Hapusnya Hak Penuntutan Pidana
Sunday, 4 September 2016
SUDUT HUKUM | Kata
"tindak pidana" merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda "straafbaarfeit",
namun pembentuk undang-undang di Indonesia tidak
menjelaskan secara rinci mengenai "straafbaarfeit".[1]
Perkataan “feit” itu sendiri di
dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een
gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar”
berarti “dapat dihukum”,
hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu
dapat diterjemahkan
sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”,
yang sudah
barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat
dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan ataupun tindakan.[2]

Dalam hubungan
ini, Satochid Kartanegara lebih condong menggunakan
istilah “delict” yang telah
lazim dipakai.[4]
R. Tresna menggunakan
istilah "peristiwa pidana".[5]
Sudarto menggunakan istilah "tindak
pidana",[6]
demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah "tindak
pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
pidana.[7]
Akan tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.[8]
Dalam
hubungannya dengan hapusnya hak penuntutan pidana, bahwa KUHP memuat 4
(empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan hak untuk menuntut
pidana terhadap si pembuat tindak pidana, yaitu:
- Sebab perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 76);
- Sebab meninggalnya si pembuat (pasal 77);
- Sebab telah lampau waktu atau kadaluwarsa (pasal 78-80);
- Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (pasal 82: bagi pelanggaran yang hanya diancam pidana denda).
Baca Juga
[1] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5.
[2] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm. 172.
[3] K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007,hlm. 15.
[4] Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai LekturMahasiswa, hlm. 74.
[5] R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th, hlm. 27.
[6] Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hlm. 38.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco, 1986,hlm. 55.
[8] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 54.
[2] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm. 172.
[3] K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007,hlm. 15.
[4] Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai LekturMahasiswa, hlm. 74.
[5] R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th, hlm. 27.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco, 1986,hlm. 55.
[8] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 54.