keamanan
adalah suatu lembaga politik maka nuansa politiknya sama sekali tidak
dapat dipisahkan.
Dengan adanya hak veto yang dimiliki oleh lima negara anggota
tetapnya (Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Rusia, dan Cina) praktis kelima negara
ini tidak akan pernah terkena resolusi Dewan Keamanan PBB yang merugikan
dirinya sendiri. Secara lebih konkrit, jika di salah satu dari kelima negara
itulah terjadinya kasus kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi mahkamah tetapi
negara itupun tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap si pelakunya, maka sudah
pasti tidak akan berhasil dibahas dalam persidangan Dewan Keamanan PBB.
Kalaupun dibahas dan akan diambil keputusan untuk menyerahkannya
kepada Jaksa Penuntut pada Mahkamah, sudah pasti akan diveto oleh negara
tersebut. Demikian juga jika terjadi di salah satu atau lebih Negara yang tidak
menjadi peserta Statuta yang kemudian dibahas dalam Dewan Keamanan tetapi
berkat keberhasilan negara itu mendekati salah satu dari lima negara anggota
tetap supaya menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi yang akan
diambil, maka praktis si pelakunya juga akan menikmati impunitas.
Menurut Eddy O.S. Hiarej,
Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional meliputi kejahatan agresi, kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Akan tetapi
sampai dengan saat ini, definisi mengenai kejahatan agresi belum ada kesepakatan,
sedangkan definisi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang
tertuang dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Statuta Roma. Prinsip-prinsip
dasar yang dianut dalam Statuta Roma adalah sebagai berikut:
1. Bersifat Komplementer
Bersifat komplementer artinya,
jika terjadi kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional,
maka pengadilan terhadap pelaku kejahatan terlebih dahulu diserahkan kepada
hukum nasional negara dimana kejahatan tersebut dilakukan. Apabila
negara Negara tersebut tidak mau atau tidak dapat mengadili pelaku kejahatan
tersebut, maka pengadilan terhadap pelaku dilakukan oleh Mahkamah Pidana
Internasional.
2. Asas Legalitas
Asas Lagalitas berlaku secara
absolut dan tidak dimungkinkan penyimpangan terhadapnya selama menyangkut
kejahatan-kejahatan yang menjadi Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
Tidak hanya larangan hukuman berlaku surut atau prinsip non-retroaktif,
larangn terhadap analogi juga termaktub secara eksplisit dalam Statuta Roma.
3. Asas Nebis In Idem
Asas nebis in idem yang
berarti bahwa seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan
dengan perkara yang sama. Akan tetapi, dalam Statuta Roma asas nebis in
idem ini tidak berlaku mutlak. Artinya asas tersebut dapat disimpangi jika pengadilan
nasional yang mengadili pelaku kejahatan tersebut tidak fair atau
bermaksud membebaskan pelaku dari segala tuntutan.
4. Prinsip Pertanggungjawaban Pribadi
Prinsip pertanggungjawaban
pribadi adalah sebagaimana yang dianut dalam hukum pidana.
5. Percobaan, penyertaan dan permufakatan
Percobaan, penyertaan dan
permufakatan merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
6. Tidak Mengenal Jabatan
Tidak mengenal relevansi jabatan
resmi dan tidak berlaku tanggung jawab komando dan atasan lainnya.
7. Batasan Umur Pada Yurisdiksi
Tidak dimasukkannya yurisdiksi anak-anak di bawah
umur delapan belas tahun.