Dasar Hukum Positif dalam Penemuan Hukum
Saturday, 10 September 2016
SUDUT HUKUM | Dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman ditentukan bahwa:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, kekuasaan kehakiman adalah
bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman atau
kebebasan peradilan atau kebebasan hakim merupakan asas universal yang terdapat diberbagai
negara. Kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari
campur tangan dari pihak ekstra yudisial. Kebebasan hakim ini memberi wewenang kepada hakim untuk
melakukan penemuan hukum secara leluasa.
Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan:
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang"
Ini berarti bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada di dalam satu
sistem (hukum), tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya.
Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan:
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Baca Juga
Walau bagaimanapun hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan,
yang berarti bahwa ia wajib menemukan hukumnya.
Pasal 5 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan:
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumannya itu ada tetapi
tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukum nya itu ada, tetapi masih
harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Scholten
mengatakan bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan
setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu
hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari
atau menemukannya. (Sudikno mertokusumo, 2010: 61).