Pengertian Penemuan Hukum (rechtsvinding)
Saturday, 10 September 2016
SUDUT HUKUM | Penemuan hukum adalah suatu metode untuk mendapatkan hukum dalam
hal peraturannya sudah ada akan tetapi tidak jelas bagaimana penerapannya pada suatu kasus
yang konkret. Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses pembentukan hukum oleh
hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada
peristiwa hukum konkret. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik
atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan
hukumnya. Jadi, dalam menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret.
Keharusan menemukan
hukum baru ketika aturannya tidak saja tak jelas, tetapi memang tidak ada, diperlukan
pembentukan hukum. Hakim harus menggali berdasarkan banyak hal mulai dari menganalogikan
dengan perkara yang (mungkin) sejenis, menetapkan parameter tertentu yang akan
dijadikan sebagai patokan didalam menjatuhkan putusan dan yang lebih penting lagi adalah
memperhatikan elemen sosiokultural keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Dengan demikian
apakah sebuah kasus yang ditangani itu akan tuntas berdasarkan interpretasi atau
analogi, sepenuhnya akan terga tung kepada hakim. Hanya saja nanti putusan tersebut akan diuji oleh
masyarakat, tentang adil dan tidaknya. Sebab hakekat penerapan, apakah ini interpretasi atau
analogi, akan terulang kepada keharusan tegaknya nilai keadilan dan kepastian hukum secara
simetris. (Sudikno Mertokusumo,1996:hlm 37)
Hukum yang merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau
manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak
baik yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum
tidak diperlukan. Berdasarkan menurut Soedikno diatas maka dapat dikatakan Penemuanhukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran,
yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu menggunakan
asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di dalam menentukan suatu
keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara.
Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat
menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi
kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya
tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan.
Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian
bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini.
Keseluruhan operasi logika dan
penafsiran menggunakan aspekaspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di
dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha
mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan
mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang
bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau
proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari
konstruksi analogi, penghalusan hukum
dan argumentum a contrario.( Jazim Hamidi,2005:hlm.51)