Berlakunya Hukum Perdata di Indonesia
Friday, 16 September 2016
SUDUT HUKUM | Berlakunya
hukum perdata di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh kekuatan
politik liberal di Belanda yang mencoba mengupayakan perubahan-perubahan mendasar di
dalam tata hukum kolonial. Kebijakan ini dikenal dengan sebutan de bewuste
rechtspolitiek.
Tahun 1840 –
1860 merupakan tahun-tahun yang merupakan babakan baru dalam kebijakan kolonial
di Indonesia yaitu kebijakan untuk membina tata hukum kolonial. Kebijakan ini
dimaksudkan untuk di satu pihak mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja dan
aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di lain pihak akan ikut mengupayakan
diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi segenap lapisan penduduk
yang bermukim dan berusaha di daerah jajahan. Kebijakan tata hukum kolonial ini
ternyata mengarah kuat untuk melaksanakan kodifikasi dan unifikasi hukum dengan
preferensi utama untuk mendaya gunakan hukum Eropah atas dasar asas
konkordansi.

Berlakunya Kitab
Undang-undang hukum Perdata dan Kitab Undang-undang hukum Dagang ini pada
mulanya hanya ditujukan bagi Golongan Eropah dan yang dipersamakan dengannya.
Namun akhirnya dibelakukan juga kepada penduduk Bumi putera sepanjang mereka
telah melakukan Vriwillige Onderwerping dan Toepasselijkverklaring.
Koninklijk
Besluit sebagai
Algemeene Bepalingen van Wet geving, merupakan Keputusan raja mengenai
ketentuan-ketentuan umum perundang-undangan mengandung 3 pasal penting yaitu:
- Pasal 5, yang menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda dibedakan ke dalam golongan Eropah (beserta yang dipersamakan dengannya) dan golongan pribumi (beserta mereka yang dipersamakan dengannya);
- Pasal 9, yang menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (yang akan diberlakukan di Hindia Belanda) hanya akan berlaku untuk golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan dengannya;
- Pasal 11, yang menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum , pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu telah ditetapkan berlakunya hukum Eropah atau apabila orang pribumi yang bersangkutan telah menundukkan diri pada hukum Eropah.
Pasal
9 AB ini kemudian menjelma menjadi Pasal 75 ayat 3 Regeringsreglement Tahun
1854. Pasal 75 RR 1854 ini selanjutnya dimasukan ke dalam Pasal 131 IS (Indische
Staatsregeling) Tahun 1925. Amandemen pasal tersebut menentukan bahwa hukum
Eropah hanya akan diberlakukan untuk penduduk golongan Eropah Saja, namun dapat
pula diterapkan untuk penduduk golongan pribumi. Hukum adat diterapkan terhadap
penduduk golongan pribumi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas umum
mengenai kepatutan dan keadilan.
Sampai pecahnya
perang pasifik, bahkan sampai runtuhnya kekuasaan kolonial di Indonesia,
unifikasi hukum perdata untuk seluruh golongan penduduk tetap dipandang belum
mungkin utnuk dilaksanakan. Dualisme hukum di bidang hukum perdata antara
Golongan Eropah yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Dagang
serta untuk golongan pribumi yang tunduk pada hukum adat tetap berjalan dan
berlaku.
Setelah
Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan
bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini.
Dengan demikian maka seluruh tatanan hukum kolonial
yang berlaku pada masa jajahan Belanda masih tetap berlaku sampai diadakan
peraturan yang baru termasuk hukum perdata Belanda yang merupakan warisan
pemerintah Kolonial Belanda.