Biografi dan Filsafat Sejarah G.W. F Hegel
Saturday, 10 September 2016
SUDUT HUKUM | Hegel dilahirkan di Stuttgart
pada 27 Agustus 1770. Di masa kecilnya, ia lahap membaca
literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang berbagai topik lainnya.
Masa kanak-kanaknya yang rajin membaca sebagian disebabkan oleh
ibunya yang luar biasa progresif yang aktif mengasuh perkembangan
intelektual anaknya. Keluarga Hegel adalah sebuah keluarga kelas menengah
yang mapan di Stuttgart. Ayahnya seorang pegawai negeri dalam administrasi
pemerintahan di Württemberg.[1]
Pendidikan filsafat dan teologi
diperoleh dari Universitas Tubingen. Pada saat itu, di Universitas ini
terdapat dua pemikir yang dikenal sebagai tokoh gerakan romantisme, yaitu
Frederich Hoderlin dan Schelling. Melalui kedua tokoh inilah Hegel sangat
berantusias mendiskusikan filsafat Rousseau, Schiller, dan Kant.
Dari Tubingen Hegel melanjutkan pendidikan filsafatnya ke Swittzerland,
kemudian memperdalam filsafat pengetahuan di Frankrut.
Karena itu, Hegel adalah filosof
idealis berlatar belakang teolog, dan pada dirinya terpadu dua struktur
bangunan intelektual, teologi dan idealisme postkantian.[2]
Hegel meninggal pada tanggal 14
november 1831 karena serangan kolera. Selama periode ini, dia
menempati posisi yang tidak tertandingi dalam dunia filsafat, tidak hanya
di Berlin, namun juga di seluruh Jerman. Sebagai seorang filosof resmi, ia
memiliki pengaruh yang kuat diperoleh berkat pembuktian dan
pengabdiannya yang tanpa kompromi untuk memurnikan pemikiran, yang dipadu
dengan kemampuannya menyusun ruang lingkup dan jalan
dialektikanya.[3]
Filsafat Sejarah Hegel
Menurut Hegel, sejarah adalah
perkembangan Roh dalam waktu, sedangkan alam adalah
perkembangan ide dalam ruang. Jika kita memahami kalimat di atas, tentu kita akan
memahami filsafat sejarah Hegel. Sistem menyeluruh Hegel dibangun diatas
tiga unsur utama (the great triad): Ide-Alam- Roh. Ide dalam dirinya
sendiri adalah sesuatu yang terus berkembang, dinamika realitas
dari dan yang berdiri dibalik layar- atau sebelum-dunia. Antitesis dari ide
yang berada di luar dirinya, yaitu Ruang, adalah Alam. Alam terus
berkembang, setelah mengalami taraf perkembangan kehidupan mineral
dan tumbuhan kedalam diri manusia.
Dan dalam diri manusia terdapat
kesadaran yang membuat ide menjadi sadar akan dirinya sendiri. Kesadaran
diri ini oleh Hegel disebut Roh, sedangkan antitesis ide dan Alam dan
perkembangan dari kesadaran ini adalah sejarah. Seluruh proses dunia adalah suatu
perkembangan roh. Sesuai dengan hukum dialektika roh meningkatkan
diri tahap demi tahap kepada yang mutlak. Sesuai dengan
perkembangan roh ini, maka filsafat Hegel disusun dalam tiga tahap yaitu:
- Tahap ketika Roh berada dalam keadaan “ada dalam dirinya sendiri”.
- Tahap ketika roh berada dalam keadaan “berada dengan dirinya sendiri”, berada dengan “yang lain”. roh disini keluar dari dirinya sendiri yang menjadikan dirinya “di luar” dirinya dalam bentuk alam, yang terikat oleh ruang dan waktu.
- Tahap ketika roh kembali kepada dirinya sendiri, yakni kembali dan berada diluar dirinya sehingga roh berada dalam keadaan “dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”.[4]
Dalam bukunya The Philosophy
of History, Hegel mengatakan bahwa esensi dari Roh adalah
kebebasan, maka kebebasan adalah tujuan dari sejarah. Sejarah baginya
merupakan gerak kearah rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar.
Hegel kemudian merumuskan perkembangan historis roh, yang
terbagi dalam tiga tahap:Pertama, Timur. Kedua, Yunani dan
Romawi dan Ketiga, Jerman.
Pembagian ini didasarkan atas Trias Hegel yakni : roh
objektif, roh subjektif dan roh mutlak. Dalam
dunia Timur, roh belum sadar
diri, manusia masih dalam keadaan alami sedangkan roh berkarya dan
menyusun dalam objektifitas (seperti hukum alam). Dalam dunia Yunani-Romawi
timbullah subjektifitas, roh menempatkan diri di luar dan
berhadapan dengan apa yang secara objektif ada. Akan tetapi roh subjektif
kurang memahami kenyataan objektif. Baru dengan munculnya roh mutlak
didalam dunia Germania terjadi perukunan antara yang subjektif dan yang
objektif.
Pemikiran Hegel mengarahkan kita
pada pemahaman bahwa sejarah merupakan pergerakan penuh tujuan
atas cita-cita Tuhan untuk kemanusiaan. Hegel pun memahami
bahwa sejarah memang merupakan meja pembantaian dimana
kesengsaraan, kematian, ketidakadilan dan kejahatan menjadi bagian dari
panggung dunia. Namun filsafat sejarah merupakan teodisi atau usaha
untuk membenarkan Tuhan dan mensucikan Tuhan atas tuduhan bahwa Tuhan
membiarkan kejahatan berkuasa di dunia.
Dia menunjukkan anggapan yang
salah tentang sejarah di sebabkan karena mereka hanya melihat permukaanya
saja, tetapi mereka tidak melihat aspek laten serta potensial dalam
sejarah yaitu jiwa absolut dan esensi jiwa yaitu kebebasan.
Hegel dalam bukunya Philosophy
of Histori mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada
pandangan bahwa Negara merupakan realitas kemajuan pikiran kearah kesatuan
dengan nalar. Ia melihat Negara sebagai kesatuan wujud dari kebebasan
objektif dan nafsu subjektif adalah organisasi rasional dari sebuah
kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika
dibiarkan pada tingkah laku individu.[5]
Filsafat sejarah bagi Hegel
representasinya yang nyata terlihat dalam bentuk- bentuk kekuasaan dalam Negara. lebih
lajut dalam pengantar bukunya Philosophy of History ia menulis:
Negara adalah ide tentang roh didalam perwujudan lahir kehendak manusia dankebebasanya. Maka bagi Negara, perubahan dalam aspek sejarah tidak dapat membatalkan pemberian itu sendiri dan berbagai tahap yang berkesinambungan dengan ide mewujudkan diri mereka di dalamnya sebagai prinsip-prinsip politik yang jelas”[6]
Hegel menunjukkan bahwa hakekat
manusia dimasukkan dan diwujudkan dalam kehidupan
negara-bangsa. Menurutnya, negara-bangsa merupakan totalitas organik
(kesatuan organik) yang mencakup pemerintahan dan institusi lain
yang ada dalam negara termasuk keseluruhan budayanya. Hegel juga
menyatakan bahwa totalitas dari budaya bangsa dan pemerintahannya
merupakan individu sejati.“Individu sejarah dunia adalah negara-bangsa”,
maksudnya negara merupakan individu dalam
sejarah dunia.
Negara merupakan manifestasi dari
ide universal. Sedangkan individu (orang per orang)
merupakan penjelmaan dari ide partikular yang tidak utuh, dan merupakan bentuk
kepentingan yang sempit. Negara memperjuangkan kepentingan yang
lebih besar, memperjuangkan atau merealisasikan ide
besar.Keinginan negara merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang,
karenanya negara harus dipatuhi dan negara dapat memaksakan keinginannya
pada warganya.Negara adalah “penjelmaan dari kemerdekaan
rasional, yang menyatakan dirinya dalam bentuk objektif”.[7]
Karena itulah negara yang
dibentuk Hegel adalah absolut. Negara baginya bukan apa yang di
gambarkan John Lock atau teoritisi-teoritisi kontrak sosial yang dibentuk dari
kesepakatan bersama dari rakyatnya, Hegal berpendapat sebaliknya
,negaralah yang membentuk rakyatnya. Hegel memang mensakralkan negara sampai
ia menganggap bahwa sepak terjang negara di dunia ini sebagai “derap
langkah Tuhan di bumi” The State is devine idea as
it exists on earth.[8]
Dalam perspektif ini individu
tidaklah dimungkinkan untuk menjadi oposisi negara sebab ia membawa
kepentingan parsial. Negara adalah sumber budaya, kehidupan
institusional dan moralitas. Hegel menyatakan dalam Reason of History: segala
yang ada pada manusia, dia menyewa pada negara, hanya dalam negara dia
mendapatkan jati dirinya. Maka tidak seorang pun bisa melangkah di
belakang negara, dia mungkin bisa memisahkan diri dari individu
lain namun tidak dari jiwa manusia.
Lalu dimanakah eksistensi
individu ketika ia tidak lagi memiliki kekuasaan dan kebebasan? Hegel
menjawabnya dengan membedakan kebebasan formal dan kebebasan
substansial. Berikut ini penjelasanya:
- Kebebasan formal merupakan kebebasan yang diasumsikan oleh kaum atomis di masa pencerahan, dimana individu terisolasi, kebebasan ini diraih dari sifat alamiah seperti: kehidupan, kebebasan dan property (hak milik), kebebasan ini bersifat abstrak dan negatif. Bagi Hegel, inilah kebebasan dari penguasa yang menindas.
- Kebebasan substansial adalah merupakan kebebasan ideal bagi Hegel, hal ini cita-cita moral masyarakat yang berasal dari kehidupan spiritual masyarakat tertentu. Kebebasan ini hanya dapat diraih dari negara, di sinilah cita-cita etika dan jiwa fundamental orang-orang dalam hukum-hukum dan institusi-institusinya dapat dicapai.
Dalam pandangan Hegel, jika kita
membenci budaya kita dan tidak sependapat dengan cita cita dan
institusi masyarakat kita, maka kita berada dalam keterasingan. Keterasingan
terdiri dari banyak komponen yaitu: perasaan menjadi asing diri,
terputus dari perasaan sendiri ataupun identitasnya sendiri; perasaan
tidak memiliki norma; tidak memiliki arti; lemah dan lain lain.Keterasingan
yang dipahami Hegel merupakan kegagalan kehendak individu untuk
beradaptasi dengan yang lebih besar yaitu kemauan
masyarakat.Keterasingan merupakan kondisi dimana seseorang tidak bisa
mengidentifikasikan diri dengan moralitas publik dan institusi masyarakat.
Cara untuk memahami identitas
diri dan institusi masyarakat dengan mempelajari sejarah terlebih
dahulu. Sejarah dalam pandangan Hegel di bagi menjadi tiga, yaitu: sejarah
asli, sejarah reflektif dan sejarah filosofis.
- Sejarah Asli
Mengenai jenis yang pertama,
penyebutan salah satu atau dua nama yang terkenal akan memberikan
warna yang khas. Kategori ini diberikan oleh Herodotus, Thucydides, dan
para sejarawan lain yang memiliki orde yang sama, yang pemaparannya
sebagian besar terbatas pada perbuatan, peristiwa dan keadaan masyarakat
yang ditemukan dihadapan mereka, dan mereka turut ambil bagian di
dalam semangatnya. Mereka secara sederhana memindahkan apa yang
berlangsung di dunia sekitar mereka, kawasan intelek representative,
sebuah fenomenon lahir, dengan demikian diterjemahkan menjadi
sebuah konsepsi batin. Dengan cara yang sama, penyair bekerja dengan
bahan yang diberikan kepadanya oleh perasaannya; memproyeksikannya menjadi
sebuah citra tentang kemampuan konseptif.
Para sejarawan asli menemukan
pernyataan dan cerita tentang orang lain yang ada di tangan.
Orang tidak dapat menjadi saksi nyata atau pun telinga atas segala sesuatu.
Namun mereka mendapatkan bantuan seperti itu hanya sebagai penyair
karena warisan bahasa yang telah terbentuk, dengan itu ia mendapatkan
banyak; semata-mata hanya sebagai bahan. Para sejarawan
merangkai unsur-unsur cerita yang cepat berlalu dan menyimpannya untuk
diabadikan di dalam kuil Mnemosyne.
Legenda, cerita balada, tradisi
harus disingkirkan dari Sejarah Asli, ini tidak lain merupakan bentuk
pemahaman sejarah yang samar dan tidak jelas, karenanya menjadi
milik bangsa yang baru bangun kecerdasannya. Sebaliknya, di
sini kita harus berhubungan dengan bangsa yang sepenuhnya sadar
terhadap apa yang mereka miliki dan apa yang mereka dambakan. Kawasan
realitas—yang nyata-nyata terlihat, atau yang dapat dilihat—memberikan
dasar yang sangat berbeda dalam hal ketegasan dengan unsur yang
lekas hilang dan bersifat khayal, di situ dilahirkan legenda dan mimpi
puitis yang kehilangan nilai historisnya, segera sesudah bangsa tersebut
mencapai kematangan individualitasnya.[9]
- Sejarah Reflektif
Sejarah ini terbagi lagi menjadi
empat jenis. Namun, berbeda dengan jenis Sejarah Asli,
Sejarah Reflektif oleh Hegel diberi pengertian sebagai sejarah yang cara
penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya ia berhubungan,
melainkan yang rohnya melampaui masa kini. Jika dalam Sejarah Asli
seorang penulis sejarah berada di dalam sejarah yang ia tulis, sama-sama
berada dalam roh zaman yang ditulisnya, maka Sejarah
Reflektif tidak seperti itu. Seorang penulis sejarah jenis kedua ini tidak
terbatasi oleh waktu, tempat dan kebudayaan, ia bisa saja
menyajikan sejarah suatu zaman berbeda dengan roh dirinya sebagai penulis.
- Sejarah universal, yaitu penyelidikan atas keseluruhan sejarah sebuah masyarakat negara atau dunia. Dalam sejarah universal, hal utamanya adalah elaborasi atas materi historis sejarawan mencapai sejarah universal dengan rohnya sendiri, yang berbeda dengan roh materi. Pada satu sisi apa yang penting di sini adalah prinsip yang digunakan pengarang untuk mendekati isi dan makna sebuah tindakan atau peristiwa yang diuraikannya. Di sisi lain metodenya sendiri dalam menulis sejarah. Jenis pertama dari sejarah reflektif ini berhubungan dengan sejarah asli, yang jika tidak mempunyai maksud lain selain menghadirkan sebuah totalitas sejarah negara.
- Sejarah reflektif adalah sifatnya pragmatis. Sejarah jenis ini ditulis untuk diambil manfaatnya. Seperti model sejarah yang ditulis oleh Johannes v. Muller yaitu Sejarah Swiss yang Nampak memiliki tujuan moral. Dia menulis sejarah itu, bermaksud menyiapkan satu badan ajaran politik untuk diajarkan pada pangeran, pemerintah dan rakyat. Kemudian, sejarah reflektif yang ditulis hanya untuk sekedar mendapat pandangan tentang suatu bangsa dan Negara, atau tentang dunia. Sejarah jenis ini ditulis mirip dengan Sejarah Asli, manakala ia ditulis tidak memiliki tujuan yang lebih jauh daripada untuk menyajikan sejarah sebuah negeri yang lebih utuh. Penulis sejarah jenis ini menulis sejarah sedemikian jelasnya sehingga pembaca seolah dapat mengkhayalkan dirinya menjadi saksi mata atas peristiwa yang dicerita dalam sejarah. Meskipun efeknya pada pembaca bisa sedemikian nyata, perlu dicatat sejarah jenis ini tidak seperti Sejarah Asli, yang penulisnya berada dalam satu orde dan ruh sejarah yang ditulisnya. Penulis Sejarah Reflektif ini tidak terikat ruang dan waktu saat sejarah itu terjadi, ia bahkan berbeda kebudayaan dan zamannya.
- Bentuk sejarah reflektif yang ketiga adalah yang bersifat Kritis. Bentuk ini pantas disebut sebagai cara menceritakan sejarah yang unggul. Bukan sejarah itu sendiri yang dihadirkan di sini. Kita mungkin lebih tepat menunjukannya sebagai sebuah sejarah tentang sejarah; sebuah kritik terhadap penceritaan sejarah dan sebuah pengkajian atas kebenaran dan kredibilitasnya. Kekhususannya dalam kenyataan dan tujuan, terkandung di dalam ketajaman penulis memeras segala sesuatu dari catatan yang tidak terdapat dalam materi yang tercatat.[10] Model penulisan sejarah ini lebih bersifat menggugat dan menentang fakta sejarah yang telah ditetapkan dengan baik. Lalu yang terakhir Sejarah Reflektif yang sifatnya tematik, seperti halnya Sejarah Seni, Hukum atau Agama. Sejarah jenis ini menunjukan ketidaklengkapannya karena ia hanya disajikan berdasar tema-tema tertentu.
- Sejarah Filsafati
Definisi filosofi secara umum
menunjukkan bahwa filsafat sejarah bukanlah apa-apa selain
kontemplasi mendalam tentang sejarah. Berpikir adalah satu hal yang pasti kita
lakukan sendiri tanpa bantuan, dalam
sensasi, kognisi dan intelek
manusia, dalam insting dan kemauan manusia, sejauh mereka adalah manusia terdapat sebuah elemen pikiran.
Dalam sejarah, berpikir adalah
tindakan mensubdornasikan data realitas yang kemudian berlaku
sebagai pembimbing dan landasan bagi sejarawan. Di sisi lain, filsafat
menghasilkan ide-idenya sendiri dari spekulasi tanpa merujuk kepada
data-data. Jika filsafat mendekati sejarah dengan ide-ide, bisa dikatakan
bahwa filsafat akan memperlakukan sejarah sebagai materi kasarnya
dan tidak meninggalkannya begitu saja, tetapi membentuknya sesuai dengan
ide-ide itu dan kemudian mengkonstruknya secara a
priori. Tetapi karena sejarah dianggap bisa memahami peristiwa dan tindakan
sebagai suatu peristiwa dan tindakan semata maka semakin faktuallah sejarah.
[1] K. Bertens,Filsuf-Filsuf
Besar Tentang Manusia,(Jakarta: PT. Gramedia,1988), hlm. 68
[2] Zubaedi, Filsafat
Barat, (Yogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2007), hlm. 85
[3]
Ibid, hlm. 86
[4] K. Bertens,Filsuf-Filsuf
Besar Tentang Manusia,(Jakarta: PT. Gramedia,1988), hlm. 68
[5] G.W.F. Hegel, Keimanan
dan Pengetahuan, terj. Affandy, (Yogyakarta: IRCiSoD,2002), hlm. 20
[6] G.W.F. Hegel, Filsafat
Sejarah, terj. Cuk Ananta Wijaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.
65
[7] George Wilhelm
Freedrich Hegel, Nalar Dalam Sejarah, (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), hlm.
74
[8] Ahmad Suhelmi, Pemikiran
Politik Barat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2001), hlm. 256-259
[9] G.W.F. Hegel, Filsafat
Sejarah, terj. Cuk Ananta Wijaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.
1-2
[10] Ibid, hlm 10